Selamanya Cinta Part 2
O…..o…..he’s coming back
Karierku melejit bak roket. Asty, teman seperjuanganku iri melihat kesuksesan ku yang menjulang itu. Bahkan dia mengiba padaku untuk bisa turun jabatan menjadi asistenku saja selama aku menjabat sebagai manager promosi. Itu berarti dia harus pindah divisi.
“Ayolah Sis. Kamu kan bisa minta sama Pak Pram untuk mutasikan aku ke departemen mu?”
Pak Pram itu manager HRD di “Green Miles”, perusahaan advertising & event organizer tempat aku bekerja. Selama 10 tahun aku mengejar posisi manager promosi itu. Selain karena aku mencintai pekerjaan ini juga karena penghasilannya yang cukup besar untuk bisa menghidupi Bobby dengan lebih baik lagi. Dan Asty adalah karyawan di Green Miles pertama yang aku kenal. Ia masuk lebih dulu sebulan daripadaku. Selebihnya kami selalu bekerja dan jalan bareng, alhasil kami jadi sepasang sahabat karib. Sosok Asty yang periang membuat hari-hari ku semakin indah. Bobby pun sudah mengenal Asty dekat. Tak jarang pula Asty menginap di rumah setelah menghabiskan malam menemani Bobby main monopoli kesukaannya. Aku terlahir sebagai anak tunggal, jadi kehadiran Asty di dunia ini membuatku ikut merasakan indahnya mempunyai saudara perempuan.
“OK, OK, ntar aku coba omongin itu ke Pak Pram.” padahal baru 1 minggu aku dipromosikan menjadi manager, apa kata pak Pram nanti, pasti aku dikira ngelunjak.
“Sekarang aku meeting dulu ya say.” potongku.
Klien ku sudah menunggu di ruang meeting untuk mendengarkan presentasiku siang ini. Aku mendapatkan proyek mengerjakan iklan makanan anjing. Ide-ide cemerlang aku dapatkan dari Bobby yang kuperhatikan saat sedang asyik bermain dengan kucing tetangga. Kalau presentasi ini goal aku harus berterima kasih pada Bobby.
Acara tawar-menawar berlangsung alot. Mereka tidak mempermasalahkan presentasi yang aku ajukan, bahkan senang sekali jika produk mereka aku iklankan, tapi soal nominal menjadi kendalanya.
“Maaf pak, kalo bapak percaya iklan ini bisa membawa produk bapak diterima dipasaran maka bapak juga harus percaya kalo nominal besar akan menanti bapak nantinya.” ujarku mencoba meyakinkan client.
“Ibu kita yang satu ini bisa saja.” canda salah seorang dari lima orang clientku.
Setelah mereka pikir-pikir lagi dan sedikit argumen dengan teman-temannya mereka mulai memutuskan sesuatu.
“Baiklah, kami akan pakai ide anda.” dia berdiri dan menjabat erat tanganku.
Wajah-wajah sumringah team ku dapat terbaca jelas bagi departemen lain setelah keluar dari ruang meeting.
“Pasti goal kan ?” tanya Asty yang tiba-tiba muncul di belakangku.
Kuberikan senyum terindah yang kumiliki.
“Asyik, makan-makan.” serunya. Aku menoyor jidat Asty.
“Kerja dulu baru makan.” sentakku halus dan kemudian aku berlalu dari pandangannya.
Di tempat kerja ku ini aku diterima tidak dengan sebelah mata. Mereka semua menghormatiku sebagai janda dari suami yang telah meninggal dunia. Hal ini karena aku bekerja disini sudah cukup lama, jauh sebelum aku bertemu dengan Rey.
Semua orang sangat menjaga perasaanku. Bahkan Asty pun pernah ingin memperkenalkan teman dekatnya padaku dengan sangat hati-hati. Aku malah sungkan diperlakukan seperti itu, lagi pula ini sudah dua tahun berlangsung. Aku memang tidak akan bisa melupakan Rey, tapi hidupku harus tetap berjalan dengan semua hal baru yang harus siap kuhadapi. Termasuk pasangan baru, ayah baru untuk Bobby. Mama dan papa pernah memintaku untuk segera menikah lagi agar Bobby tidak tumbuh sebagai anak tanpa sosok ayah disampingnya. Aku hanya menjanjikan pada mereka, kalau jodoh tidak akan lari kemana.
Sejauh ini aku dikelilingi oleh rekan yang baik padaku, team yang solid, jadi mungkin itu kenapa aku selalu merasa nyaman dan aman berada diantara mereka dan belum berpikir untuk mencari pendamping hidup yang baru.
“Mbak, atasan Pambudi coorp minta ketemu.” ujar Allen di suatu siang. Pambudi coorp adalah client ku untuk iklan makanan anjing itu.
“Dimana dia ? Kok gak buat janji dulu sih ?”
“Kalo mbak keberatan dia gak maksa kok. Katanya kalau mbak Sisca udah ada janji yang lain ya ditunda aja dulu sama yang Pambudi ini.”
“Aneh.” Nah ini dia, mataku mulai menangkap barang di meja kerjaku yang lumayan amburadul. Sesaat setelah aku menemukan barang yang kucari aku bergegas keluar dari ruang kerjaku.
Allen, asistenku mengikuti ku berjalan menuju tangga. Aku memang sudah ada janji dengan Bobby untuk ziarah ke makam Rey sore ini. Bobby aku tinggal di lobby ditemani Asty sedang aku ada perlu mengambil blocknote yang tertinggal di atas.
Allen masih setia mengikuti ku. Itu karena aku belum bisa memutuskan untuk bertemu atau tidak dengan Pambudi coorp. Setelah kulihat wajah Bobby yang sedang asyik bermain kartu tarrot milik Asty, aku putuskan untuk menunda pertemuan dengan Pambudi esok.
“Baik mbak, kalo mbak gak bisa hari ini akan saya sampaikan ke pak Sam. Biar nanti dia saja yang buat appointment baru dengan mbak.”
“OK Allen, aku tinggal dulu ya.” akhirnya Allen meninggalkanku sendiri.
Sore itu kami jadi ziarah ke makam Rey.
Sembari menunggu kabar pertemuanku disetujui atau tidak oleh Sisca, aku memutuskan untuk membaca koran yang tersedia di lobby kantor advertising ini. Setelah beberapa saat mencoba untuk berkonsentrasi membaca, akhirnya telingaku terganggu juga oleh sebuah suara yang ada di kursi sebelah. Ternyata anak itu. Aku sudah tau sejak awal kalau Sisca sudah menikah dan punya anak bernama Bobby. Dan sosok mungil itu sekarang ada dihadapanku.
“Ramalin Bobby, tante ?” pinta Bobby, manja.
“Anak kecil gak boleh main ramal-ramalan. Kalo mau dibuat mainan gak papa asal jangan lecek ya.”
Mata Bobby bersinar.
“Kalo gitu tante aja yang Bobby ramal.”
“Dasar anak kecil.” wanita yang dipanggilnya tante itu mengusap lembut rambut Bobby.
“Gimana kalo om aja yang diramal ?” celetukku. Serta merta keduanya menoleh ke arah ku.
“Eh, om kan yang waktu itu nemenin Bobby di toko buku ya ?” ingat Bobby.
Pertemuan dengan Bobby di toko itu memang tidak ku sengaja. Dengan hanya berbekal ingatan ku pada selembar foto keluarga Sisca yang pernah aku terima dari seorang teman sekaligus mata-mata yang kusewa untuk mencari keberadaan Sisca, maka dengan cepat aku bisa mengenali Bobby sebagai anak kandung Sisca. Foto itu masih aku simpan sampai sekarang. Hanya saja sekarang Rey sudah tidak ada. Itu berita terakhir yang kudengar.
“Iya sayang. Apa kabar ?”
“Baik om.”
“Jadi sekolahnya ?”
“Bobby kenal sama om ini ?” potong wanita itu bingung.
“Iya, kita ketemu di mall Sejati.”
“Ibu juga kenal ?”
“O iya, kata ibu, Bobby gak boleh bicara sama orang asing.” ujar Bobby.
“Kalo gitu kita kenalan aja supaya gak jadi asing. Nama kamu Bobby kan? Saya Sam?” Bobby mengangguk-angguk senang. Sembari kuulurkan tanganku dan disambut oleh Bobby.
“Dan ini tante Asty, temen kerja Ibu.” Bobby memperkenalkanku pada sosok wanita yang tadi ia panggil dengan sebutan tante. Kami saling berjabatan tangan.
Tiba-tiba handphone di saku ku berbunyi.
“Maaf, om terima telpon ini dulu ya.” Bobby dan Asty mengangguk bersamaan.
Aku tidak melihat Sisca turun dari tangga gara-gara telpon dari Satrio, staff ku. Dan akhirnya hanya asisten Sisca lagi yang menemuiku.
Aku gagal menemuinya. Bobby telah berlalu dengan Sisca.
Akhirnya pertemuanku dengan Pambudi coorp di reschedule. Allen menyiapkan ruang meeting sore itu untuk keperluan yang satu itu. Mereka datang on time.
“Mbak, pemilik Pambudi coorp sudah menunggu di ruang meeting.” info Allen.
“Team yang lain ?”
“Sudah menemani lebih dulu mbak ?”
“Mau apa sih mereka, Len?”
“Gak tau mbak, setau saya tidak ada surat dari mereka yang menyatakan ingin membatalkan kontrak.”
Allen kembali setia mengikutiku dari belakang. Setiba nya di depan ruang meeting, Allen membukakan pintu yang terbuat dari kayu jati itu untukku. Hawa dingin AC ruangan menerpa wajahku. Beberapa pasang mata melihatku.
“Nah ini dia yang berhasil membujuk saya dengan karya nya untuk menerima kontrak ini pak?” jelas pak Satrio, perwakilan dari Pambudi coorp. Semua berdiri menyambutku. Satu per satu saya jabat tangannya, sampai pada seseorang yang aku kenal tapi telah lama hilang. Sam......betulkah ini Sam ? Ragu-ragu aku menjabat tangannya. Aku termangu.
“Beliau Pak Sam, bu. Pemilik Pambudi coorp Jawa-Bali.” terang Satrio lagi. Membuyarkan lamunanku.
“Senang bisa bertemu lagi.” ujar Sam. Aku cuma bisa mengangguk dan tersenyum untuk mengatasi rasa grogi.
“Jadi Ibu dan Pak Sam sudah saling kenal?” tanya Satrio.
“Teman lama.” terang Sam. Mata kami saling beradu cukup lama.
“Saya hanya ingin bertemu dengan orang yang bisa membuat Pak Satrio ini luluh. Susah sekali bagi beliau untuk bisa menarik ide orang lain. Berarti masih ada di dunia ini yang bisa menaklukkannya.” lanjut Sam.
“Ah, bapak ini.” Satrio tersipu. Kepala botaknya serta merta berkilau, se kilau senyumannya.
“Bapak terlalu menyanjung. Saya juga tidak akan bisa mempresentasikan ide brilliant itu jika tidak ada tim canggih saya ini. Saya pikir ada apa pak, soalnya setahu asistent saya tidak ada surat masuk yang menyatakan pembatalan kontrak anda.” terang ku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap tenang.
“Maaf kalo membuat Ibu bingung dan maaf juga kalau saya pernah datang kesini tanpa appointment lebih dulu. Maklum saya orangnya suka jalan, jadi ketika melintas di jalan Pemuda saya pikir kenapa tidak saja langsung kesini. Eh dibawah saya malah bertemu dengan anak kecil yang cerdas dan saya rasa dia memang secerdas ibunya.”
Apakah yang dia maksud adalah Bobby ? Waktu itu kan Bobby aku tinggal dengan Asty di lobby. Jadi Sam sudah bertemu dengan Bobby. Apakah Sam tau kalau anak yang dia maksud itu adalah anakku.
“OK, kita sudah menyita banyak waktu yang berharga untuk bu Sisca dan team. Saya hanya berharap kerjasama ini akan berlangsung dengan baik bahkan terus walaupun kontrak kita sudah berakhir. Sekali lagi kami minta maaf jika sudah menyusahkan kalian.” pamit Sam.
“Tidak pak, sama sekali tidak. Kami berharap juga kerjasama ini bisa langgeng dan kontrak-kontrak berikutnya akan datang lagi pada kami.” ha...ha...ha....riuh tawa menyambut ucapanku.
“Sampaikan salam saya pada Bobby ya.” bisik Sam ketika kami saling berjabat tangan untuk berpamitan.
Jadi, benar dugaanku.
Sam.
Tidak ada sama sekali kecanggungan tampak di wajahnya. Semoga aku juga tidak menyiratkan rasa grogi yang amat sangat saat pertemuan tadi.
“Allen”
“Ya mbak ?”
“Apa tadi aku terlihat aneh ?”
“Maksud mbak ?”
“Aku kelihatan gugup gak ?”
“Kalo saya lihat sih, mbak seperti apa adanya mbak. Tidak ada yang kurang juga tidak ada yang lebih. Mbak tetep manis.” Allen memang suka berlebihan kalau memuji.
“Tumben kamu gak makan malam di rumah, Sis? Ntar Bobby nyari lho.” malam ini aku ingin curhat setelah bertemu dengan Sam tadi di kantor. Dan makan malam diluar rumah adalah jalan tengah yang baik, soalnya kalo di rumah tidak akan bisa lepas dari genggaman Bobby.
“Aku udah ijin kok.”
“Kayaknya ada yang aneh. Ada apa sih, Sis?”
“Aku habis ketemu teman lama.” pelayan datang membawakan pesanan kami. Malam ini aku tidak sedang antusias makan, jadi aku cuma pesan orange jus dan kentang goreng.
“Siapa ?” Asty bersiap hendak menyantap makanannya. Sebenarnya tergiur juga mencoba sup buntut, menu andalan di restoran ini. Tapi sekali lagi kuurungkan niatku itu.
“Sebenarnya lebih tepat dibilang mantan pacar.”
“Sisca punya mantan pacar ?” Asty memang sahabat ku sejak masuk di perusahaan ini. Jadi dia hanya mengenal Rey sebagai pacar pertama dan terakhirku.
“Ya iyalah, emang kamu doang yang bisa gonta ganti pacar ?” protesku.
“Sorry....sorry....trus, dimana kalian ketemuan lagi?”
“Di kantor.”
“Kapan ? Kok aku gak lihat ada tamu yang muda dan perlente. Yang aku lihat cuma si botak yang dulu pernah datang juga kesini.” pasti yang Asty maksud adalah Satrio.
“Jangan-jangan dulu selera mu yang begituan ya sis. Jadi beruntung dong ada Rey yang mau sama kamu.”
“Sialan kamu. Kamu sih taunya belakangan. Eh iya, aku baru inget. Di meeting tadi dia juga bilang kalo hari Jumat kemarin dia pernah datang ke kantor dan ketemu sama Bobby di lobby, bukannya waktu itu Bobby kamu yang jagain ?”
“Ehm..sebentar...perasaan tidak ada orang mencurigakan di lobby waktu itu.” kalimat Asty makin tidak jelas, karena dia tenggelam bersama lauk pauk di mulutnya.
“Eh tapi tunggu deh. Kita emang sempat kenalan sama orang, kalo bener itu orang yang lo maksud Sis, wow guanteng banget orangnya, dandanannya trendy, bukan kayak orang kantoran, tapi wajahnya tetep profesional muda gitu.”
“Siapa namanya ?”
“Si.....sa.....Sam. Iya Sam. Malah Bobby duluan yang kenal ama dia. Katanya dulu udah pernah ketemuan di toko buku gitu.” aku jadi teringat cerita Bobby, pengalaman pertama kalinya berbicara dengan orang asing dan sempat membuatku panik itu.
“Jadi pantes kalo dia tau Bobby itu anakku.”
“Trus, dia udah nikah blon? Ato udah punya pacar ? Jangan-jangan udah punya anak juga ?” hih! Aku comot sup buntut Asty. Dia langsung manyun lihat daging terakhir di mangkoknya masuk ke mulut ku.
Sam.
Setelah bertahun-tahun lamanya kami bertemu kembali. Dalam suasana dan keadaan yang jauh berbeda. Kami memang belum sempat saling bertukar pengalaman, tapi aku yakin betul kalo sekarang dia sudah sukses dengan kariernya. Terbukti sudah berapa puluh anak perusahaan yang ia punya dan kelola, termasuk Pambudi coorp yang punya kontrak kerjasama dengan Green Miles. Kabar itu aku dengar dari Allen saat mereportase awal mula Pambudi coorp berdiri, sebagai arsip perusahaan.
Sam yang dulu, yang aku kenal adalah seorang mahasiswa dengan rambut gondrong dan pakaian ala kadarnya. Kami dulu sempat berpacaran, tapi tidak lama. Karena kami ingin mengejar karier dulu masing-masing. Tidak lama tapi cukup berkesan. Dari Sam aku mengenal arti hidup yang sesungguhnya, karena semua kekayaan yang ia miliki sekarang adalah dimulainya dari nol, dari sejak dia belum punya apa-apa. Sebagai anak pertama di keluarganya dia mempunyai tanggungjawab yang besar untuk bisa membawa keluarganya ke kehidupan yang lebih baik. Makanya dia meminta kami putus, karena obsesi nya untuk berkarier hanya akan membuatku disisihkan olehnya.
Beberapa tahun berlalu. Sam tidak pernah terdengar kabarnya sampai satu email pernah nyasar masuk ke inbox di email ku.
From : zero@yahoo.com
to : addictive@yahoo.com
hai, sisca. Gimana kabarmu sekarang ? Sudahkah kau dapatkan arti hidup yang sesungguhnya ? Tapi di sisi lain aku tetap beharap yang terbaik untuk mu. Kamu pernah menjadi “rose” dalam hidupku. And will always do.
Dia ganti alamat email. Tapi aku tau itu dia. Sam. Hanya dia yang pernah panggil aku “rose”. Jadi selama itu dia masih mengingatku.
Betul kata Asty. Dia memang tampan, idola para gadis di kampusnya. Dalam email-email berikutnya dia bercerita kalau dia sempat bekerja sebagai loper koran di Amrik. Gajinya lumayan untuk dia bisa ambil kuliah lagi disana. Dan aku cerita padanya kalau aku sudah bekerja di perusahaan advertising di Semarang. Sejak email terkhirnya yang bercerita kalau dia akan mengambil kuliah S2 di Amrik itu dia tidak lagi menghubungiku. Hubungan kami benar-benar putus. Tapi terkadang aku masih memberinya info apapun yang terjadi denganku, termasuk info pernikahanku dengan Rey.
Kenapa sekarang dia datang lagi. Apakah karena hanya kebetulan dia akan mengiklankan produknya disini atau ada maksud lain. Beberapa pertanyaan menyesakkan pikiranku.
Karierku melejit bak roket. Asty, teman seperjuanganku iri melihat kesuksesan ku yang menjulang itu. Bahkan dia mengiba padaku untuk bisa turun jabatan menjadi asistenku saja selama aku menjabat sebagai manager promosi. Itu berarti dia harus pindah divisi.
“Ayolah Sis. Kamu kan bisa minta sama Pak Pram untuk mutasikan aku ke departemen mu?”
Pak Pram itu manager HRD di “Green Miles”, perusahaan advertising & event organizer tempat aku bekerja. Selama 10 tahun aku mengejar posisi manager promosi itu. Selain karena aku mencintai pekerjaan ini juga karena penghasilannya yang cukup besar untuk bisa menghidupi Bobby dengan lebih baik lagi. Dan Asty adalah karyawan di Green Miles pertama yang aku kenal. Ia masuk lebih dulu sebulan daripadaku. Selebihnya kami selalu bekerja dan jalan bareng, alhasil kami jadi sepasang sahabat karib. Sosok Asty yang periang membuat hari-hari ku semakin indah. Bobby pun sudah mengenal Asty dekat. Tak jarang pula Asty menginap di rumah setelah menghabiskan malam menemani Bobby main monopoli kesukaannya. Aku terlahir sebagai anak tunggal, jadi kehadiran Asty di dunia ini membuatku ikut merasakan indahnya mempunyai saudara perempuan.
“OK, OK, ntar aku coba omongin itu ke Pak Pram.” padahal baru 1 minggu aku dipromosikan menjadi manager, apa kata pak Pram nanti, pasti aku dikira ngelunjak.
“Sekarang aku meeting dulu ya say.” potongku.
Klien ku sudah menunggu di ruang meeting untuk mendengarkan presentasiku siang ini. Aku mendapatkan proyek mengerjakan iklan makanan anjing. Ide-ide cemerlang aku dapatkan dari Bobby yang kuperhatikan saat sedang asyik bermain dengan kucing tetangga. Kalau presentasi ini goal aku harus berterima kasih pada Bobby.
Acara tawar-menawar berlangsung alot. Mereka tidak mempermasalahkan presentasi yang aku ajukan, bahkan senang sekali jika produk mereka aku iklankan, tapi soal nominal menjadi kendalanya.
“Maaf pak, kalo bapak percaya iklan ini bisa membawa produk bapak diterima dipasaran maka bapak juga harus percaya kalo nominal besar akan menanti bapak nantinya.” ujarku mencoba meyakinkan client.
“Ibu kita yang satu ini bisa saja.” canda salah seorang dari lima orang clientku.
Setelah mereka pikir-pikir lagi dan sedikit argumen dengan teman-temannya mereka mulai memutuskan sesuatu.
“Baiklah, kami akan pakai ide anda.” dia berdiri dan menjabat erat tanganku.
Wajah-wajah sumringah team ku dapat terbaca jelas bagi departemen lain setelah keluar dari ruang meeting.
“Pasti goal kan ?” tanya Asty yang tiba-tiba muncul di belakangku.
Kuberikan senyum terindah yang kumiliki.
“Asyik, makan-makan.” serunya. Aku menoyor jidat Asty.
“Kerja dulu baru makan.” sentakku halus dan kemudian aku berlalu dari pandangannya.
Di tempat kerja ku ini aku diterima tidak dengan sebelah mata. Mereka semua menghormatiku sebagai janda dari suami yang telah meninggal dunia. Hal ini karena aku bekerja disini sudah cukup lama, jauh sebelum aku bertemu dengan Rey.
Semua orang sangat menjaga perasaanku. Bahkan Asty pun pernah ingin memperkenalkan teman dekatnya padaku dengan sangat hati-hati. Aku malah sungkan diperlakukan seperti itu, lagi pula ini sudah dua tahun berlangsung. Aku memang tidak akan bisa melupakan Rey, tapi hidupku harus tetap berjalan dengan semua hal baru yang harus siap kuhadapi. Termasuk pasangan baru, ayah baru untuk Bobby. Mama dan papa pernah memintaku untuk segera menikah lagi agar Bobby tidak tumbuh sebagai anak tanpa sosok ayah disampingnya. Aku hanya menjanjikan pada mereka, kalau jodoh tidak akan lari kemana.
Sejauh ini aku dikelilingi oleh rekan yang baik padaku, team yang solid, jadi mungkin itu kenapa aku selalu merasa nyaman dan aman berada diantara mereka dan belum berpikir untuk mencari pendamping hidup yang baru.
“Mbak, atasan Pambudi coorp minta ketemu.” ujar Allen di suatu siang. Pambudi coorp adalah client ku untuk iklan makanan anjing itu.
“Dimana dia ? Kok gak buat janji dulu sih ?”
“Kalo mbak keberatan dia gak maksa kok. Katanya kalau mbak Sisca udah ada janji yang lain ya ditunda aja dulu sama yang Pambudi ini.”
“Aneh.” Nah ini dia, mataku mulai menangkap barang di meja kerjaku yang lumayan amburadul. Sesaat setelah aku menemukan barang yang kucari aku bergegas keluar dari ruang kerjaku.
Allen, asistenku mengikuti ku berjalan menuju tangga. Aku memang sudah ada janji dengan Bobby untuk ziarah ke makam Rey sore ini. Bobby aku tinggal di lobby ditemani Asty sedang aku ada perlu mengambil blocknote yang tertinggal di atas.
Allen masih setia mengikuti ku. Itu karena aku belum bisa memutuskan untuk bertemu atau tidak dengan Pambudi coorp. Setelah kulihat wajah Bobby yang sedang asyik bermain kartu tarrot milik Asty, aku putuskan untuk menunda pertemuan dengan Pambudi esok.
“Baik mbak, kalo mbak gak bisa hari ini akan saya sampaikan ke pak Sam. Biar nanti dia saja yang buat appointment baru dengan mbak.”
“OK Allen, aku tinggal dulu ya.” akhirnya Allen meninggalkanku sendiri.
Sore itu kami jadi ziarah ke makam Rey.
Sembari menunggu kabar pertemuanku disetujui atau tidak oleh Sisca, aku memutuskan untuk membaca koran yang tersedia di lobby kantor advertising ini. Setelah beberapa saat mencoba untuk berkonsentrasi membaca, akhirnya telingaku terganggu juga oleh sebuah suara yang ada di kursi sebelah. Ternyata anak itu. Aku sudah tau sejak awal kalau Sisca sudah menikah dan punya anak bernama Bobby. Dan sosok mungil itu sekarang ada dihadapanku.
“Ramalin Bobby, tante ?” pinta Bobby, manja.
“Anak kecil gak boleh main ramal-ramalan. Kalo mau dibuat mainan gak papa asal jangan lecek ya.”
Mata Bobby bersinar.
“Kalo gitu tante aja yang Bobby ramal.”
“Dasar anak kecil.” wanita yang dipanggilnya tante itu mengusap lembut rambut Bobby.
“Gimana kalo om aja yang diramal ?” celetukku. Serta merta keduanya menoleh ke arah ku.
“Eh, om kan yang waktu itu nemenin Bobby di toko buku ya ?” ingat Bobby.
Pertemuan dengan Bobby di toko itu memang tidak ku sengaja. Dengan hanya berbekal ingatan ku pada selembar foto keluarga Sisca yang pernah aku terima dari seorang teman sekaligus mata-mata yang kusewa untuk mencari keberadaan Sisca, maka dengan cepat aku bisa mengenali Bobby sebagai anak kandung Sisca. Foto itu masih aku simpan sampai sekarang. Hanya saja sekarang Rey sudah tidak ada. Itu berita terakhir yang kudengar.
“Iya sayang. Apa kabar ?”
“Baik om.”
“Jadi sekolahnya ?”
“Bobby kenal sama om ini ?” potong wanita itu bingung.
“Iya, kita ketemu di mall Sejati.”
“Ibu juga kenal ?”
“O iya, kata ibu, Bobby gak boleh bicara sama orang asing.” ujar Bobby.
“Kalo gitu kita kenalan aja supaya gak jadi asing. Nama kamu Bobby kan? Saya Sam?” Bobby mengangguk-angguk senang. Sembari kuulurkan tanganku dan disambut oleh Bobby.
“Dan ini tante Asty, temen kerja Ibu.” Bobby memperkenalkanku pada sosok wanita yang tadi ia panggil dengan sebutan tante. Kami saling berjabatan tangan.
Tiba-tiba handphone di saku ku berbunyi.
“Maaf, om terima telpon ini dulu ya.” Bobby dan Asty mengangguk bersamaan.
Aku tidak melihat Sisca turun dari tangga gara-gara telpon dari Satrio, staff ku. Dan akhirnya hanya asisten Sisca lagi yang menemuiku.
Aku gagal menemuinya. Bobby telah berlalu dengan Sisca.
Akhirnya pertemuanku dengan Pambudi coorp di reschedule. Allen menyiapkan ruang meeting sore itu untuk keperluan yang satu itu. Mereka datang on time.
“Mbak, pemilik Pambudi coorp sudah menunggu di ruang meeting.” info Allen.
“Team yang lain ?”
“Sudah menemani lebih dulu mbak ?”
“Mau apa sih mereka, Len?”
“Gak tau mbak, setau saya tidak ada surat dari mereka yang menyatakan ingin membatalkan kontrak.”
Allen kembali setia mengikutiku dari belakang. Setiba nya di depan ruang meeting, Allen membukakan pintu yang terbuat dari kayu jati itu untukku. Hawa dingin AC ruangan menerpa wajahku. Beberapa pasang mata melihatku.
“Nah ini dia yang berhasil membujuk saya dengan karya nya untuk menerima kontrak ini pak?” jelas pak Satrio, perwakilan dari Pambudi coorp. Semua berdiri menyambutku. Satu per satu saya jabat tangannya, sampai pada seseorang yang aku kenal tapi telah lama hilang. Sam......betulkah ini Sam ? Ragu-ragu aku menjabat tangannya. Aku termangu.
“Beliau Pak Sam, bu. Pemilik Pambudi coorp Jawa-Bali.” terang Satrio lagi. Membuyarkan lamunanku.
“Senang bisa bertemu lagi.” ujar Sam. Aku cuma bisa mengangguk dan tersenyum untuk mengatasi rasa grogi.
“Jadi Ibu dan Pak Sam sudah saling kenal?” tanya Satrio.
“Teman lama.” terang Sam. Mata kami saling beradu cukup lama.
“Saya hanya ingin bertemu dengan orang yang bisa membuat Pak Satrio ini luluh. Susah sekali bagi beliau untuk bisa menarik ide orang lain. Berarti masih ada di dunia ini yang bisa menaklukkannya.” lanjut Sam.
“Ah, bapak ini.” Satrio tersipu. Kepala botaknya serta merta berkilau, se kilau senyumannya.
“Bapak terlalu menyanjung. Saya juga tidak akan bisa mempresentasikan ide brilliant itu jika tidak ada tim canggih saya ini. Saya pikir ada apa pak, soalnya setahu asistent saya tidak ada surat masuk yang menyatakan pembatalan kontrak anda.” terang ku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap tenang.
“Maaf kalo membuat Ibu bingung dan maaf juga kalau saya pernah datang kesini tanpa appointment lebih dulu. Maklum saya orangnya suka jalan, jadi ketika melintas di jalan Pemuda saya pikir kenapa tidak saja langsung kesini. Eh dibawah saya malah bertemu dengan anak kecil yang cerdas dan saya rasa dia memang secerdas ibunya.”
Apakah yang dia maksud adalah Bobby ? Waktu itu kan Bobby aku tinggal dengan Asty di lobby. Jadi Sam sudah bertemu dengan Bobby. Apakah Sam tau kalau anak yang dia maksud itu adalah anakku.
“OK, kita sudah menyita banyak waktu yang berharga untuk bu Sisca dan team. Saya hanya berharap kerjasama ini akan berlangsung dengan baik bahkan terus walaupun kontrak kita sudah berakhir. Sekali lagi kami minta maaf jika sudah menyusahkan kalian.” pamit Sam.
“Tidak pak, sama sekali tidak. Kami berharap juga kerjasama ini bisa langgeng dan kontrak-kontrak berikutnya akan datang lagi pada kami.” ha...ha...ha....riuh tawa menyambut ucapanku.
“Sampaikan salam saya pada Bobby ya.” bisik Sam ketika kami saling berjabat tangan untuk berpamitan.
Jadi, benar dugaanku.
Sam.
Tidak ada sama sekali kecanggungan tampak di wajahnya. Semoga aku juga tidak menyiratkan rasa grogi yang amat sangat saat pertemuan tadi.
“Allen”
“Ya mbak ?”
“Apa tadi aku terlihat aneh ?”
“Maksud mbak ?”
“Aku kelihatan gugup gak ?”
“Kalo saya lihat sih, mbak seperti apa adanya mbak. Tidak ada yang kurang juga tidak ada yang lebih. Mbak tetep manis.” Allen memang suka berlebihan kalau memuji.
“Tumben kamu gak makan malam di rumah, Sis? Ntar Bobby nyari lho.” malam ini aku ingin curhat setelah bertemu dengan Sam tadi di kantor. Dan makan malam diluar rumah adalah jalan tengah yang baik, soalnya kalo di rumah tidak akan bisa lepas dari genggaman Bobby.
“Aku udah ijin kok.”
“Kayaknya ada yang aneh. Ada apa sih, Sis?”
“Aku habis ketemu teman lama.” pelayan datang membawakan pesanan kami. Malam ini aku tidak sedang antusias makan, jadi aku cuma pesan orange jus dan kentang goreng.
“Siapa ?” Asty bersiap hendak menyantap makanannya. Sebenarnya tergiur juga mencoba sup buntut, menu andalan di restoran ini. Tapi sekali lagi kuurungkan niatku itu.
“Sebenarnya lebih tepat dibilang mantan pacar.”
“Sisca punya mantan pacar ?” Asty memang sahabat ku sejak masuk di perusahaan ini. Jadi dia hanya mengenal Rey sebagai pacar pertama dan terakhirku.
“Ya iyalah, emang kamu doang yang bisa gonta ganti pacar ?” protesku.
“Sorry....sorry....trus, dimana kalian ketemuan lagi?”
“Di kantor.”
“Kapan ? Kok aku gak lihat ada tamu yang muda dan perlente. Yang aku lihat cuma si botak yang dulu pernah datang juga kesini.” pasti yang Asty maksud adalah Satrio.
“Jangan-jangan dulu selera mu yang begituan ya sis. Jadi beruntung dong ada Rey yang mau sama kamu.”
“Sialan kamu. Kamu sih taunya belakangan. Eh iya, aku baru inget. Di meeting tadi dia juga bilang kalo hari Jumat kemarin dia pernah datang ke kantor dan ketemu sama Bobby di lobby, bukannya waktu itu Bobby kamu yang jagain ?”
“Ehm..sebentar...perasaan tidak ada orang mencurigakan di lobby waktu itu.” kalimat Asty makin tidak jelas, karena dia tenggelam bersama lauk pauk di mulutnya.
“Eh tapi tunggu deh. Kita emang sempat kenalan sama orang, kalo bener itu orang yang lo maksud Sis, wow guanteng banget orangnya, dandanannya trendy, bukan kayak orang kantoran, tapi wajahnya tetep profesional muda gitu.”
“Siapa namanya ?”
“Si.....sa.....Sam. Iya Sam. Malah Bobby duluan yang kenal ama dia. Katanya dulu udah pernah ketemuan di toko buku gitu.” aku jadi teringat cerita Bobby, pengalaman pertama kalinya berbicara dengan orang asing dan sempat membuatku panik itu.
“Jadi pantes kalo dia tau Bobby itu anakku.”
“Trus, dia udah nikah blon? Ato udah punya pacar ? Jangan-jangan udah punya anak juga ?” hih! Aku comot sup buntut Asty. Dia langsung manyun lihat daging terakhir di mangkoknya masuk ke mulut ku.
Sam.
Setelah bertahun-tahun lamanya kami bertemu kembali. Dalam suasana dan keadaan yang jauh berbeda. Kami memang belum sempat saling bertukar pengalaman, tapi aku yakin betul kalo sekarang dia sudah sukses dengan kariernya. Terbukti sudah berapa puluh anak perusahaan yang ia punya dan kelola, termasuk Pambudi coorp yang punya kontrak kerjasama dengan Green Miles. Kabar itu aku dengar dari Allen saat mereportase awal mula Pambudi coorp berdiri, sebagai arsip perusahaan.
Sam yang dulu, yang aku kenal adalah seorang mahasiswa dengan rambut gondrong dan pakaian ala kadarnya. Kami dulu sempat berpacaran, tapi tidak lama. Karena kami ingin mengejar karier dulu masing-masing. Tidak lama tapi cukup berkesan. Dari Sam aku mengenal arti hidup yang sesungguhnya, karena semua kekayaan yang ia miliki sekarang adalah dimulainya dari nol, dari sejak dia belum punya apa-apa. Sebagai anak pertama di keluarganya dia mempunyai tanggungjawab yang besar untuk bisa membawa keluarganya ke kehidupan yang lebih baik. Makanya dia meminta kami putus, karena obsesi nya untuk berkarier hanya akan membuatku disisihkan olehnya.
Beberapa tahun berlalu. Sam tidak pernah terdengar kabarnya sampai satu email pernah nyasar masuk ke inbox di email ku.
From : zero@yahoo.com
to : addictive@yahoo.com
hai, sisca. Gimana kabarmu sekarang ? Sudahkah kau dapatkan arti hidup yang sesungguhnya ? Tapi di sisi lain aku tetap beharap yang terbaik untuk mu. Kamu pernah menjadi “rose” dalam hidupku. And will always do.
Dia ganti alamat email. Tapi aku tau itu dia. Sam. Hanya dia yang pernah panggil aku “rose”. Jadi selama itu dia masih mengingatku.
Betul kata Asty. Dia memang tampan, idola para gadis di kampusnya. Dalam email-email berikutnya dia bercerita kalau dia sempat bekerja sebagai loper koran di Amrik. Gajinya lumayan untuk dia bisa ambil kuliah lagi disana. Dan aku cerita padanya kalau aku sudah bekerja di perusahaan advertising di Semarang. Sejak email terkhirnya yang bercerita kalau dia akan mengambil kuliah S2 di Amrik itu dia tidak lagi menghubungiku. Hubungan kami benar-benar putus. Tapi terkadang aku masih memberinya info apapun yang terjadi denganku, termasuk info pernikahanku dengan Rey.
Kenapa sekarang dia datang lagi. Apakah karena hanya kebetulan dia akan mengiklankan produknya disini atau ada maksud lain. Beberapa pertanyaan menyesakkan pikiranku.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda