Selamanya Cinta Part 3
Nyambung deh
______________________________________________________________________
It’s too close
Hari ini aku janji mengajak Bobby jalan-jalan dan berenang di Bandungan. Saking senangnya dia tidak bisa tidur semalaman dan alhasil akupun tidak bisa istirahat dengan nyenyak. Aku memang jarang ajak Bobby berlibur. Sekalinya berlibur dia di ajak eyang kakung dan eyang putrinya ke kebun binatang tanpa aku. Rasa bersalah selalu menyelimutiku di akhir minggu. Saking hafalnya Bobby hanya berujar,
“Pasti Ibu mau pamit lagi kan gak bisa ajak Bobby jalan-jalan. Gak papa kok bu, Bobby akan jadi anak yang baik selama Ibu kerja.” aku hanya bisa tersenyum jika ia melontarkan kalimat itu dari bibir mungilnya.
Tapi hari ini aku akan menuruti segala keinginannya. Berenang di Bandungan, makan siang di Jimbaran, dan meninap di hotel. Ya hotel. Aku berencana menginap di hotel semalam supaya besok tidak perlu terlalu pagi jika ingin pergi ke Yogya.
Setelah seharian lelah bermain, malam ini Bobby minta ditemani jalan-jalan saja di sekitar pool hotel tempat kami menginap untuk melihat bintang dan bulan.
“Ayah baru apa ya bu?” pertanyaan itu mengagetkanku. Kembali aku harus kuasai diri dan menata kalimat yang terbaik. Walaupun sudah cukup lama Rey meninggalkan kami tapi suasana canggung masih menyelimutiku dikala salah satu dari kami mulai membahasnya kembali.
“Yang pasti ayah lagi bahagia di atas sana dan melihat kita yang juga lagi bahagia disini.”
“Halo ayah, Bobby disini. Ayah sudah makan belum ? Bobby sama Ibu nginep di hotel lho, makanannya uenak banget, kamarnya adem, tapi rasanya sepi karena gak ada ayah disini.”
“Sayang, ibu kan sudah pernah bilang, ayah memang tidak akan menemani kita tapi ayah akan selalu ada di hati Bobby.”
“Bobby tau bu, cuma rasanya gak lengkap kalo gak ada ayah disini.”
Aku tau itu nak, batinku. Kami melanjutkan berjalan dibawah naungan taburan bintang dan sinar hangat bulan.
“Hallo Bobby.” suara itu ? Tiba-tiba sosok itu muncul lagi.
“Eh, om Sam.”
“Hallo Sisca.” aku membalasnya dengan anggukan. Aku merasa aneh dengan keberadaan Sam disini. Tapi aku juga berusaha untuk tenang dan berfikir positif. Siapa tau memang semua ini hanya kebetulan saja.
“Hei, anak pintar. Menginap disini juga ?” Sam berjongkok di hadapan Bobby.
“Iya om. Kata Ibu biar besok gak kejauhan kalo mau ke Kids Fun.”
“Wah asyik dong ke Kids Fun.”
“Iya dong. Apalagi seharian tadi Bobby juga pergi ke.....................” Bobby berceloteh riang. Sam menggandeng tangannya mendekati kursi taman. Kudengar Bobby masih juga bercerita. Bobby duduk bersebelahan dengan Sam, sedang aku memilih kursi yang agak jauh. Terkadang aku sadar kalau Sam mencoba mencuri pandang ke aku.
“Tunggu, kok om sam juga sudah kenal sama ibu ?” tanya Bobby polos.
“Om teman kerja ibu kamu.”
“Oooooo......” Bobby menganggukkan kepala beberapa kali.
“Bobby sudah makan ?” tanya Sam dan Bobby hanya bisa menggeleng sambil menunggu reaksi ku.
“Tadi kan Bobby bilang belum laper.” kataku. Jengah dengan tatapan memelas Bobby.
“Iya sih, tapi sekarang udah, bu.”
“Gimana kalo kita makan bareng, Sis ? Bobby mau ?” Setelah menatapku, Sam beralih menatap pada Bobby dan Bobby kembali hanya bisa mengangguk dengan senyum terkembang.
Sam memesankan meja di pinggir kolam renang untuk kami. Makanan yang disajikan cukup beragam. Selera makanku yang semula amat sangat bergejolak kembali redup karena ada Sam yang menemani kami disini. Alhasil hanya jus mangga dan bakmie goreng yang aku pesan. Dalam hening makan malam ini kembali aku teringat pada Rey. Ekspresi yang Bobby curahkan untuk Sam sama dengan pada saat ia bersama Rey. Ceria, hangat, pokoknya ramai sekali. Mungkin anakku itu benar-benar kangen pada ayahnya.
“Tumben Ibu makannya sedikit ? Biasanya lebih banyak dari Bobby.” celetuk Bobby.
“O ya.” Sam pura-pura tercengang. Senyum menghias wajahnya.
“Kamu ini. Dihabiskan dulu makannya habis itu buruan ke atas dan tidur. Sudah malam. Besok pagi biar bisa bangun pagi.”
“Ya ibu, kan Bobby belum ngantuk.”elak Bobby.
“Bobby mau ke Kids Fun gak ? Kalo gak usah ya bangun siang juga gak papa tapi kalo mau ke Kids Fun harus pagi-pagi soalnya musim libur begini pasti macet.”
“Iya deh.” Bobby menyuapkan suapan terakhirnya cepat-cepat.
“Bobby udah kelar !” ujar Bobby sambil mengangkat kedua tangannya.
“Aku naik dulu ya Sam.” pamitku pada Sam. Serta merta kutinggalkan makanan di piring yang masih setengah utuh.
“Bobby bisa sendiri kok.” elak nya lagi.
“Kita antar Bobby sama-sama ya.” pinta Sam.
“Ma kasih om.”
Di sepanjang jalan menuju kamar, Bobby tidak pernah melepas gandengan tangan Sam. Dia benar-benar merindukan ayahnya.
Sampai di kamar No. 214.
“Bobby masuk dulu ya om.”
“Iya sayang, selamat tidur dan semoga mimpi indah ya.”
“Ma kasih om.”
Aku mengikuti langkah Bobby memasuki kamar hotel. Tapi tiba-tiba tangan kananku ada yang menarik.
“Sebentar Sis. Apakah boleh kita ngobrol sebentar.”
“Tapi aku harus menemani Bobby tidur.” dan sepertinya Bobby mendengar percakapan ku ini.
“Bobby kan udah gede. Bobby bisa cuci tangan, cuci kaki dan ganti baju sendiri kok.” aku memang mengajari anakku untuk bisa mandiri di usia nya yang masih sangat dini.
“Jangan lupa gosok gigi ya sayang.” ujar Sam.
“So pasti om.” Bobby ngeloyor pergi.
“Jadi, bisa kita bicara sebentar ?” pinta Sam lagi. Aku ragu. Seragu aku menutup pintu kamar hotel.
Sam mengajakku kembali ke taman.
“Maaf Sis, kalo aku harus datang lagi dengan cara begini.” aku hanya bisa menatap sorot matanya yang tajam. Sam benar-benar tidak berubah. Tatapan mata itulah yang sempat meruntuhkan hatiku kala itu. Teduh, aku merasa nyaman sekaligus salah tingkah dengan maksud tatapannya itu.
“Semua email mu selalu aku baca, tapi aku tak sanggup membalasnya. Terutama ketika kamu bilang akan menikah.”
Aku memang mengirim email pada Sam karena siapa tau dia mau datang ke acara pernikahanku dengan Rey.
“Aku salut sama kamu. Ternyata jalan hidup yang kamu pilih tidak lah semudah apa yang aku bayangkan. Kamu besarkan anakmu sendiri. Kamu tegar, Sis.”
“Itu bukan pilihan Aku harus tegar untuk Bobby. Dan kamu sendiri pasti sudah mendapatkan apa yang kamu impikan kan? Tapi dari mana kamu tau kalo aku sekarang sendiri ? ”
“Aku tau semua tentang kamu Sis dan aku tau siapa Bobby sebelum kita dipertemukan lagi.” Sam menghela nafas. Ternyata selama ini Sam tidak pernah jauh dariku, dari kehidupanku. Seperti menyewa detektif swasta, berkas laporan mengalir deras di mejanya setiap hari dan mengupas tuntas kehidupanku seluruhnya.
“Aku bisa dapatkan karier yang tinggi tapi entah kenapa hati ini tetap kosong, seperti tidak ada teman tempat curahan hati.” lanjutnya.
“Apa kabar keluarga mu?” tanyaku. Kesannya sedikit membelokkan arah pembicaraan Sam sebelumnya.
“Baik. Mereka semua baik. Sekarang aku bisa membahagiakan mereka dengan harta.”
“Asal kamu dapatkan itu semua dengan cara halal kenapa kamu harus bersedih ?”
“Aku merindukan seseorang di masa laluku yang entah sekarang bisa aku dapatkan kembali atau tidak.”
“Sekarang jujur sama aku. Kamu kesini karena mengikutiku atau karena kebetulan ?”
“Kok pertanyaan nya gitu sih ?”
“Jadi kamu gak bisa jawab.”
“Kebetulan aku sedang ada janji dengan klien disini.”
“Sampai reservasi kamar segala ?” tadi aku sempat melihat kunci kamarnya tersembul keluar sewaktu ia hendak membayar bill makan malam kami.
“Gak boleh ?”
“Aneh aja.”
“Sis, kok kamu sewot banget sih ? Emangnya cuma aku ya yang kangen ama kamu ?” kami saling bertatapan mata.
“Aku naik dulu. Ngantuk.”
“Sisca !”
“Maaf, Sam aku gak tau harus gimana. Tapi yang pasti aku harus naik sekarang, karena aku sudah ninggalin Bobby sendirian terlalu lama.”
“Aku antar ya?” tawar Sam.
“Gak perlu, aku bisa sendiri.” setengah berlari aku tinggalkan Sam seorang diri.
Ya Tuhan, ada apa dengan ku ini.
Baru empat tahun aku ditinggal pergi suamiku dan sekarang sudah punya perasaan ....... (ah) pada seseorang. Aku melenguh. Aku kalut.
Rey, aku berdosa pada mu. Maafkan jika dada ini sempat bergemuruh untuk orang lain selain kamu.
Apa yang harus aku lakukan ?
Bobby. Anak semata wayangku itu mulai akrab dengannya. Aku tahu persis dia pasti kangen padamu, Rey. Wajah ceria untukmu darinya kembali aku temukan jika ia bercengkerama dengan Sam. Kenapa semuanya begitu sulit untuk aku pahami. Bobby hanyalah seorang anak kecil yang membutuhkan figur seorang ayah.
Pagi ini aku terbangun dari tidur ku dengan kepala sedikit pening. Maklum, sejak sampai di kamar aku tidak bisa langsung tertidur, pikiranku melayang, pada Sam, pada Bobby dan pada kehidupan yang aku jalani.
“Ayo Ibu, nanti kita kesiangan.” Bobby terlalu bersemangat.
Setelah selesai membereskan kamar dan bersiap untuk check out, kami pergi turun untuk sarapan.
Bobby memilih nasi goreng lengkap dengan telur dan udang goreng tepung. Aku tetap setia dengan roti dan kopi, sudah lama kebiasaan sarapan sederhana ini aku jalankan untuk menjaga berat tubuhku agar tidak naik secara drastis. Maklum setelah melahirkan Bobby aku belum sempat untuk memanjakan diri ke gym, hanya menjaga menu makan yang aku bisa lakukan.
Setelah selesai sarapan kami kembali ke kamar untuk mengambil barang-barang dan segera check out.
“Om Sam mana ya, bu?” tanya Bobby pada saat aku hendak menyelesaikan administrasi di receptionist. Aku menggeleng dengan senyum tersembunyi. Aku berharap tidak bertemu dengannya lagi. Tapi ternyata kenyataan tidak sesuai dengan harapanku.
“Eh, selamat pagi Bobby ?” sapa Sam, setelah keluar dari ruang makan yang bersebelahan dengan lobby.
“Pagi, om?” senyum Bobby terkembang.
“Sudah mau berangkat ?”
“Iya dong, om. Biar semua permainan bisa Bobby coba.”
“Asyik ya, coba om bisa kesana juga, pasti rame ya.”
“Kenapa om gak bareng-bareng kita aja, ya kan bu?” Bobby meminta persetujuanku.
“Om sekarang lagi sibuk. Bobby sama ibu aja ya ?” elakku.
“Emang minggu-minggu gini om kerja juga ya?” Sam menggeleng. Aku tidak bisa menyembunyikan wajah cemas ku. Aku cemas jika Sam ikut dan aku tidak bisa enjoy dengan keberadaannya disisi kami.
“Nah kalo gitu om bisa ikutan. Boleh ya bu ?” aku terdiam.
“Terserah deh.” aku mulai mengangkat semua barang keluar.
“Aku bantu ya Sis ?” tawar Sam dengan senyum yang tidak bisa aku artikan.
Sekilas kulihat wajah Bobby terlihat senang sekali. Sam meminta ijinku untuk numpang di mobilku karena dia bilang kalo berangkat ke hotel kemarin dia gak bawa mobil sendiri dan menumpang temannya. Entah bohong entah tidak. Bobby mempersilahkan Sam untuk duduk di kursi kemudi dan aku disampingnya. Tapi aku menolak. Dan akhirnya Bobby mengalah dan mengijinkan aku duduk di belakang setelah aku bersikeras ingin melanjutkan membaca novel yang tidak sempat aku baca kemarin. Perjalanan ini mulai terasa canggung.
Sam bersikeras untuk membayar tiket masuk Kids fun. Tangan Bobby tidak pernah lepas menggandeng erat tangan Sam. Jika dia sadar, sesekali dia menarik juga tanganku. Jadi dia seperti menggadeng kedua tangan orang tuanya. Kuatkanlah hatiku ya Tuhan. Dan kuatkanlah hati anakku, jika semua ini berakhir ijinkanlah ia untuk tetap bisa tersenyum seindah ini.
Semua permainan mereka coba. Sesekali aku ikut dalam permainan itu, tapi tidak jika itu mengharuskan kami duduk bertiga dalam satu baris. Alhasil aku harus mempersiapkan beberapa jurus tipuan untuk Bobby agar ia percaya ibunya tidak bisa ikut serta dalam setiap permainan.
“Ibu ini pipis terus sih.” begitu protesnya. Soalnya aku tidak punya trik lain selain ijin ke toilet atau sedang menerima telepon dari boss.
Sam sebenarnya sudah mencium gelagat anehku sejak awal. Tapi dia baru bisa mengutarakannya pada saat makan siang ini. Bobby meminta ijin untuk melihat-lihat kolam ikan besar yang ada di restoran ini.
“Kenapa sih kamu sis? Dari tadi sikapmu aneh. Untung anak kamu gak protes banyak. Bilang aja kalau aku gak bisa ikut dalam tour kalian ini.”
“Sudah lah Sam. Ini keinginan Bobby, bukan keinginanku.”
“Maaf kalau aku mengganggu liburanmu dengan Bobby. Dia anak yang manis. Mungkin dia gak tega lihat aku seorang diri di hotel. Jadi dia ajak juga aku.”
“Liburan ini untuk Bobby, jadi aku ikhlaskan aja apa yang terjadi hari ini asal itu yang dia mau.”
“Jujur Sis, kamu tidak suka aku ikut ?”
“Kenapa aku harus jawab itu?”
“Karena jika kamu gak ingin aku ada disini aku akan pergi sekarang.”
“Dan buat Bobby sedih?”
Sam diam. Menatap lekat wajahku.
“Aku sudah menata hatiku untuk selalu siap jika tiba-tiba kamu akan pergi. Dan aku juga harus menata hati Bobby supaya ia tidak akan terlalu sedih jika ia tidak bisa bertemu denganmu lagi.” lanjutku.
“Gimana jika aku gak mau pergi ?”
Aku balik menatap matanya. Hangat, dia masih setampan yang dulu. Wajah putih, kokoh, dengan kumis halus yang ia miliki dan dulu sempat menjadi milikku. Aku sadar dari lamunanku dan aku berpaling.
“Kamu harus pergi. Biarkan kami sendiri Sam. Kami memang sedih sejak Rey pergi, tapi kami sudah bisa menata hati kami lagi.”
“Kamu tidak akan beri kesempatan padaku?”
“Aku bukan Sisca yang dulu. Sekarang aku adalah seorang ibu dan seorang janda. Dua hal yang aku sandang ini akan aku nikmati sampai kapanpun.”
“Kamu masih muda Sis. Kamu berhak bertemu dengan seseorang dan menjalani masa depan dengannya. Tidak seorang diri seperti ini.”
“Sudahlah Sam, jangan bertingkah seperti orang tuaku. Kalau kamu datang dalam kehidupan kami hanya untuk itu kamu buang-buang waktu. Aku bukan wanita lemah dan aku tidak malu untuk selalu membawa statusku ini selama aku mampu.”
“Aku tidak bermaksud untuk mengecilkan arti janda. Tapi untuk Bobby, diusianya sekarang ini dia butuh figur seorang ayah.”
“Kamu tau apa? Kamu belum pernah merasakan menikah dan punya anak kan? Posisikanlah dirimu seperti aku Sam. Hidup cuma sekali, menikah juga sekali, mencintai dan dicintai oleh orang yang tepat hanya sekali.”
“Jadi itu pendapatmu?”
Aku menganggukkan kepala berulang-ulang.
“Kamu tidak akan ijinkan aku bertemu dengan Bobby lagi?”
“Menikahlah dan kau akan punya anak semanis Bobby nanti yang bisa kamu sayangi lebih dari cukup. Janganlah kamu buang-buang waktu dengan kami.”
“Aku sedih Sis. Kamu tega sekali mengatakan itu padaku.” Sam yang tegar terlihat rapuh seketika dihadapanku.
Aku hanya ingin kamu tahu Sam, bahwa kamu berhak mendapat lebih dari sekedar janda beranak satu yang ada dihadapanmu ini.
“Terima kasih atas semua kebahagiaan ini. Aku pergi.” kuraih tangan Sam.
“Jangan sekarang. Aku mohon disisa hari ini tetaplah menjadi om Sam yang ceria untuk Bobby. Aku mohon Sam.” tangan Sam mengambil tanganku yang masih mencengkeram erat tangannya.
“Baiklah jika itu mau kamu. Dan juga demi Bobby.”
“Terima kasih.”
“Ibu, ikannya gede-gede lho. Om, ikan apa sih yang punya belalai panjang. Kayak gajah tapi belalainya dua ?”
“Itu lele sayang.” Sam memangku Bobby.
“Gimana kalau kita lanjutkan mainnya.” tawarku.
“Mau....mau....mau.....yuk.” lagi-lagi Bobby menggandengan tangan kami berdua. Kami saling berpandangan dan saling senyum. Kali ini senyum ikhlas yang aku berikan untuknya.
Mobil meluncur di perumahan Puri Asri. Malam telah larut. Bobby juga telah tertidur di jok belakang. Setelah sampai, Sam membopong Bobby yang tertidur menuju kamarnya dan aku mengeluarkan semua barang-barangku dari dalam mobil. Kuintip kamar Bobby yang sedikit terbuka. Kulihat Sam mengecup lembut kening Bobby.
“Pakailah mobilku untuk pulang, Sam, biar besok sopirku yang akan ambil.” tawarku, mengingat sudah terlalu malam sekarang.
“Tidak perlu, aku sudah panggil taksi kok. Makasih ya.” dia memperlihatkan HP nya. Jadi dia tadi memesan taksi via HP nya.
“Aku tunggu taksi diluar ya?” aku mempersilahkannya dan mengikutinya dari belakang. Tidak lama kemudian taksi itu datang.
“Sekali lagi maaf Sis jika aku ganggu liburan kamu.” pamit Sam.
“Tidak apa-apa. Kamu sudah buat Bobby bahagia hari ini. Makasih ya.” aku tersipu.
“Aku bangga padamu Sis. OK aku balik dulu.”
“Ati-ati ya.” kuberikan senyum tulusku pada Sam.
Taksi meluncur kencang menembus malam.
Sisca tidak angkuh. Dia hanya ingin memperlihatkan kekuatannya sebagai seorang single parents bagi Bobby dihadapanku. Itu hal yang wajar. Dia seorang ibu yang sempurna di mataku.
Sejak aku bertemu dengannya lagi dan mengetahui kehidupannya saat ini, janda dan beranak satu, aku merasa sangat ingin bisa masuk dalam kehidupannya. Tapi aku tahu itu tidak lah sama dengan keadaan kami beberapa tahun yang lalu. Tapi setelah melihat Bobby, naluriku untuk melindunginya muncul seketika tanpa harus melihat dia bukanlah darah dagingku. Aku tulus. Tapi Sisca berkehendak lain. Dia wanita yang berprinsip sama seperti yang dulu, hanya saja sekarang dia betul-betul punya pemikiran yang dewasa, pemikiran seorang Ibu.
Sisca yang manja, manis, pemalu kini telah menjadi seorang ibu yang kuat. Aku terharu melihat perjuangannya. Andai dia menerimaku, aku akan amat sangat mencintainya dan Bobby.
Sekarang aku harus tetap berjalan. Sisca memang menolakku tapi aku tidak akan menyerah. Akan kuperlihatkan padanya bahwa aku tulus ingin melindunginya. Jika ia tidak suka dengan cara frontal maka aku akan melindunginya dari jarak jauh. Sejauh yang tidak bisa ia lihat dan ia rasa. Aku mencintaimu Sis. Sampai kapanpun aku akan tetap mencintaimu. Dengan segala predikat yang melekat padamu, kamu tetaplah Sisca yang dulu pernah mengisi relung hatiku.
Taksi membawaku kembali ke apartemen. Di kamar yang dingin dan sepi aku sendiri. Aku tertidur dengan Sisca dan Bobby dalam mimpiku.
Kuusap lembut kening Bobby. Kusibakkan poni keritingnya yang menutupi dahi. Malam ini dia pasti akan tidur nyenyak karena kecapaian setelah bermain seharian penuh. Tawa riangnya masih terngiang jelas di telingaku. Dia bahagia hari ini. Walaupun harus dengan orang lain di sisinya tadi, tapi semoga itu tidak akan menjadi masalah nantinya. Bobby harus tahu bahwa om Sam nya itu hanya lah teman lama Ibunya yang saat itu bisa menemaninya bermain. Hanya saat itu. Kami sudah biasa sendiri dan akan selalu begitu. Aku mencintai Rey. Aku tertidur di kamar Bobby.
“Tapi Sisca, mama dan papa pengen lihat kamu bahagia.” ujar mama.
“Siapa bilang Sisca gak bahagia, hah ?”
“Jangan egois gitu nak ?” papa nyambung.
Mama dan papa sama aja, gak pernah puas liat kebahagiaan anaknya. Mungkin bagi mereka ukuran kebahagiaan adalah dengan keutuhan rumah tangga bukan dengan ketersediaannya kebutuhan hidup secara baik. Aku bisa menghidupi Bobby hingga saat ini dia umur 5 tahun dan sebentar lagi dia akan masuk TK. Seharusnya mama dan papa melihat dari posisiku. Syukur aku tidak pernah merasa kekurangan untuk masalah finansial. Tapi kenapa mama dan papa selalu mengeluh. Apa salahku ? Aku menangis.
“Sayang, jangan nangis lagi ya.” Suara itu. Aku dongakkan kepalaku. Rey. Wajah yang aku rindukan selama ini. Serta merta aku memeluknya.
“Rey, jangan tinggalin aku. Aku mohon Rey. Jangan biarin aku sendiri.” Aku menangis di pelukan Rey. Dada yang bidang ini selalu menjadi tempat curahan hatiku di kala sedih.
“Sisca yang aku kenal adalah Sisca yang kuat dan bisa memecahkan segala macam masalah.”
“Tapi kali ini beda Rey. Mama dan papa maksain sesuatu yang gak pengen dan gak bisa aku lakukan.” Rey mengangkat lembut wajahku.
“Sayang, tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya.”
“Tapi kamu lihat kan Rey, sekarang Bobby udah gede bahkan udah mau sekolah, semua itu karena siapa coba. Ya karena perjuanganku. Aku masih mampu kok. Aku masih punya tenaga.”
“Tapi cobalah kamu lihat dari posisi Bobby. Dia butuh penggantiku Sis.”
“Kenapa harus begitu. Tidakkah dia cukup punya Ibu saja ?”
“Jangan egois sayang. Bobby sedang dalam masa pertumbuhan. Sangatlah baik jika orangtua nya utuh.”
“Kalau gitu kamu jangan tinggalin kami lagi.”
“Tidak bisa begitu. Tuhan sudah memintaku untuk pulang, jadi kamu yang harus bisa memberikan apa yang Bobby minta, sayang. Tanyakanlah padanya suatu saat dan usahakan agar ia jujur. Aku yakin sekali kalau Bobby tidak pernah kekurangan sesuatu apapun karena kamu dengan baik bisa memenuhi segala kebutuhannya tapi siapa tahu ada sesuatu dari dia yang belum bisa dia sampaikan karena tidak ingin melihat Ibunya sedih ? Pikirkanlah Sis, pikirkanlah.” aku bergeming.
“Aku akan selalu dalam hatimu. Panggilah aku jika kamu ingin berkeluh kesah padaku. Kamu tidak sendiri sayang.” tangan Rey perlahan-lahan melepas genggamannya.
“Kamu mau kemana Rey ?” Rey hanya tersenyum.
“Rey jangan pergi. Tolonglah Rey, jangan tinggalin aku lagi. Rey....”
Aku terbangun dari mimpiku dengan peluh di dahi. Bobby masih tidur dengan pulas di sampingku. Janji ya Rey, kamu akan datang lagi jika aku membutuhkanmu. Batinku.
______________________________________________________________________
It’s too close
Hari ini aku janji mengajak Bobby jalan-jalan dan berenang di Bandungan. Saking senangnya dia tidak bisa tidur semalaman dan alhasil akupun tidak bisa istirahat dengan nyenyak. Aku memang jarang ajak Bobby berlibur. Sekalinya berlibur dia di ajak eyang kakung dan eyang putrinya ke kebun binatang tanpa aku. Rasa bersalah selalu menyelimutiku di akhir minggu. Saking hafalnya Bobby hanya berujar,
“Pasti Ibu mau pamit lagi kan gak bisa ajak Bobby jalan-jalan. Gak papa kok bu, Bobby akan jadi anak yang baik selama Ibu kerja.” aku hanya bisa tersenyum jika ia melontarkan kalimat itu dari bibir mungilnya.
Tapi hari ini aku akan menuruti segala keinginannya. Berenang di Bandungan, makan siang di Jimbaran, dan meninap di hotel. Ya hotel. Aku berencana menginap di hotel semalam supaya besok tidak perlu terlalu pagi jika ingin pergi ke Yogya.
Setelah seharian lelah bermain, malam ini Bobby minta ditemani jalan-jalan saja di sekitar pool hotel tempat kami menginap untuk melihat bintang dan bulan.
“Ayah baru apa ya bu?” pertanyaan itu mengagetkanku. Kembali aku harus kuasai diri dan menata kalimat yang terbaik. Walaupun sudah cukup lama Rey meninggalkan kami tapi suasana canggung masih menyelimutiku dikala salah satu dari kami mulai membahasnya kembali.
“Yang pasti ayah lagi bahagia di atas sana dan melihat kita yang juga lagi bahagia disini.”
“Halo ayah, Bobby disini. Ayah sudah makan belum ? Bobby sama Ibu nginep di hotel lho, makanannya uenak banget, kamarnya adem, tapi rasanya sepi karena gak ada ayah disini.”
“Sayang, ibu kan sudah pernah bilang, ayah memang tidak akan menemani kita tapi ayah akan selalu ada di hati Bobby.”
“Bobby tau bu, cuma rasanya gak lengkap kalo gak ada ayah disini.”
Aku tau itu nak, batinku. Kami melanjutkan berjalan dibawah naungan taburan bintang dan sinar hangat bulan.
“Hallo Bobby.” suara itu ? Tiba-tiba sosok itu muncul lagi.
“Eh, om Sam.”
“Hallo Sisca.” aku membalasnya dengan anggukan. Aku merasa aneh dengan keberadaan Sam disini. Tapi aku juga berusaha untuk tenang dan berfikir positif. Siapa tau memang semua ini hanya kebetulan saja.
“Hei, anak pintar. Menginap disini juga ?” Sam berjongkok di hadapan Bobby.
“Iya om. Kata Ibu biar besok gak kejauhan kalo mau ke Kids Fun.”
“Wah asyik dong ke Kids Fun.”
“Iya dong. Apalagi seharian tadi Bobby juga pergi ke.....................” Bobby berceloteh riang. Sam menggandeng tangannya mendekati kursi taman. Kudengar Bobby masih juga bercerita. Bobby duduk bersebelahan dengan Sam, sedang aku memilih kursi yang agak jauh. Terkadang aku sadar kalau Sam mencoba mencuri pandang ke aku.
“Tunggu, kok om sam juga sudah kenal sama ibu ?” tanya Bobby polos.
“Om teman kerja ibu kamu.”
“Oooooo......” Bobby menganggukkan kepala beberapa kali.
“Bobby sudah makan ?” tanya Sam dan Bobby hanya bisa menggeleng sambil menunggu reaksi ku.
“Tadi kan Bobby bilang belum laper.” kataku. Jengah dengan tatapan memelas Bobby.
“Iya sih, tapi sekarang udah, bu.”
“Gimana kalo kita makan bareng, Sis ? Bobby mau ?” Setelah menatapku, Sam beralih menatap pada Bobby dan Bobby kembali hanya bisa mengangguk dengan senyum terkembang.
Sam memesankan meja di pinggir kolam renang untuk kami. Makanan yang disajikan cukup beragam. Selera makanku yang semula amat sangat bergejolak kembali redup karena ada Sam yang menemani kami disini. Alhasil hanya jus mangga dan bakmie goreng yang aku pesan. Dalam hening makan malam ini kembali aku teringat pada Rey. Ekspresi yang Bobby curahkan untuk Sam sama dengan pada saat ia bersama Rey. Ceria, hangat, pokoknya ramai sekali. Mungkin anakku itu benar-benar kangen pada ayahnya.
“Tumben Ibu makannya sedikit ? Biasanya lebih banyak dari Bobby.” celetuk Bobby.
“O ya.” Sam pura-pura tercengang. Senyum menghias wajahnya.
“Kamu ini. Dihabiskan dulu makannya habis itu buruan ke atas dan tidur. Sudah malam. Besok pagi biar bisa bangun pagi.”
“Ya ibu, kan Bobby belum ngantuk.”elak Bobby.
“Bobby mau ke Kids Fun gak ? Kalo gak usah ya bangun siang juga gak papa tapi kalo mau ke Kids Fun harus pagi-pagi soalnya musim libur begini pasti macet.”
“Iya deh.” Bobby menyuapkan suapan terakhirnya cepat-cepat.
“Bobby udah kelar !” ujar Bobby sambil mengangkat kedua tangannya.
“Aku naik dulu ya Sam.” pamitku pada Sam. Serta merta kutinggalkan makanan di piring yang masih setengah utuh.
“Bobby bisa sendiri kok.” elak nya lagi.
“Kita antar Bobby sama-sama ya.” pinta Sam.
“Ma kasih om.”
Di sepanjang jalan menuju kamar, Bobby tidak pernah melepas gandengan tangan Sam. Dia benar-benar merindukan ayahnya.
Sampai di kamar No. 214.
“Bobby masuk dulu ya om.”
“Iya sayang, selamat tidur dan semoga mimpi indah ya.”
“Ma kasih om.”
Aku mengikuti langkah Bobby memasuki kamar hotel. Tapi tiba-tiba tangan kananku ada yang menarik.
“Sebentar Sis. Apakah boleh kita ngobrol sebentar.”
“Tapi aku harus menemani Bobby tidur.” dan sepertinya Bobby mendengar percakapan ku ini.
“Bobby kan udah gede. Bobby bisa cuci tangan, cuci kaki dan ganti baju sendiri kok.” aku memang mengajari anakku untuk bisa mandiri di usia nya yang masih sangat dini.
“Jangan lupa gosok gigi ya sayang.” ujar Sam.
“So pasti om.” Bobby ngeloyor pergi.
“Jadi, bisa kita bicara sebentar ?” pinta Sam lagi. Aku ragu. Seragu aku menutup pintu kamar hotel.
Sam mengajakku kembali ke taman.
“Maaf Sis, kalo aku harus datang lagi dengan cara begini.” aku hanya bisa menatap sorot matanya yang tajam. Sam benar-benar tidak berubah. Tatapan mata itulah yang sempat meruntuhkan hatiku kala itu. Teduh, aku merasa nyaman sekaligus salah tingkah dengan maksud tatapannya itu.
“Semua email mu selalu aku baca, tapi aku tak sanggup membalasnya. Terutama ketika kamu bilang akan menikah.”
Aku memang mengirim email pada Sam karena siapa tau dia mau datang ke acara pernikahanku dengan Rey.
“Aku salut sama kamu. Ternyata jalan hidup yang kamu pilih tidak lah semudah apa yang aku bayangkan. Kamu besarkan anakmu sendiri. Kamu tegar, Sis.”
“Itu bukan pilihan Aku harus tegar untuk Bobby. Dan kamu sendiri pasti sudah mendapatkan apa yang kamu impikan kan? Tapi dari mana kamu tau kalo aku sekarang sendiri ? ”
“Aku tau semua tentang kamu Sis dan aku tau siapa Bobby sebelum kita dipertemukan lagi.” Sam menghela nafas. Ternyata selama ini Sam tidak pernah jauh dariku, dari kehidupanku. Seperti menyewa detektif swasta, berkas laporan mengalir deras di mejanya setiap hari dan mengupas tuntas kehidupanku seluruhnya.
“Aku bisa dapatkan karier yang tinggi tapi entah kenapa hati ini tetap kosong, seperti tidak ada teman tempat curahan hati.” lanjutnya.
“Apa kabar keluarga mu?” tanyaku. Kesannya sedikit membelokkan arah pembicaraan Sam sebelumnya.
“Baik. Mereka semua baik. Sekarang aku bisa membahagiakan mereka dengan harta.”
“Asal kamu dapatkan itu semua dengan cara halal kenapa kamu harus bersedih ?”
“Aku merindukan seseorang di masa laluku yang entah sekarang bisa aku dapatkan kembali atau tidak.”
“Sekarang jujur sama aku. Kamu kesini karena mengikutiku atau karena kebetulan ?”
“Kok pertanyaan nya gitu sih ?”
“Jadi kamu gak bisa jawab.”
“Kebetulan aku sedang ada janji dengan klien disini.”
“Sampai reservasi kamar segala ?” tadi aku sempat melihat kunci kamarnya tersembul keluar sewaktu ia hendak membayar bill makan malam kami.
“Gak boleh ?”
“Aneh aja.”
“Sis, kok kamu sewot banget sih ? Emangnya cuma aku ya yang kangen ama kamu ?” kami saling bertatapan mata.
“Aku naik dulu. Ngantuk.”
“Sisca !”
“Maaf, Sam aku gak tau harus gimana. Tapi yang pasti aku harus naik sekarang, karena aku sudah ninggalin Bobby sendirian terlalu lama.”
“Aku antar ya?” tawar Sam.
“Gak perlu, aku bisa sendiri.” setengah berlari aku tinggalkan Sam seorang diri.
Ya Tuhan, ada apa dengan ku ini.
Baru empat tahun aku ditinggal pergi suamiku dan sekarang sudah punya perasaan ....... (ah) pada seseorang. Aku melenguh. Aku kalut.
Rey, aku berdosa pada mu. Maafkan jika dada ini sempat bergemuruh untuk orang lain selain kamu.
Apa yang harus aku lakukan ?
Bobby. Anak semata wayangku itu mulai akrab dengannya. Aku tahu persis dia pasti kangen padamu, Rey. Wajah ceria untukmu darinya kembali aku temukan jika ia bercengkerama dengan Sam. Kenapa semuanya begitu sulit untuk aku pahami. Bobby hanyalah seorang anak kecil yang membutuhkan figur seorang ayah.
Pagi ini aku terbangun dari tidur ku dengan kepala sedikit pening. Maklum, sejak sampai di kamar aku tidak bisa langsung tertidur, pikiranku melayang, pada Sam, pada Bobby dan pada kehidupan yang aku jalani.
“Ayo Ibu, nanti kita kesiangan.” Bobby terlalu bersemangat.
Setelah selesai membereskan kamar dan bersiap untuk check out, kami pergi turun untuk sarapan.
Bobby memilih nasi goreng lengkap dengan telur dan udang goreng tepung. Aku tetap setia dengan roti dan kopi, sudah lama kebiasaan sarapan sederhana ini aku jalankan untuk menjaga berat tubuhku agar tidak naik secara drastis. Maklum setelah melahirkan Bobby aku belum sempat untuk memanjakan diri ke gym, hanya menjaga menu makan yang aku bisa lakukan.
Setelah selesai sarapan kami kembali ke kamar untuk mengambil barang-barang dan segera check out.
“Om Sam mana ya, bu?” tanya Bobby pada saat aku hendak menyelesaikan administrasi di receptionist. Aku menggeleng dengan senyum tersembunyi. Aku berharap tidak bertemu dengannya lagi. Tapi ternyata kenyataan tidak sesuai dengan harapanku.
“Eh, selamat pagi Bobby ?” sapa Sam, setelah keluar dari ruang makan yang bersebelahan dengan lobby.
“Pagi, om?” senyum Bobby terkembang.
“Sudah mau berangkat ?”
“Iya dong, om. Biar semua permainan bisa Bobby coba.”
“Asyik ya, coba om bisa kesana juga, pasti rame ya.”
“Kenapa om gak bareng-bareng kita aja, ya kan bu?” Bobby meminta persetujuanku.
“Om sekarang lagi sibuk. Bobby sama ibu aja ya ?” elakku.
“Emang minggu-minggu gini om kerja juga ya?” Sam menggeleng. Aku tidak bisa menyembunyikan wajah cemas ku. Aku cemas jika Sam ikut dan aku tidak bisa enjoy dengan keberadaannya disisi kami.
“Nah kalo gitu om bisa ikutan. Boleh ya bu ?” aku terdiam.
“Terserah deh.” aku mulai mengangkat semua barang keluar.
“Aku bantu ya Sis ?” tawar Sam dengan senyum yang tidak bisa aku artikan.
Sekilas kulihat wajah Bobby terlihat senang sekali. Sam meminta ijinku untuk numpang di mobilku karena dia bilang kalo berangkat ke hotel kemarin dia gak bawa mobil sendiri dan menumpang temannya. Entah bohong entah tidak. Bobby mempersilahkan Sam untuk duduk di kursi kemudi dan aku disampingnya. Tapi aku menolak. Dan akhirnya Bobby mengalah dan mengijinkan aku duduk di belakang setelah aku bersikeras ingin melanjutkan membaca novel yang tidak sempat aku baca kemarin. Perjalanan ini mulai terasa canggung.
Sam bersikeras untuk membayar tiket masuk Kids fun. Tangan Bobby tidak pernah lepas menggandeng erat tangan Sam. Jika dia sadar, sesekali dia menarik juga tanganku. Jadi dia seperti menggadeng kedua tangan orang tuanya. Kuatkanlah hatiku ya Tuhan. Dan kuatkanlah hati anakku, jika semua ini berakhir ijinkanlah ia untuk tetap bisa tersenyum seindah ini.
Semua permainan mereka coba. Sesekali aku ikut dalam permainan itu, tapi tidak jika itu mengharuskan kami duduk bertiga dalam satu baris. Alhasil aku harus mempersiapkan beberapa jurus tipuan untuk Bobby agar ia percaya ibunya tidak bisa ikut serta dalam setiap permainan.
“Ibu ini pipis terus sih.” begitu protesnya. Soalnya aku tidak punya trik lain selain ijin ke toilet atau sedang menerima telepon dari boss.
Sam sebenarnya sudah mencium gelagat anehku sejak awal. Tapi dia baru bisa mengutarakannya pada saat makan siang ini. Bobby meminta ijin untuk melihat-lihat kolam ikan besar yang ada di restoran ini.
“Kenapa sih kamu sis? Dari tadi sikapmu aneh. Untung anak kamu gak protes banyak. Bilang aja kalau aku gak bisa ikut dalam tour kalian ini.”
“Sudah lah Sam. Ini keinginan Bobby, bukan keinginanku.”
“Maaf kalau aku mengganggu liburanmu dengan Bobby. Dia anak yang manis. Mungkin dia gak tega lihat aku seorang diri di hotel. Jadi dia ajak juga aku.”
“Liburan ini untuk Bobby, jadi aku ikhlaskan aja apa yang terjadi hari ini asal itu yang dia mau.”
“Jujur Sis, kamu tidak suka aku ikut ?”
“Kenapa aku harus jawab itu?”
“Karena jika kamu gak ingin aku ada disini aku akan pergi sekarang.”
“Dan buat Bobby sedih?”
Sam diam. Menatap lekat wajahku.
“Aku sudah menata hatiku untuk selalu siap jika tiba-tiba kamu akan pergi. Dan aku juga harus menata hati Bobby supaya ia tidak akan terlalu sedih jika ia tidak bisa bertemu denganmu lagi.” lanjutku.
“Gimana jika aku gak mau pergi ?”
Aku balik menatap matanya. Hangat, dia masih setampan yang dulu. Wajah putih, kokoh, dengan kumis halus yang ia miliki dan dulu sempat menjadi milikku. Aku sadar dari lamunanku dan aku berpaling.
“Kamu harus pergi. Biarkan kami sendiri Sam. Kami memang sedih sejak Rey pergi, tapi kami sudah bisa menata hati kami lagi.”
“Kamu tidak akan beri kesempatan padaku?”
“Aku bukan Sisca yang dulu. Sekarang aku adalah seorang ibu dan seorang janda. Dua hal yang aku sandang ini akan aku nikmati sampai kapanpun.”
“Kamu masih muda Sis. Kamu berhak bertemu dengan seseorang dan menjalani masa depan dengannya. Tidak seorang diri seperti ini.”
“Sudahlah Sam, jangan bertingkah seperti orang tuaku. Kalau kamu datang dalam kehidupan kami hanya untuk itu kamu buang-buang waktu. Aku bukan wanita lemah dan aku tidak malu untuk selalu membawa statusku ini selama aku mampu.”
“Aku tidak bermaksud untuk mengecilkan arti janda. Tapi untuk Bobby, diusianya sekarang ini dia butuh figur seorang ayah.”
“Kamu tau apa? Kamu belum pernah merasakan menikah dan punya anak kan? Posisikanlah dirimu seperti aku Sam. Hidup cuma sekali, menikah juga sekali, mencintai dan dicintai oleh orang yang tepat hanya sekali.”
“Jadi itu pendapatmu?”
Aku menganggukkan kepala berulang-ulang.
“Kamu tidak akan ijinkan aku bertemu dengan Bobby lagi?”
“Menikahlah dan kau akan punya anak semanis Bobby nanti yang bisa kamu sayangi lebih dari cukup. Janganlah kamu buang-buang waktu dengan kami.”
“Aku sedih Sis. Kamu tega sekali mengatakan itu padaku.” Sam yang tegar terlihat rapuh seketika dihadapanku.
Aku hanya ingin kamu tahu Sam, bahwa kamu berhak mendapat lebih dari sekedar janda beranak satu yang ada dihadapanmu ini.
“Terima kasih atas semua kebahagiaan ini. Aku pergi.” kuraih tangan Sam.
“Jangan sekarang. Aku mohon disisa hari ini tetaplah menjadi om Sam yang ceria untuk Bobby. Aku mohon Sam.” tangan Sam mengambil tanganku yang masih mencengkeram erat tangannya.
“Baiklah jika itu mau kamu. Dan juga demi Bobby.”
“Terima kasih.”
“Ibu, ikannya gede-gede lho. Om, ikan apa sih yang punya belalai panjang. Kayak gajah tapi belalainya dua ?”
“Itu lele sayang.” Sam memangku Bobby.
“Gimana kalau kita lanjutkan mainnya.” tawarku.
“Mau....mau....mau.....yuk.” lagi-lagi Bobby menggandengan tangan kami berdua. Kami saling berpandangan dan saling senyum. Kali ini senyum ikhlas yang aku berikan untuknya.
Mobil meluncur di perumahan Puri Asri. Malam telah larut. Bobby juga telah tertidur di jok belakang. Setelah sampai, Sam membopong Bobby yang tertidur menuju kamarnya dan aku mengeluarkan semua barang-barangku dari dalam mobil. Kuintip kamar Bobby yang sedikit terbuka. Kulihat Sam mengecup lembut kening Bobby.
“Pakailah mobilku untuk pulang, Sam, biar besok sopirku yang akan ambil.” tawarku, mengingat sudah terlalu malam sekarang.
“Tidak perlu, aku sudah panggil taksi kok. Makasih ya.” dia memperlihatkan HP nya. Jadi dia tadi memesan taksi via HP nya.
“Aku tunggu taksi diluar ya?” aku mempersilahkannya dan mengikutinya dari belakang. Tidak lama kemudian taksi itu datang.
“Sekali lagi maaf Sis jika aku ganggu liburan kamu.” pamit Sam.
“Tidak apa-apa. Kamu sudah buat Bobby bahagia hari ini. Makasih ya.” aku tersipu.
“Aku bangga padamu Sis. OK aku balik dulu.”
“Ati-ati ya.” kuberikan senyum tulusku pada Sam.
Taksi meluncur kencang menembus malam.
Sisca tidak angkuh. Dia hanya ingin memperlihatkan kekuatannya sebagai seorang single parents bagi Bobby dihadapanku. Itu hal yang wajar. Dia seorang ibu yang sempurna di mataku.
Sejak aku bertemu dengannya lagi dan mengetahui kehidupannya saat ini, janda dan beranak satu, aku merasa sangat ingin bisa masuk dalam kehidupannya. Tapi aku tahu itu tidak lah sama dengan keadaan kami beberapa tahun yang lalu. Tapi setelah melihat Bobby, naluriku untuk melindunginya muncul seketika tanpa harus melihat dia bukanlah darah dagingku. Aku tulus. Tapi Sisca berkehendak lain. Dia wanita yang berprinsip sama seperti yang dulu, hanya saja sekarang dia betul-betul punya pemikiran yang dewasa, pemikiran seorang Ibu.
Sisca yang manja, manis, pemalu kini telah menjadi seorang ibu yang kuat. Aku terharu melihat perjuangannya. Andai dia menerimaku, aku akan amat sangat mencintainya dan Bobby.
Sekarang aku harus tetap berjalan. Sisca memang menolakku tapi aku tidak akan menyerah. Akan kuperlihatkan padanya bahwa aku tulus ingin melindunginya. Jika ia tidak suka dengan cara frontal maka aku akan melindunginya dari jarak jauh. Sejauh yang tidak bisa ia lihat dan ia rasa. Aku mencintaimu Sis. Sampai kapanpun aku akan tetap mencintaimu. Dengan segala predikat yang melekat padamu, kamu tetaplah Sisca yang dulu pernah mengisi relung hatiku.
Taksi membawaku kembali ke apartemen. Di kamar yang dingin dan sepi aku sendiri. Aku tertidur dengan Sisca dan Bobby dalam mimpiku.
Kuusap lembut kening Bobby. Kusibakkan poni keritingnya yang menutupi dahi. Malam ini dia pasti akan tidur nyenyak karena kecapaian setelah bermain seharian penuh. Tawa riangnya masih terngiang jelas di telingaku. Dia bahagia hari ini. Walaupun harus dengan orang lain di sisinya tadi, tapi semoga itu tidak akan menjadi masalah nantinya. Bobby harus tahu bahwa om Sam nya itu hanya lah teman lama Ibunya yang saat itu bisa menemaninya bermain. Hanya saat itu. Kami sudah biasa sendiri dan akan selalu begitu. Aku mencintai Rey. Aku tertidur di kamar Bobby.
“Tapi Sisca, mama dan papa pengen lihat kamu bahagia.” ujar mama.
“Siapa bilang Sisca gak bahagia, hah ?”
“Jangan egois gitu nak ?” papa nyambung.
Mama dan papa sama aja, gak pernah puas liat kebahagiaan anaknya. Mungkin bagi mereka ukuran kebahagiaan adalah dengan keutuhan rumah tangga bukan dengan ketersediaannya kebutuhan hidup secara baik. Aku bisa menghidupi Bobby hingga saat ini dia umur 5 tahun dan sebentar lagi dia akan masuk TK. Seharusnya mama dan papa melihat dari posisiku. Syukur aku tidak pernah merasa kekurangan untuk masalah finansial. Tapi kenapa mama dan papa selalu mengeluh. Apa salahku ? Aku menangis.
“Sayang, jangan nangis lagi ya.” Suara itu. Aku dongakkan kepalaku. Rey. Wajah yang aku rindukan selama ini. Serta merta aku memeluknya.
“Rey, jangan tinggalin aku. Aku mohon Rey. Jangan biarin aku sendiri.” Aku menangis di pelukan Rey. Dada yang bidang ini selalu menjadi tempat curahan hatiku di kala sedih.
“Sisca yang aku kenal adalah Sisca yang kuat dan bisa memecahkan segala macam masalah.”
“Tapi kali ini beda Rey. Mama dan papa maksain sesuatu yang gak pengen dan gak bisa aku lakukan.” Rey mengangkat lembut wajahku.
“Sayang, tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya.”
“Tapi kamu lihat kan Rey, sekarang Bobby udah gede bahkan udah mau sekolah, semua itu karena siapa coba. Ya karena perjuanganku. Aku masih mampu kok. Aku masih punya tenaga.”
“Tapi cobalah kamu lihat dari posisi Bobby. Dia butuh penggantiku Sis.”
“Kenapa harus begitu. Tidakkah dia cukup punya Ibu saja ?”
“Jangan egois sayang. Bobby sedang dalam masa pertumbuhan. Sangatlah baik jika orangtua nya utuh.”
“Kalau gitu kamu jangan tinggalin kami lagi.”
“Tidak bisa begitu. Tuhan sudah memintaku untuk pulang, jadi kamu yang harus bisa memberikan apa yang Bobby minta, sayang. Tanyakanlah padanya suatu saat dan usahakan agar ia jujur. Aku yakin sekali kalau Bobby tidak pernah kekurangan sesuatu apapun karena kamu dengan baik bisa memenuhi segala kebutuhannya tapi siapa tahu ada sesuatu dari dia yang belum bisa dia sampaikan karena tidak ingin melihat Ibunya sedih ? Pikirkanlah Sis, pikirkanlah.” aku bergeming.
“Aku akan selalu dalam hatimu. Panggilah aku jika kamu ingin berkeluh kesah padaku. Kamu tidak sendiri sayang.” tangan Rey perlahan-lahan melepas genggamannya.
“Kamu mau kemana Rey ?” Rey hanya tersenyum.
“Rey jangan pergi. Tolonglah Rey, jangan tinggalin aku lagi. Rey....”
Aku terbangun dari mimpiku dengan peluh di dahi. Bobby masih tidur dengan pulas di sampingku. Janji ya Rey, kamu akan datang lagi jika aku membutuhkanmu. Batinku.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda