Jumat, 09 Januari 2009

O My God - Selamanya Cinta Part 1

Minggu kelabu, gak bisa upload foto nih !!!

Setelah berpikir panjang so aku share aja novel yang gak pernah terbit ini......hi....hi.....sebenarnya udah pernah aku coba kirim ke redaksi tapi DITOLAK.......katanya ceritanya gak fresh.

Ya udah dari pada bengong mending masukkin aja ke blog toh lagian kan aman gak ada gambar-gambar yang kena sensor.

Gini nih ceritanya :


SINOPSIS NOVEL "SELAMANYA CINTA"



(Di kala hati resah
Seribu ragu datang … memaksaku
Rindu semakin menyerang
Kalau lah aku dapat membaca pikiranmu
Dengan sayap pengharapanku ingin terbang jauh)

Sisca hanyalah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan untuk mencintai dan dicintai oleh kaum adam. Kala Rey, suami yang dicintai dengan sepenuh hatinya meninggal Ia pun seperti kehilangan pegangan hidup. Membesarkan anak semata wayangnya dengan cinta yang ia miliki seorang diri.

(Biar awan pun gelisah,
Daun daun jatuh berguguran
Namun cintamu kasih terbit laksana bintang
Yang bersinar cerah menerangi jiwaku)

Hadirlah seorang Sam, bagian dari masa lalunya. Membawa cinta yang lebih dari cukup untuk Sisca dan anaknya. Membuat Sisca percaya bahwa mencintai dirinya adalah tujuan hidup seorang Sam.

(Andaikan ku dapat mengungkapkan perasaanku
Hingga membuat kau percaya
Akan ku berikan seutuhnya rasa cintaku
Selamanya selamanya)

Ingin Sisca bisa membalas cinta Sam. Dalam kesendiriannya ia berharap, dalam hening ia berdoa agar itu menjadi kenyataan. Ia ingin bisa memberikan seutuhnya rasa cintanya untuk Sam. Selamanya. Namun ternyata itu tidak semudah dan semulus harapannya.
Akankah mereka berjodoh ? Akankah ia memiliki ‘selamanya cinta’ ?



PART 1

I LOST HIM


Hujan di pagi hari ini turun sangat deras, sederas air mata yang tak bisa kubendung ketika kulihat jasad suamiku, Rey, tergeletak di petinya. Mama memelukku erat. Hanya satu yang menjadi pikiranku saat ini, bagaimana aku harus menceritakan semua ini pada Bobby, anakku.

Wajah Rey tampak tenang. Ia seperti tidur. Tapi kali ini tidur yang takkan kunjung bangun. Kecelakaan telah merenggut nyawanya. Dia terlalu memaksakan diri pagi lalu untuk berangkat pulang ke rumah dalam keadaan mengantuk setelah semalaman suntuk menyelesaikan laporan kerjanya. Hujan memang tidak pernah berhenti sejak siang itu hingga pagi ini. Licinnya jalan ditambah dengan rasa kantuk yang berlebih maka terjadilah kecelakaan itu. Warga menemukan tubuh suami ku yang masih bernyawa di tanah yang bersebelahan dengan jurang yang cukup dalam. Ia tidak sadarkan diri, sedangkan darah yang keluar terlalu banyak, maka nyawanya pun tak dapat tertolong lagi setelah beberapa menit ia dibawa ambulance untuk dibawa menuju rumah sakit terdekat.

Sudah satu tahun ini kami memang sudah sepakat agar ia mengontrak sebuah rumah mungil di pedalaman, supaya ia bisa dekat dengan tempat ia bekerja sebagai konsultan proyek di daerah tersebut. Seminggu sekali ia sempatkan untuk pulang dan berkumpul bersama kami di rumah, tapi ternyata akhir minggu ini merupakan akhir pertemuanku dengannya.

Semalam ia masih menelepon rumah menanyakan keadaan Bobby. Tak henti-hentinya ia berpesan padaku untuk selalu menjaganya. Entah itu firasat atau bukan, yang pasti memang sudah dua hari ini Bobby demam jadi ia kuatir dengan keadaan putranya.

Sesampainya kami di rumah duka, rumah yang sudah hampir tiga tahun ini kami tempati bersama, tak kuasa kulihat wajah lugu Bobby menatap ku lekat. Setengah berlari aku menghampirinya dan serta merta aku menangis di pelukannya. Ayah dan bunda Rey tampak baru datang. Serta merta mereka memelukku, hangat. Mereka sudah lama tinggal Singapura. Sejak lepas kuliah disana, Rey memutuskan untuk tinggal di Jakarta seorang diri. Rey adalah anak tunggal di keluarganya. Pasti sangat berat orang tuanya mengijinkan Rey untuk tinggal mandiri disini, seberat mereka harus ditinggalkan putra kesayangannya sekarang. Mereka berhambur dan menangis di samping jasad Rey.

“Kok Ibu nangis ? Ayah mana ? Katanya Ibu mau pulang sama Ayah ?” tanya nya bertubi-tubi dengan logat cedal nya.

Iyah, pembantuku menggendong Bobby dan mengambilnya dari pelukanku, sesuai instruksi dari mama. Dan mama kemudian menarik pundakku, memelukku dan membisikkan sesuatu padaku.

“Bagaimanapun sedihnya, kamu harus tetap cerita pada Bobby, Sis.”

“Tapi Sisca gak bisa, ma.” elakku.

“Cobalah. Bawa dia mendekat ke Rey. Dan jelaskan padanya kalo ayahnya akan tertidur sangat lama.” mama dengan lembut membelai rambutku. Aku mengangguk dan mama mulai melepaskan pelukannya.

Kuhampiri Bobby yang sedang bermain di kamarnya. Umurnya masih sangat muda, 2,5 tahun, aku harus mempersiapkan kalimat yang bisa dia mengerti. Kugendong ia keluar kamar. Isak tangis para kerabat dan keluarga Rey memenuhi ruang tamu berukuran 4x4 ini. Kuletakkan ia dekat dengan jenazah ayahnya. Kami termangu cukup lama, memandang wajah Rey yang tenang.

“Hei, ibu pulang sama ayah ya ? Kenapa ayah tetep merem aja ? Yah ini Bobby, yah.” itu kalimat pertama yang terlontar dari mulutnya setelah disadarinya bahwa aku memang tidak pulang sendirian. Sangat polos. Biasanya Rey akan menyambutnya dengan pelukan. Sekarang suasana begitu dingin.

“Sayang, ayah sudah pergi untuk selamanya.” Huh........pasti dia tidak akan mengerti maksud kalimatku ini. Dia kan masih terlalu kecil.

“Emangnya ayah mau pergi kemana ? Ayah kan baru pulang ?” tanyanya dengan kalimat-kalimat yang terkadang masih cedal kedengarannya.

“Ayah..........ayah sudah meninggal, nak.”

“Meninggal apa sih, bu?”

“Sisca, kamu pasti bisa menjelaskan ke Bobby, nak.” mama memberiku semangat. Entah kemana larinya kalimat-kalimat mudah yang biasa aku berikan untuk Bobby ketika dia minta penjelasan tentang ini dan itu. Maklum anak seumuran Bobby lebih banyak menuntut kejelasan tentang sesuatu yang tidak dia mengerti.

“Iya ma.” ujar ku pada mama. Mama bergeming, ia tetap menemaniku.

“Bobby, ayah mau pergi jauh ketemu Tuhan. Makanya ayah gak akan sama-sama kita lagi sekarang. Tuhan cinta sama ayah, makanya Tuhan memanggil ayah kesana.”

“Bobby juga cinta sama ayah. Tapi kenapa ayah lebih milih Tuhan ?”

“Karena Tuhan yang menciptakan ayah makanya ayah kembali lagi ke Tuhan.”

“Trus, ntar Bobby main sama siapa kalo gak ada ayah ?”

“Bobby masih punya ibu, eyang, mbak Iyah, sama temen-temen yang lain juga bisa kan ?”

“Jadi Bobby gak akan ketemu ayah lagi?”

“Iya sayang, tapi Bobby akan simpan semua kenangan bersama ayah disini.” sambil aku menunjuk dada Bobby.

“Bobby sayang ayah.” matanya yang sedari tadi tidak lepas dari wajah Rey berbalik padaku dan memelukku erat sekali.

“Kita semua sayang sama ayah. Sekarang Bobby cium ayah, ya ?” Pertunjukkan yang mengharukan, semua tamu yang hadir menangis untuk drama satu babak dalam keluargaku ini.

Anakku, ayahmu akan selalu menjagamu seperti dulu hanya sekarang dia tidak akan bersama-sama kita lagi.

Ya Tuhan, ijinkan lah hambamu ini kuat menjaga anak hamba seorang diri. Dengan tangan ini hamba akan membimbingnya menjadi anak yang baik seperti yang Engkau harapkan.

Sekarang Bobby dan aku bergantung satu sama lain. Setiap ada acara kaluar rumah selalu kubawa serta Bobby. Entah itu urusan kantor atau sekedar hang out dengan teman-teman untuk mencoba restaurant baru atau jalan-jalan di mall yang baru soft opening. Setiap hari Jumat kami sempatkan untuk ziarah ke makam Rey. Tidak lupa Bobby selalu membawa seikat bunga lily untuk dia persembahkan pada ayahnya. Rey suka sekali dengan bunga itu. Di taman rumah kami banyak tumbuh bunga itu, tapi jika belum berkembang, Bobby selalu memintaku untuk membelikannya untuk dibawa ke pusara ayahnya.

Kami sekarang hidup dalam kesederhanaan. Rumah peninggalan Rey aku kontrakkan karena terlalu besar untuk aku dan Bobby. Ayah dan Bunda Rey, mertuaku, melarangku untuk menjualnya. Walaupun baru beberapa kali saja mereka datang mengunjungi rumah kami ini tapi mereka bersikeras akan mempertahankan satu-satunya harta peninggalan anaknya. Rey dulu mendesainnya memang agak sedikit besar, katanya jika anak kami banyak maka akan cukup jika ruangan-ruangan yang lain akan digunakan sebagai tempat bermain dan kamar tidur mereka. Sekarang kami harus meninggalkannya & memilih sebuah rumah kecil yang mungil namun tetap asri. Bobby senang tinggal disana. Tapi sesekali dia masih merengek untuk kembali ke rumah kami itu walaupun hanya sekedar lewat di depan pintu gerbang dan melihat halaman depan rumah sudah membuatnya puas.

Beberapa bulan pernikahan ku dengan Rey berjalan kami langsung dianugerahi Bobby oleh Tuhan. Hampir tiga tahun usia Bobby kala Rey masih ada, membuat suasana rumah tangga kami bahagia dengan pertumbuhan dan keceriannya. Tapi sayang, Rey tidak bisa melihat kalau anaknya sekarang sudah mulai sedikit-sedikit bisa membaca huruf Arab, berhitung dan menulis. Memang perkembangannya agak sedikit lebih cepat dari anak seusianya yang lain. Suatu anugerah dari Tuhan untuknya memiliki kecerdasan itu.

Genap dua tahun sudah Rey meninggalkan kami. Karier ku semakin mantap berjalan. Dan sebentar lagi Bobby akan masuk TK. Senang sekali ia mempersiapkan segala keperluan pertamanya sekolah. Dari mulai tas, tempat minum, tempat makan, kotak alat tulis sampai buku gambar dia pilih sendiri di mall waktu sekalian ku ajak dia belanja bulanan. Usia Bobby sudah hampir 5 tahun jadi aku sudah percaya padanya untuk meninggalkannya di toko alat tulis itu sendirian, sedang aku berbelanja di supermarket yang bersebelahan dengan toko itu. Setengah jam kemudian aku menjemputnya kembali dengan beberapa barang pilihannya. Setelah kubayar di kasir, kami pun bergegas pulang karena baru saja mama telpon akan main ke rumah. Di mobil tak henti-hentinya Bobby bercerita bagaimana asyiknya tadi dia memilih peralatan sekolahnya, sampai dia juga bercerita sesuatu.

“Tadi ada om yang deketin Bobby, bu.” Sambil mulutnya terus mengunyah makanan ringan yang aku belikan di supermarket.

“Trus ?” tanya ku penasaran.

“Bobby ditanya'in mau beli apa. Trus om itu yang bantu Bobby pilih-pilih barang.”

“Siapa namanya ?”

“Bobby lupa nanya.”

“Sayang, lain kali kalo diajak ngobrol sama orang asing jangan langsung percaya ya, nak, apalagi kalo dikasih minuman atau makanan, bilang aja Bobby udah kenyang dan langsung pergi ke pak satpam kalo ibu gak ada di dekat Bobby. Yang nurut sama ibu ya nak.” perintah ku, cemas.

“Iya ibu.” janji Bobby.


to be continued...........

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda