Selamanya Cinta Part 5
finally……ku terima cintanya !!
Hari ini ada arisan keluarga di rumah tante Felice. Tante Felice itu adik sepupu mama. Berhubung papa tidak bisa antar mama jadi aku yang kena gak enaknya.
“Papa kemana sih ma ?” tanyaku.
“Teman papa yang dari Inggris datang kesini dan ajak papa main golf di candi.”
“Trus kenapa mama gak minta Felo aja yang antar. Kan sama ceweknya.”
“Udah jangan protes terus, kayak nenek-nenek aja. Ntar juga kamu tau kok kenapa mama ajak kamu kesana.” hawanya udah gak enak nih.
Sampai di rumah tante Felice. Sudah rame orang rupanya. Aku bersikeras untuk menunggu mama di mobil saja tapi mama ngotot minta aku ikut turun.
“Nah ini dia jagoan tante.” seru tante Felice sesampainya kami di teras rumahnya.
“Siang tante.” sapa ku.
Tante Felice masih saja terlihat muda, walaupun umur sebenarnya nya tidak jauh dari umur mama. Mungkin karena dia tidak perlu merasa repot mengurusi anak-anak di rumahnya. Tapi tante Felice dan om Steve, suaminya, terlihat mesra-mesra saja dengan keadaannya itu. Katanya malah seperti pacaran terus. Bahagia terus.
“Kamu tambah ganteng aja ya. Halo mbak Edis.” Pandangannya beralih sejurus pada mama.
“Halo sayang.” sapa mama sembari mencium kedua pipi tante Felice.
“Udah rame ya.” lanjut mama.
“Iya mbak, semuanya dah pada ngumpul tinggal nunggu mbak aja.”
“Aduh kalo gitu maap deh, soalnya Sam nih mandinya luama banget. Pake parfumenya aja dobel-dobel.” tante Felice meringis ke arahku.
Arisan dimulai. Ternyata tidak sekaku yang aku kira. Buktinya banyak tante-budhe-encing-enyak yang masih sibuk ngerumpi dan makan sedangkan arisan udah mau digelar. Mama meminta ku untuk menyicipi makanan yang ada sambil menunggunya. Katanya sih cuma sebentar. Kalo udah dikocok dan menemukan siapa yang beruntung hari itu ya udah kelar acaranya. Yang lama emang acara ngrumpi di ‘mall’ nya.
Aku mencoba santai disini. Kucicipi hampir semua menu yang tersedia. Maklum tadi mama membangunkan ku udah agak siang jadi aku belum sempat sarapan. Ternyata di ujung sana ada sepasang mata yang sedang mengawasiku. Seorang gadis berambut panjang sebahu terlihat senyum-senyum sendiri memandangku. Aku mulai risih. Akhirnya kuhentikan wisata kulinerku di meja es dan puding. Dia mendekat.
“Ini enak juga lho.” ujar si cewek itu. Setelah agak dekat ternyata dia manis juga tapi pakaian yang ia kenakan terlalu seksi sampai-sampai belahan dadanya tampak jelas. Seharusnya aku akan senang dengan pemandangan seperti itu, karena aku cowok normal, tapi kenapa aku malah risih sendiri. Roknya juga super duper mini. Sebenarnya cocok saja ia berpakaian seperti itu karena tubuhnya bagus. Seksi.
“Eh, makasih. Udah kenyang kok.” kulihat dia mencicipi dim sum. Tapi kenapa aku tidak melihat meja dim sum disini. Dan sepertinya cewek ini mengerti apa yang sedang aku pikirkan.
“Pasti kamu belum coba yang disana. Aku mengambil ini disana.” dia menunjuk meja yang didalam rumah. Ternyata ada banyak menu yang disediakan disini. Tante Felice memang gemar berpesta, jadi tidak heran jika ia sediakan makanan yang lebih dari cukup untuk kapasitas orang yang hanya berjumlah tidak lebih dari 25 orang hari ini. Kira-kira sisa makanan ini akan dikemanakan ya.
“Makasih deh, aku bener-bener udah kenyang.”
“O iya, kenalkan, aku Chyntia. Panggil aja aku Tia.”
“Samuel. Panggil aja Sam.” senyumnya manis.
“Jadi kalian sudah kenalan.” tiba-tiba suara tante Felice mengagetkanku. Tia senyum-senyum saja.
“Kalo gitu tante gak perlu repot-repot ngenalin kalian. Toh udah sama-sama dewasa.” Senyum nakal tante Felice terkembang. Sepertinya Tia sudah tau rencana ini, buktinya wajahnya dari tadi terlihat adem dan senyum selalu terhias disana. Sedangkan aku seperti kambing congek yang gak tau apa-apa. Apakah ini tadi yang dikatakan mama, bahwa aku akan tau nanti kenapa mama ajak aku ke acara ini. Jadi mereka ingin menjodohkanku dengan Tia. Tenang Sam, tenang. Siapa tau rencana itu tidak akan sejauh yang aku duga. Ini hanya perkenalan biasa dan selanjutnya terserah aku. Aku berusaha pelan-pelan menjauh dari Tia. Sebenarnya cewek itu enak diajak ngobrol, semuanya serba nyambung. Hanya aku gak ingin membangun opini publik bahwa diantara kami ‘akan’ ada apa-apa.
Dari sini kulihat mama sedang asyik ngobrol dengan Tia dan tante Felice. Sesekali mereka seling ngorbolnya dengan makan snack-snack ringan. Memang cewek doyan banget ngobrol.
Setelah hampir 4 jam terkurung dalam sarang perempuan akhirnya kami pulang juga.
“Jadi kamu sudah ketemu sama Tia.”mama mulai deh. Aku hanya mengangguk.
“Gimana menurutmu?”
“Gimana apanya?”
“Cantik kan?” aku mengangguk lagi.
“Suka ?” aku mulai pasang tampang sewot.
“Apa sih mama nih. Jadi ada maksud dan tujuannya tho aku dikenalkan ama dia?”
“Salah, bukan dikenalkan, kan kalian sendiri yang kenalan.”
“Iya iya. Trus kenapa?”
“Mama ingin hubungan kalian bisa berlanjut dan berlanjut.”
“Mama lupa ya?”
“Mama gak lupa. Dulu kamu pernah bilang kalo bakal bawa Sisca kembali ke sisimu, tapi mana buktinya. Sekian lama mama tunggu, dia gak muncul-muncul juga ke rumah.” mama ada benarnya. Sampai detik ini bendera putih pun belum Sisca kibarkan. Sejak masalah di Bekasi itu aku enggan menemuinya lagi. Aku tidak marah. Dia berhak memarahiku karena pada awalnya tujuanku ke Jakarta adalah memang untuk mengikutinya, tapi jika ia juga berpendapat bahwa aku mengikutinya sampai ke rumah Santo, kakak Asty, itu salah besar, karena telepon dadakan dari Santo lah aku bisa datang ke rumah itu. Semuanya hanya salah paham. Tapi hati Sisca begitu keras. Dia tidak kunjung juga meneleponku. Aku diam seribu bahasa sampai mobil ini masuk ke pekarangan rumah.
“Minggu depan papa ada acara golf di puncak. Dia minta kamu yang antar jadi jangan ada acara!” perintah mama sebelum ia turun dari mobil. Setelah mama masuk ke dalam rumah serta merta kupukul keras setir mobilku. Aku penat. Aku merasa terkekang. Sampai-sampai jodoh pun orang tua yang carikan. Aku mencintai Sisca. Aku mencintai apapun yang ada dalam dirinya saat ini. Tapi kenapa semua ini terasa berat untuk aku jalani. Aku melenguh.
Map biru berisi beberapa lembar kertas terbanting di hadapanku. Aku kaget. Benar-benar kaget.
“Apa ini balasanmu pada orang tua mu Sam?” ujar papa dengan emosi meluap-luap.
“Ada apa, pa?” tanyaku bingung. Papa meminta aku membuka berkas di hadapanku itu.
Biodata :
Nama : Apriliani Sisca Dewi.
Tmpt/tgl lhr : Jakarta / 14 April 1979
Alamat : Jl. Krakatau Raya No. 14 Semarang
Agama : Islam
No Telpon : 024 – 5316780
Status : Janda
Pekerjaan : Manager Promosi
Alamat kantor : Green Miles
Hobby : Memasak dan membaca
Ini biodata Sisca. Darimana papa bisa mendapatkan ini. Dan lihat di baris 'status', pasti papa yang sengaja menebalkan bagian itu dengan stabilo.
“Ini punya Sisca, papa dapat dari mana?” mata papa masih nanar.
“Gak perlu kamu tanya dari mana papa dapat ini. Tapi tidakkah kau bisa mencari wanita dari kalangan yang baik Sam.”
Baik ??
“Papa belum kenal Sisca.”
“Tidak perlu. Sekarang ikut papa pulang. Mama kamu mau bicara.” cepat sekali info ini tersebar. Jangan-jangan semua orang di rumah akan menghujatku karena mencintai seorang janda beranak satu.
Mobil di setir bak mercon. Cepat, sangat cepat pak Nur mengendarai mobil papa. Sampai di rumah, papa langsung meletakkan tas kerjanya dan duduk di sebelah mama yang sedang melamun. Sepertinya bakal ada perang dunia ke lima nih.
“Jadi sekarang mama dan papa sudah tau seperti apa pilihanku.” aku mulai buka suara.
“Tidak bisa begitu Sam. Kamu pikir kami akan setuju dengan dia.” ujar papa.
“Asal mama dan papa tau, Sisca adalah cinta pertama dan terakhir ku. Apapun penilaian mama dan papa tentang dia, aku gak akan pernah merubah keputusanku.” mama mulai menangis.
“Tinggalkan dia kalo kamu masih sayang dan menganggap kami berdua adalah orang tuamu. Itu perintah Sam, tidak ada tawar menawar lagi.” Papa beranjak menuju taman dengan emosi memuncak. Jika ia sedang tidak enak hati selalu lari ke taman dan melamun di pinggir kolam ikan yang ia buat sendiri. Dia betah berlama-lama menatap ikan-ikan itu. Apa tidak risih ya mereka, maksudku ikan-ikan itu, batinku. Mama duduk menyebelahiku.
“Ikutilah permintaan papa mu nak.” dengan suara masih terisak.
“Apakah seburuk itu penilaian mama-papa tentang seorang janda?”
“Apakah sebesar itu cintamu padanya nak?”mama malah balas bertanya. Aku mengangguk mantap.
“Maaf mama tetep gak bisa bantu kamu.” ujar mama sambil menunduk.
“Kenapa sih menilai orang dari masa lalunya. Belum tentu kan seorang janda tidak bisa bersanding lebih baik dengan seorang perjaka. Lagipula Sisca bukan janda cerai ma, dia ditinggal mati suaminya.”
“Apapun alasannya mama tetap tidak akan serahkan anak mama pada seorang janda. Punya anak berapa dia dengan suaminya yang dulu?”
“Satu. Masih SD.”
“Apalagi dia sudah punya anak. Mama tambah tidak setuju. Apa kata teman-teman dan kerabat mama dan papa nanti. Ntar mereka kira, apa sudah habis anak perawan yang cocok untuk kamu.”
“Huh. Mama dan papa sama aja.” aku hendak kabur.
“Mau kemana kamu? Mama belum selesai bicara !” aku membalikkan badan. Mama ikutan berdiri.
“Mama dan papa sudah menemukan jodoh yang tepat untukmu. Tia masih perawan dan belum pernah menikah, sama denganmu. Setidaknya dia juga dari keluarga yang jelas dan mampu. Cobalah Sam. Demi mama.” aku tidak menghiraukan ucapan mama. Aku memalingkan muka. Mama memalingkan wajahku kembali menatapnya. Mau tak mau aku melihat wajah mamaku.
“Ini kami lakukan karena kami sayang kamu nak. Semuanya demi kebahagiaanmu.”
“Kenapa mama pikir aku tidak bisa bahagia dengan Sisca dan Bobby.”
“Mama tidak ingin berdebat lagi. Mama juga tidak ingin kamu egois, pikirkan juga perasaan mama dan papa jika punya menantu yang tidak sepadan denganmu. Dia sudah pernah menikah dengan orang lain, sedangkan kamu masih perjaka, mama merasa tidak adil saja jika menyerahkanmu padanya. Pikirkanlah itu nak.” tanpa berpamitan aku segera berlari menuju garasi.
Mobil kulaju kencang, sekencang angin sore itu. Sepertinya akan turun hujan. Aku tidak tahu hendak kemana. Tapi yang pasti di pikiran dan hati ini hanya ada Sisca yang tergambar. Semua ucapan mama dan papa aku renungkan. Aku memang terlalu naif. Kenapa aku harus perjuangkan Sisca sedangkan dia saja belum tentu mau menerima cintaku. Sejak pertemuan terakhir kami di Bekasi kala itu aku semakin tidak bisa membaca jelas perasaan Sisca padaku. Apakah sedalam itu cinta Sisca pada mendiang suaminya. Apakah dia tidak mencintaiku seperti aku mencintai dia. Aku membutuhkan jawabannya.
Huh kenapa sore ini aku tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaanku. Setiap detik terbayang wajah Sam. Apakah aku mulai mencintainya lagi. Dulu memang pernah aku curahkan segenap cinta dan hatiku padanya, tapi Tuhan berkehendak lain. Rey lah yang dipilihkan Tuhan untukku, sampai Tuhan pula yang mengambilnya dariku. Aku bergegas ke toilet untuk membasuh muka, siapa tahu dengan cara itu wajah Sam akan hanyut bersama air yang membasahi wajah ini.
Aku minta Gimin untuk membuatkanku secangkir kopi. Aku perlu konsentrasi extra karena pekerjaan sedang menumpuk. Semoga semuanya bisa lancar dan aku tidak perlu lembur karenanya.
Acara basuh-membasuh muka dan meneguk secangkir kopi buatan Gimin sangatlah mujarab. Akhirnya pekerjaan bisa kelar sebelum malam tiba. Aku mulai membereskan meja dan bersiap untuk pulang. Bahan presentasi untuk besok aku siapkan besok pagi-pagi saja, karena sebentar lagi jam nya makan malam dan aku belum masak untuk Bobby.
Seperti biasa aku parkirkan mobil di basement. Setelah menuruni 7 tangga dengan menggunakan lift, sampai juga aku di basement. Tidak jauh dari tempatku memarkirkan mobil, kulihat Gimin sedang berbincang-bincang dengan pak Sapto, salah satu security yang berjaga malam ini.
“Pulang bu?” sapa pak Sapto, ramah. Aku tersenyum sambil mengangguk.
“Ati-ati ya bu.” itu Gimin yang bicara.
“Iya, makasih ya. Mari.” mereka bergantian menganggukkan kepalanya.
Kupencet tombol alarm mobil. Setelah berbunyi kumasukkan tas laptop yang super berat itu di kursi belakang. Setelah kututup kembali pintu itu kemudian aku hendak membuka pintu depan, tapi aku keburu terperanjat oleh sosok orang yang lumayan mengagetkanku.
“MasyaAllah, Sam ! Ngapain kamu berdiri disitu.” ujarku sambil mengatur kembali nafas dan jantungku supaya berdetak normal.
“Maaf, aku gak bermaksud mengagetkanmu. Maaf ya.” Sam sepertinya memang tidak berniat untuk membuatku takut. Berulang kali dia meminta maaf.
“Bisa aku minta waktu untuk bicara?”
“Tapi.” aku mancoba menolak.
“Tolonglah Sis. Beri aku kesempatan untuk bicara.” aku berpikir sejenak.
“Ya udah. Tapi aku telpon Bobby dulu.” kupencet nomor rumah. Tidak lama kemudian kudengar suara Bobby diseberang.
“Bob, ini Ibu.”
“Pasti Ibu mau bilang kalo Ibu lembur ya ?” anakku memang kritis.
“Bukan. Om Sam minta ditemenin ngobrol sebentar.” sambil kulirik Sam yang sedang melamun.
“O....”
“Kamu gak papa kan nak?”
“Kalo sama om Sam, Bobby percaya bu. Tapi kalo sama yang lain mending Ibu pulang aja deh.”
“Kamu ini ya. OK. Kalo gitu jangan lupa makan malam ya nak, minta buatkan si mbak dulu ya?”
“Iya Ibu ku yang cantik. Salam ya buat om Sam.”
“Iya. Dah sayang. Ibu akan pulang cepat setelah semuanya kelar.”
“Iya bu. Da dah...” kututup telponnya.
“Bobby titip salam.” ujar ku pada Sam.
“Aku kangen sama anak itu. Bisa kita berangkat sekarang ?” aku mengangguk.
“Naik mobil kamu gak pa pa kan? Soalnya mobilku udah aku titipkan ke temen.” sepertinya dia udah punya keyakinan besar kalo aku tidak akan menolak ajakannya. Ada perasaan sedikit menyesal aku setuju dengan idenya ini. Tapi nasi sudah menjadi bubur.
Sam meminta ijin untuk menyetir mobilku. Wajahnya tenang. Suasana tenang. Aku juga enggan untuk mengajaknya ngobrol. Tapi kenapa hati ini bergemuruh, pengen copot rasanya. Aku malu jika sampai Sam mendengar detak jantung yang tak beraturan ini. Antara senang dan tidak, aku bisa keluar dengan Sam. Cowok yang pernah mengisi hari-hariku, dulu. Dia berbelok di Puri Anjasmoro dan memarkirkan mobilku di sebuah restaurant. Restaurant yang baru sekali seumur hidup pernah aku kunjungi. Setelah masuk ke dalam dan duduk di kursi paling sudut kami mulai ngobrol.
“Masih ingat sama restaurant ini ?” dulu Sam pernah mengajakku kesini dan di tempat ini pula ia mengutarakan perasaannya padaku.
“Sudah banyak berubah.” Kulihat beberapa lampu warna-warni sudah banyak menerangi taman. Jenis kursi yang aku duduki sekarang juga berubah, lebih nyaman dengan bantalan empuk. Dan di sudut kanan dekat bar juga ada panggung kecil untuk solo organ yang saat ini sedang melantunkan musik jazz. Aku cukup menikmati aura tempat ini.
“Kita aja survive maka mereka juga harus berusaha survive.” senyum Sam mengembang. Aku mengangguk.
“Kamu mau pesan apa Sis ? Kamu pasti lapar kan ?” tanya Sam setelah pelayan mendatangi meja kami.
“Mocaccino.”
“Gak makan ? Atau mau aku pesankan yang seperti biasanya ?” Aku sedikit terperanjat dengan tawarannya itu. Kupandang lekat matanya.
“Baiklah, saya ulang ya mbak. Kami pesan 1 capuccino, 1 mocaccino, dan 2 nasi goreng ampela. Yang 1 pedas yang 1 biasa. Betul kan Sis ?” Sam masih mengingat makanan favoritku. Aku mengangguk padanya dan bergantian pada mbak si pelayan.
“Walaupun semuanya sudah berubah, tapi hatiku tidak mungkin berubah.” aku yang sedari tadi menunduk kemudian tertarik untuk mengikuti arah pembicaraannya.
“Sis, tidakkah kamu merasakan apa yang selama ini aku rasakan?” seandainya aku bisa jujur Sam. Sejak pertemuan pertama kali denganmu lagi aku sudah merasakan ada getaran aneh pada diriku. Hanya saja aku terlalu angkuh untuk mengakui itu. Dan aku belum bisa menggantikan posisi Rey di hatiku. Aku diam dalam bisu. Mata kami bertemu. Hanya saja bibir ini menjadi beku.
“Aku masih mencintaimu, sama seperti kala kita remaja dulu. Dan aku akan terima apa adanya kamu sekarang. Aku juga sayang sama Bobby.” jelas Sam. Aku yang biasanya punya seribu bahasa untuk mengelak, walaupun bertentangan hati nurani yang sesungguhnya, tapi kali ini aku hanya bisa diam. Pandanganku beralih pada pesanan kami yang sudah datang.
“Gih, dimakan dulu. Kalo dingin ntar gak enak.” tawar Sam.
Ketika aku hendak menyuapkan sendokan pertama kemulutku. Kuturunkan lagi sendoknya.
“Sam.” tenggorokanku kembali tercekat.
“Ya.” aku membuat dirinya menunggu beberapa saat.
“Gak deh. Nanti aja lagi.” aku bingung mau bilang apa. Akhirnya suapan pertama masuk ke mulutku. Kulirik Sam tersenyum melihat tingkahku. Kami merampungkan makan malam ini dengan santai. Sesekali aku melihat gelagat Sam. Dia masih tampak tenang. Tapi jantung ku ini kenapa belum juga berdetak secara normal ya. Tanpa sadar aku geleng-gelengkan kepalaku. Mungkin kalo Sam melihatnya dia akan bingung melihat ku.
“Aku sangat menikmati malam ini, Sis.” ujar Sam setelah pelayan mengangkat piring kami dan menggantinya dengan semangkuk buah segar.
“Sam, apa yang kamu harapkan dariku ?” sambil kubersihkan bibirku dengan serbet yang tersedia.
“Aku ingin menikahimu.”
“It's impossible.”
“It's gonna be possible if you let me. Ijinkan aku mendalami hatimu Sis. Beri aku kesempatan untuk masuk dalam kehidupanmu.” aku pesimis. Sempat beberapa kali aku geleng-gelengkan kepala.
“Apa yang buat kamu ragu?” Sam memegang tanganku yang terdampar pasrah di atas meja.
“Tidak semua orang bisa menerima kaum janda dengan kedua matanya.”
“Tapi aku bisa.”
“Bagaimana dengan orang yang ada disekitarmu. Keluargamu.” Sam terdiam.
“Kamu tidak bisa jawab itu kan Sam. Apa kekhawatiranku ini sudah ada jawabannya. Tidak ada orangtua di dunia ini yang rela melepas anak perjakanya pada.....pada jenis wanita sepertiku.” lanjutku.
“Kenapa sih kamu ini. Kamu tidak mau mendukungku.” seru Sam.
“Mendukungmu untuk apa ? Untuk mencari opini publik bahwa kaum kami selayaknya diterima dengan tangan terbuka?”
“Sis, ijinkan aku membawamu ke duniaku.” aku tak kuasa menahan tangis. Sam, aku ingin kau merengkuh tubuhku yang semakin lemah ini. Aku rapuh dihadapanmu.
“Demi Allah. Ijinkan aku menggantikan posisi Rey dihatimu.” Rey, aku bingung. Aku bingung. Sam mendekatkan posisi duduknya padaku dan ia lalu memelukku. Aku larut dalam pelukannya. Aku mencintainya. Tapi kenapa aku tidak yakin bisa memilikinya.
Setelah semuanya tenang, Sam mengantarkanku pulang. Kami kembali dalam diam. Sudah jam 21.30, pasti Bobby sudah tidur sekarang. Tadi Sam membelikan oleh-oleh untuknya. Nasi goreng ayam dan telur goreng. Sam memarkirkan mobilku sampai ke garasi. Sekilas kulihat mobil Sam sudah menunggunya di depan pagar rumahku.
“Aku langsung aja. Ini kunci mobil kamu. Istirahat ya. Besok aku telpon.” Sam mengusap lembut keningku. Aku menarik tangannya yang hendak membalikkan badannya untuk pulang.
“Sam. Mencintai tidak harus memiliki. Aku mencintaimu. Tapi aku rela jika tidak harus memilikimu.” Sekilas tampak senyum merekah di wajah Sam. Cerah sekali. Secerah langit malam ini yang bertaburkan bintang nan terang. Serta merta dia memelukku dan membisikkan sesuatu pada ku.
“Aku akan selalu menjagamu Sis. Dan aku janji akan memperjuangkan mu dalam keluargaku.”
“Jangan dipaksakan. Aku cukup puas telah mendapatkan cintamu.” dia berpamitan lagi setelah mengecup lembut keningku.
Mobilnya melaju dalam malam. Ketika aku membuka pintu rumah, kulihat Bobby sedang berdiri menatapku. Serta merta ia memelukku.
“Bobby belum tidur ?” ia menggeleng.
“Ini ada nasi goreng kesukaan Bobby dari om Sam.” ia menggeleng lagi dan masih memelukku erat.
“Ibu, suatu hari nanti, mungkin gak Bobby punya ayah lagi selain ayah Rey ?”
Bobby, jangan berharap terlalu banyak pada hubungan ibumu dengan om Sam, nak. Ibu menyayangimu. Kubalas pelukannya. Kugendong ia menuju meja makan. Mendudukkannya di kursi makan dan membukakan bungkusan nasi goreng di hadapannya. Kupandangi Bobby yang sekarang sedang lahap memakan nasi yang masih hangat itu. Sambil kuusap keningnya dan kuucapkan,
“Jangan sedih jika nanti semuanya tidak berjalan seperti yang Bobby mau. Ingat nak, kamu masih punya ibu disini. Kita akan kuat walau hanya berdua. Bobby mesti selalu ingat itu ya.” Bobby mengangguk.
Hari-hariku setelah kejadian malam itu berjalan seperti biasanya. Aku memang tidak ingin memanjakan diriku terlalu dalam pada Sam. Aku tidak biasa bergantung padanya. Tapi tidak juga semua tawarannya aku tolak, misalnya seperti menjemput Bobby pulang sekolah, aku mengijinkannya tapi jangan terlalu sering supaya tidak mubazir uang yang sudah aku keluarkan untuk membiayai mobil antar jemput sekolahnya. Dia juga minta ijin untuk datang setiap malam minggu dan mengajak kami keluar makan malam. Alhasil perasaan ku saat ini semakin kuat padanya.
Tapi sudah dua minggu ini dia jarang muncul di rumah. Telepon pun jarang. Entah kenapa. Hari ini, Rabu, bertepatan dengan hari ulang tahun Rey. Sebenarnya Bobby hendak mengajak Sam ke makam Rey, tapi sejak pagi handphone nya tidak aktif, kata orang kantor juga sudah dua hari ini dia tidak masuk kerja, menurut sumber di kantornya salah satu anggota keluarganya ada yang sakit dan mengharuskan ia untuk cuti sampai dengan empat hari kedepan.
“Sudahlah Bob. Kita pergi berdua aja ya. Ayah sudah nunggu tuh.” Bobby masih kekeuh mencoba menghubungi Sam lewat HP ku.
“Kira-kira om Sam kemana ya bu ?”
“Kamu kangen sama dia?” aku memeluknya dari belakang. Bobby mengangguk.
“Ibu juga. Tapi ayah Rey pasti juga kangen sama kita berdua, jadi ayo berangkat sekarang.” Bobby mengeluarkan semua buku-buku sekolahnya di atas meja dan mengganti isi tas nya dengan tempat minum dan sedikit snack yang sudah aku sediakan sejak semalam. Dia tidak bersemangat seperti biasanya.
“Mungkin sekarang om Sam lagi sibuk berat. Jadi gak bisa menemui kita.”
“Iya Bobby ngerti kok. Ayo bu kita berangkat sekarang, keburu ayah marah sama kita.” Bobby menggandeng tanganku.
Sore ini awan agak mendung. Semoga tidak hujan. Tapi aku tetap membawa payung hanya untuk jaga-jaga. Mobil meluncur ke makam Rey.
Di depan pusara Rey, Bobby memanjatkan doa lebih lama dari biasanya. Entah apa yang ia sampaikan pada Rey, hanya saja bibir kecil itu tak henti-hentinya berkomat-kamit. Kembali aku menatap pusara Rey.
Rey, entah kenapa sekarang aku lebih ringan menjalankan hidup. Apakah itu karena aku telah mengikhlaskan kepergianmu atau karena aku telah menemukan sosok lain dalam hatiku. Maafkan aku jika ini akan membuatmu sakit hati. Sam. Iya Sam, pacar lamaku. Kini datang lagi dan mulai mengisi hatiku yang telah lama kosong. Aku merindukan mu Rey.
Dengan Sam aku merasa senang, enjoy, bahagia, walaupun belum ada garansi ia akan bersamaku untuk selamanya. Bukan, bukan aku yang menutup diri. Tapi aku hanya sadar diri. Jika semuanya tidak berjalan seperti yang kami harapkan insyaallah aku akan ikhlas. Kamu tau Rey, aku ingin lagi punya seseorang yang bisa menjaga aku dan Bobby siang dan malam. Aku ingin lagi ada seseorang yang merawat dan menyayangi rumah kita. Seperti yang dulu pernah aku punya bersamamu. Tapi aku gak bisa muluk-muluk. Siapa aku.
Bobby sepertinya juga sayang sama Sam. Kami sering jalan bareng bertiga. Rasanya seperti yang dulu lagi Rey. Hanya saja Sam yang ada disisi kami, bukan kamu. Tapi aku yakin kamu disana juga akan bahagia jika melihat kami disini bahagia. Iya kan ?
Jika Tuhan mengijinkan semuanya tetap berjalan baik seperti sekarang ini tidak heran jika Sam akan menikahiku Rey. Apa kau ikhlas aku pergi dengan orang lain ? Tapi jika semua ini harus berhenti di tengah jalan aku mohon bantulah aku untuk menata hati ini kembali, juga hati Bobby, anak kita. Aku tidak ingin dia sedih, sudah cukup ia sedih kala kau meninggalkannya. Akankah air mata ini tidak akan menetes lagi di kemudian hari ? Aku tidak tahu Rey. Aku tidak tahu. Tapi yang aku tahu, kamu akan dukung aku. Iya kan Rey ? Semangat Sis, semangat ! Itu yang selalu kamu ucapkan untukku. Terima kasih Rey.
Hujan deras menemani perjalanan pulang kami.
Hari ini ada arisan keluarga di rumah tante Felice. Tante Felice itu adik sepupu mama. Berhubung papa tidak bisa antar mama jadi aku yang kena gak enaknya.
“Papa kemana sih ma ?” tanyaku.
“Teman papa yang dari Inggris datang kesini dan ajak papa main golf di candi.”
“Trus kenapa mama gak minta Felo aja yang antar. Kan sama ceweknya.”
“Udah jangan protes terus, kayak nenek-nenek aja. Ntar juga kamu tau kok kenapa mama ajak kamu kesana.” hawanya udah gak enak nih.
Sampai di rumah tante Felice. Sudah rame orang rupanya. Aku bersikeras untuk menunggu mama di mobil saja tapi mama ngotot minta aku ikut turun.
“Nah ini dia jagoan tante.” seru tante Felice sesampainya kami di teras rumahnya.
“Siang tante.” sapa ku.
Tante Felice masih saja terlihat muda, walaupun umur sebenarnya nya tidak jauh dari umur mama. Mungkin karena dia tidak perlu merasa repot mengurusi anak-anak di rumahnya. Tapi tante Felice dan om Steve, suaminya, terlihat mesra-mesra saja dengan keadaannya itu. Katanya malah seperti pacaran terus. Bahagia terus.
“Kamu tambah ganteng aja ya. Halo mbak Edis.” Pandangannya beralih sejurus pada mama.
“Halo sayang.” sapa mama sembari mencium kedua pipi tante Felice.
“Udah rame ya.” lanjut mama.
“Iya mbak, semuanya dah pada ngumpul tinggal nunggu mbak aja.”
“Aduh kalo gitu maap deh, soalnya Sam nih mandinya luama banget. Pake parfumenya aja dobel-dobel.” tante Felice meringis ke arahku.
Arisan dimulai. Ternyata tidak sekaku yang aku kira. Buktinya banyak tante-budhe-encing-enyak yang masih sibuk ngerumpi dan makan sedangkan arisan udah mau digelar. Mama meminta ku untuk menyicipi makanan yang ada sambil menunggunya. Katanya sih cuma sebentar. Kalo udah dikocok dan menemukan siapa yang beruntung hari itu ya udah kelar acaranya. Yang lama emang acara ngrumpi di ‘mall’ nya.
Aku mencoba santai disini. Kucicipi hampir semua menu yang tersedia. Maklum tadi mama membangunkan ku udah agak siang jadi aku belum sempat sarapan. Ternyata di ujung sana ada sepasang mata yang sedang mengawasiku. Seorang gadis berambut panjang sebahu terlihat senyum-senyum sendiri memandangku. Aku mulai risih. Akhirnya kuhentikan wisata kulinerku di meja es dan puding. Dia mendekat.
“Ini enak juga lho.” ujar si cewek itu. Setelah agak dekat ternyata dia manis juga tapi pakaian yang ia kenakan terlalu seksi sampai-sampai belahan dadanya tampak jelas. Seharusnya aku akan senang dengan pemandangan seperti itu, karena aku cowok normal, tapi kenapa aku malah risih sendiri. Roknya juga super duper mini. Sebenarnya cocok saja ia berpakaian seperti itu karena tubuhnya bagus. Seksi.
“Eh, makasih. Udah kenyang kok.” kulihat dia mencicipi dim sum. Tapi kenapa aku tidak melihat meja dim sum disini. Dan sepertinya cewek ini mengerti apa yang sedang aku pikirkan.
“Pasti kamu belum coba yang disana. Aku mengambil ini disana.” dia menunjuk meja yang didalam rumah. Ternyata ada banyak menu yang disediakan disini. Tante Felice memang gemar berpesta, jadi tidak heran jika ia sediakan makanan yang lebih dari cukup untuk kapasitas orang yang hanya berjumlah tidak lebih dari 25 orang hari ini. Kira-kira sisa makanan ini akan dikemanakan ya.
“Makasih deh, aku bener-bener udah kenyang.”
“O iya, kenalkan, aku Chyntia. Panggil aja aku Tia.”
“Samuel. Panggil aja Sam.” senyumnya manis.
“Jadi kalian sudah kenalan.” tiba-tiba suara tante Felice mengagetkanku. Tia senyum-senyum saja.
“Kalo gitu tante gak perlu repot-repot ngenalin kalian. Toh udah sama-sama dewasa.” Senyum nakal tante Felice terkembang. Sepertinya Tia sudah tau rencana ini, buktinya wajahnya dari tadi terlihat adem dan senyum selalu terhias disana. Sedangkan aku seperti kambing congek yang gak tau apa-apa. Apakah ini tadi yang dikatakan mama, bahwa aku akan tau nanti kenapa mama ajak aku ke acara ini. Jadi mereka ingin menjodohkanku dengan Tia. Tenang Sam, tenang. Siapa tau rencana itu tidak akan sejauh yang aku duga. Ini hanya perkenalan biasa dan selanjutnya terserah aku. Aku berusaha pelan-pelan menjauh dari Tia. Sebenarnya cewek itu enak diajak ngobrol, semuanya serba nyambung. Hanya aku gak ingin membangun opini publik bahwa diantara kami ‘akan’ ada apa-apa.
Dari sini kulihat mama sedang asyik ngobrol dengan Tia dan tante Felice. Sesekali mereka seling ngorbolnya dengan makan snack-snack ringan. Memang cewek doyan banget ngobrol.
Setelah hampir 4 jam terkurung dalam sarang perempuan akhirnya kami pulang juga.
“Jadi kamu sudah ketemu sama Tia.”mama mulai deh. Aku hanya mengangguk.
“Gimana menurutmu?”
“Gimana apanya?”
“Cantik kan?” aku mengangguk lagi.
“Suka ?” aku mulai pasang tampang sewot.
“Apa sih mama nih. Jadi ada maksud dan tujuannya tho aku dikenalkan ama dia?”
“Salah, bukan dikenalkan, kan kalian sendiri yang kenalan.”
“Iya iya. Trus kenapa?”
“Mama ingin hubungan kalian bisa berlanjut dan berlanjut.”
“Mama lupa ya?”
“Mama gak lupa. Dulu kamu pernah bilang kalo bakal bawa Sisca kembali ke sisimu, tapi mana buktinya. Sekian lama mama tunggu, dia gak muncul-muncul juga ke rumah.” mama ada benarnya. Sampai detik ini bendera putih pun belum Sisca kibarkan. Sejak masalah di Bekasi itu aku enggan menemuinya lagi. Aku tidak marah. Dia berhak memarahiku karena pada awalnya tujuanku ke Jakarta adalah memang untuk mengikutinya, tapi jika ia juga berpendapat bahwa aku mengikutinya sampai ke rumah Santo, kakak Asty, itu salah besar, karena telepon dadakan dari Santo lah aku bisa datang ke rumah itu. Semuanya hanya salah paham. Tapi hati Sisca begitu keras. Dia tidak kunjung juga meneleponku. Aku diam seribu bahasa sampai mobil ini masuk ke pekarangan rumah.
“Minggu depan papa ada acara golf di puncak. Dia minta kamu yang antar jadi jangan ada acara!” perintah mama sebelum ia turun dari mobil. Setelah mama masuk ke dalam rumah serta merta kupukul keras setir mobilku. Aku penat. Aku merasa terkekang. Sampai-sampai jodoh pun orang tua yang carikan. Aku mencintai Sisca. Aku mencintai apapun yang ada dalam dirinya saat ini. Tapi kenapa semua ini terasa berat untuk aku jalani. Aku melenguh.
Map biru berisi beberapa lembar kertas terbanting di hadapanku. Aku kaget. Benar-benar kaget.
“Apa ini balasanmu pada orang tua mu Sam?” ujar papa dengan emosi meluap-luap.
“Ada apa, pa?” tanyaku bingung. Papa meminta aku membuka berkas di hadapanku itu.
Biodata :
Nama : Apriliani Sisca Dewi.
Tmpt/tgl lhr : Jakarta / 14 April 1979
Alamat : Jl. Krakatau Raya No. 14 Semarang
Agama : Islam
No Telpon : 024 – 5316780
Status : Janda
Pekerjaan : Manager Promosi
Alamat kantor : Green Miles
Hobby : Memasak dan membaca
Ini biodata Sisca. Darimana papa bisa mendapatkan ini. Dan lihat di baris 'status', pasti papa yang sengaja menebalkan bagian itu dengan stabilo.
“Ini punya Sisca, papa dapat dari mana?” mata papa masih nanar.
“Gak perlu kamu tanya dari mana papa dapat ini. Tapi tidakkah kau bisa mencari wanita dari kalangan yang baik Sam.”
Baik ??
“Papa belum kenal Sisca.”
“Tidak perlu. Sekarang ikut papa pulang. Mama kamu mau bicara.” cepat sekali info ini tersebar. Jangan-jangan semua orang di rumah akan menghujatku karena mencintai seorang janda beranak satu.
Mobil di setir bak mercon. Cepat, sangat cepat pak Nur mengendarai mobil papa. Sampai di rumah, papa langsung meletakkan tas kerjanya dan duduk di sebelah mama yang sedang melamun. Sepertinya bakal ada perang dunia ke lima nih.
“Jadi sekarang mama dan papa sudah tau seperti apa pilihanku.” aku mulai buka suara.
“Tidak bisa begitu Sam. Kamu pikir kami akan setuju dengan dia.” ujar papa.
“Asal mama dan papa tau, Sisca adalah cinta pertama dan terakhir ku. Apapun penilaian mama dan papa tentang dia, aku gak akan pernah merubah keputusanku.” mama mulai menangis.
“Tinggalkan dia kalo kamu masih sayang dan menganggap kami berdua adalah orang tuamu. Itu perintah Sam, tidak ada tawar menawar lagi.” Papa beranjak menuju taman dengan emosi memuncak. Jika ia sedang tidak enak hati selalu lari ke taman dan melamun di pinggir kolam ikan yang ia buat sendiri. Dia betah berlama-lama menatap ikan-ikan itu. Apa tidak risih ya mereka, maksudku ikan-ikan itu, batinku. Mama duduk menyebelahiku.
“Ikutilah permintaan papa mu nak.” dengan suara masih terisak.
“Apakah seburuk itu penilaian mama-papa tentang seorang janda?”
“Apakah sebesar itu cintamu padanya nak?”mama malah balas bertanya. Aku mengangguk mantap.
“Maaf mama tetep gak bisa bantu kamu.” ujar mama sambil menunduk.
“Kenapa sih menilai orang dari masa lalunya. Belum tentu kan seorang janda tidak bisa bersanding lebih baik dengan seorang perjaka. Lagipula Sisca bukan janda cerai ma, dia ditinggal mati suaminya.”
“Apapun alasannya mama tetap tidak akan serahkan anak mama pada seorang janda. Punya anak berapa dia dengan suaminya yang dulu?”
“Satu. Masih SD.”
“Apalagi dia sudah punya anak. Mama tambah tidak setuju. Apa kata teman-teman dan kerabat mama dan papa nanti. Ntar mereka kira, apa sudah habis anak perawan yang cocok untuk kamu.”
“Huh. Mama dan papa sama aja.” aku hendak kabur.
“Mau kemana kamu? Mama belum selesai bicara !” aku membalikkan badan. Mama ikutan berdiri.
“Mama dan papa sudah menemukan jodoh yang tepat untukmu. Tia masih perawan dan belum pernah menikah, sama denganmu. Setidaknya dia juga dari keluarga yang jelas dan mampu. Cobalah Sam. Demi mama.” aku tidak menghiraukan ucapan mama. Aku memalingkan muka. Mama memalingkan wajahku kembali menatapnya. Mau tak mau aku melihat wajah mamaku.
“Ini kami lakukan karena kami sayang kamu nak. Semuanya demi kebahagiaanmu.”
“Kenapa mama pikir aku tidak bisa bahagia dengan Sisca dan Bobby.”
“Mama tidak ingin berdebat lagi. Mama juga tidak ingin kamu egois, pikirkan juga perasaan mama dan papa jika punya menantu yang tidak sepadan denganmu. Dia sudah pernah menikah dengan orang lain, sedangkan kamu masih perjaka, mama merasa tidak adil saja jika menyerahkanmu padanya. Pikirkanlah itu nak.” tanpa berpamitan aku segera berlari menuju garasi.
Mobil kulaju kencang, sekencang angin sore itu. Sepertinya akan turun hujan. Aku tidak tahu hendak kemana. Tapi yang pasti di pikiran dan hati ini hanya ada Sisca yang tergambar. Semua ucapan mama dan papa aku renungkan. Aku memang terlalu naif. Kenapa aku harus perjuangkan Sisca sedangkan dia saja belum tentu mau menerima cintaku. Sejak pertemuan terakhir kami di Bekasi kala itu aku semakin tidak bisa membaca jelas perasaan Sisca padaku. Apakah sedalam itu cinta Sisca pada mendiang suaminya. Apakah dia tidak mencintaiku seperti aku mencintai dia. Aku membutuhkan jawabannya.
Huh kenapa sore ini aku tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaanku. Setiap detik terbayang wajah Sam. Apakah aku mulai mencintainya lagi. Dulu memang pernah aku curahkan segenap cinta dan hatiku padanya, tapi Tuhan berkehendak lain. Rey lah yang dipilihkan Tuhan untukku, sampai Tuhan pula yang mengambilnya dariku. Aku bergegas ke toilet untuk membasuh muka, siapa tahu dengan cara itu wajah Sam akan hanyut bersama air yang membasahi wajah ini.
Aku minta Gimin untuk membuatkanku secangkir kopi. Aku perlu konsentrasi extra karena pekerjaan sedang menumpuk. Semoga semuanya bisa lancar dan aku tidak perlu lembur karenanya.
Acara basuh-membasuh muka dan meneguk secangkir kopi buatan Gimin sangatlah mujarab. Akhirnya pekerjaan bisa kelar sebelum malam tiba. Aku mulai membereskan meja dan bersiap untuk pulang. Bahan presentasi untuk besok aku siapkan besok pagi-pagi saja, karena sebentar lagi jam nya makan malam dan aku belum masak untuk Bobby.
Seperti biasa aku parkirkan mobil di basement. Setelah menuruni 7 tangga dengan menggunakan lift, sampai juga aku di basement. Tidak jauh dari tempatku memarkirkan mobil, kulihat Gimin sedang berbincang-bincang dengan pak Sapto, salah satu security yang berjaga malam ini.
“Pulang bu?” sapa pak Sapto, ramah. Aku tersenyum sambil mengangguk.
“Ati-ati ya bu.” itu Gimin yang bicara.
“Iya, makasih ya. Mari.” mereka bergantian menganggukkan kepalanya.
Kupencet tombol alarm mobil. Setelah berbunyi kumasukkan tas laptop yang super berat itu di kursi belakang. Setelah kututup kembali pintu itu kemudian aku hendak membuka pintu depan, tapi aku keburu terperanjat oleh sosok orang yang lumayan mengagetkanku.
“MasyaAllah, Sam ! Ngapain kamu berdiri disitu.” ujarku sambil mengatur kembali nafas dan jantungku supaya berdetak normal.
“Maaf, aku gak bermaksud mengagetkanmu. Maaf ya.” Sam sepertinya memang tidak berniat untuk membuatku takut. Berulang kali dia meminta maaf.
“Bisa aku minta waktu untuk bicara?”
“Tapi.” aku mancoba menolak.
“Tolonglah Sis. Beri aku kesempatan untuk bicara.” aku berpikir sejenak.
“Ya udah. Tapi aku telpon Bobby dulu.” kupencet nomor rumah. Tidak lama kemudian kudengar suara Bobby diseberang.
“Bob, ini Ibu.”
“Pasti Ibu mau bilang kalo Ibu lembur ya ?” anakku memang kritis.
“Bukan. Om Sam minta ditemenin ngobrol sebentar.” sambil kulirik Sam yang sedang melamun.
“O....”
“Kamu gak papa kan nak?”
“Kalo sama om Sam, Bobby percaya bu. Tapi kalo sama yang lain mending Ibu pulang aja deh.”
“Kamu ini ya. OK. Kalo gitu jangan lupa makan malam ya nak, minta buatkan si mbak dulu ya?”
“Iya Ibu ku yang cantik. Salam ya buat om Sam.”
“Iya. Dah sayang. Ibu akan pulang cepat setelah semuanya kelar.”
“Iya bu. Da dah...” kututup telponnya.
“Bobby titip salam.” ujar ku pada Sam.
“Aku kangen sama anak itu. Bisa kita berangkat sekarang ?” aku mengangguk.
“Naik mobil kamu gak pa pa kan? Soalnya mobilku udah aku titipkan ke temen.” sepertinya dia udah punya keyakinan besar kalo aku tidak akan menolak ajakannya. Ada perasaan sedikit menyesal aku setuju dengan idenya ini. Tapi nasi sudah menjadi bubur.
Sam meminta ijin untuk menyetir mobilku. Wajahnya tenang. Suasana tenang. Aku juga enggan untuk mengajaknya ngobrol. Tapi kenapa hati ini bergemuruh, pengen copot rasanya. Aku malu jika sampai Sam mendengar detak jantung yang tak beraturan ini. Antara senang dan tidak, aku bisa keluar dengan Sam. Cowok yang pernah mengisi hari-hariku, dulu. Dia berbelok di Puri Anjasmoro dan memarkirkan mobilku di sebuah restaurant. Restaurant yang baru sekali seumur hidup pernah aku kunjungi. Setelah masuk ke dalam dan duduk di kursi paling sudut kami mulai ngobrol.
“Masih ingat sama restaurant ini ?” dulu Sam pernah mengajakku kesini dan di tempat ini pula ia mengutarakan perasaannya padaku.
“Sudah banyak berubah.” Kulihat beberapa lampu warna-warni sudah banyak menerangi taman. Jenis kursi yang aku duduki sekarang juga berubah, lebih nyaman dengan bantalan empuk. Dan di sudut kanan dekat bar juga ada panggung kecil untuk solo organ yang saat ini sedang melantunkan musik jazz. Aku cukup menikmati aura tempat ini.
“Kita aja survive maka mereka juga harus berusaha survive.” senyum Sam mengembang. Aku mengangguk.
“Kamu mau pesan apa Sis ? Kamu pasti lapar kan ?” tanya Sam setelah pelayan mendatangi meja kami.
“Mocaccino.”
“Gak makan ? Atau mau aku pesankan yang seperti biasanya ?” Aku sedikit terperanjat dengan tawarannya itu. Kupandang lekat matanya.
“Baiklah, saya ulang ya mbak. Kami pesan 1 capuccino, 1 mocaccino, dan 2 nasi goreng ampela. Yang 1 pedas yang 1 biasa. Betul kan Sis ?” Sam masih mengingat makanan favoritku. Aku mengangguk padanya dan bergantian pada mbak si pelayan.
“Walaupun semuanya sudah berubah, tapi hatiku tidak mungkin berubah.” aku yang sedari tadi menunduk kemudian tertarik untuk mengikuti arah pembicaraannya.
“Sis, tidakkah kamu merasakan apa yang selama ini aku rasakan?” seandainya aku bisa jujur Sam. Sejak pertemuan pertama kali denganmu lagi aku sudah merasakan ada getaran aneh pada diriku. Hanya saja aku terlalu angkuh untuk mengakui itu. Dan aku belum bisa menggantikan posisi Rey di hatiku. Aku diam dalam bisu. Mata kami bertemu. Hanya saja bibir ini menjadi beku.
“Aku masih mencintaimu, sama seperti kala kita remaja dulu. Dan aku akan terima apa adanya kamu sekarang. Aku juga sayang sama Bobby.” jelas Sam. Aku yang biasanya punya seribu bahasa untuk mengelak, walaupun bertentangan hati nurani yang sesungguhnya, tapi kali ini aku hanya bisa diam. Pandanganku beralih pada pesanan kami yang sudah datang.
“Gih, dimakan dulu. Kalo dingin ntar gak enak.” tawar Sam.
Ketika aku hendak menyuapkan sendokan pertama kemulutku. Kuturunkan lagi sendoknya.
“Sam.” tenggorokanku kembali tercekat.
“Ya.” aku membuat dirinya menunggu beberapa saat.
“Gak deh. Nanti aja lagi.” aku bingung mau bilang apa. Akhirnya suapan pertama masuk ke mulutku. Kulirik Sam tersenyum melihat tingkahku. Kami merampungkan makan malam ini dengan santai. Sesekali aku melihat gelagat Sam. Dia masih tampak tenang. Tapi jantung ku ini kenapa belum juga berdetak secara normal ya. Tanpa sadar aku geleng-gelengkan kepalaku. Mungkin kalo Sam melihatnya dia akan bingung melihat ku.
“Aku sangat menikmati malam ini, Sis.” ujar Sam setelah pelayan mengangkat piring kami dan menggantinya dengan semangkuk buah segar.
“Sam, apa yang kamu harapkan dariku ?” sambil kubersihkan bibirku dengan serbet yang tersedia.
“Aku ingin menikahimu.”
“It's impossible.”
“It's gonna be possible if you let me. Ijinkan aku mendalami hatimu Sis. Beri aku kesempatan untuk masuk dalam kehidupanmu.” aku pesimis. Sempat beberapa kali aku geleng-gelengkan kepala.
“Apa yang buat kamu ragu?” Sam memegang tanganku yang terdampar pasrah di atas meja.
“Tidak semua orang bisa menerima kaum janda dengan kedua matanya.”
“Tapi aku bisa.”
“Bagaimana dengan orang yang ada disekitarmu. Keluargamu.” Sam terdiam.
“Kamu tidak bisa jawab itu kan Sam. Apa kekhawatiranku ini sudah ada jawabannya. Tidak ada orangtua di dunia ini yang rela melepas anak perjakanya pada.....pada jenis wanita sepertiku.” lanjutku.
“Kenapa sih kamu ini. Kamu tidak mau mendukungku.” seru Sam.
“Mendukungmu untuk apa ? Untuk mencari opini publik bahwa kaum kami selayaknya diterima dengan tangan terbuka?”
“Sis, ijinkan aku membawamu ke duniaku.” aku tak kuasa menahan tangis. Sam, aku ingin kau merengkuh tubuhku yang semakin lemah ini. Aku rapuh dihadapanmu.
“Demi Allah. Ijinkan aku menggantikan posisi Rey dihatimu.” Rey, aku bingung. Aku bingung. Sam mendekatkan posisi duduknya padaku dan ia lalu memelukku. Aku larut dalam pelukannya. Aku mencintainya. Tapi kenapa aku tidak yakin bisa memilikinya.
Setelah semuanya tenang, Sam mengantarkanku pulang. Kami kembali dalam diam. Sudah jam 21.30, pasti Bobby sudah tidur sekarang. Tadi Sam membelikan oleh-oleh untuknya. Nasi goreng ayam dan telur goreng. Sam memarkirkan mobilku sampai ke garasi. Sekilas kulihat mobil Sam sudah menunggunya di depan pagar rumahku.
“Aku langsung aja. Ini kunci mobil kamu. Istirahat ya. Besok aku telpon.” Sam mengusap lembut keningku. Aku menarik tangannya yang hendak membalikkan badannya untuk pulang.
“Sam. Mencintai tidak harus memiliki. Aku mencintaimu. Tapi aku rela jika tidak harus memilikimu.” Sekilas tampak senyum merekah di wajah Sam. Cerah sekali. Secerah langit malam ini yang bertaburkan bintang nan terang. Serta merta dia memelukku dan membisikkan sesuatu pada ku.
“Aku akan selalu menjagamu Sis. Dan aku janji akan memperjuangkan mu dalam keluargaku.”
“Jangan dipaksakan. Aku cukup puas telah mendapatkan cintamu.” dia berpamitan lagi setelah mengecup lembut keningku.
Mobilnya melaju dalam malam. Ketika aku membuka pintu rumah, kulihat Bobby sedang berdiri menatapku. Serta merta ia memelukku.
“Bobby belum tidur ?” ia menggeleng.
“Ini ada nasi goreng kesukaan Bobby dari om Sam.” ia menggeleng lagi dan masih memelukku erat.
“Ibu, suatu hari nanti, mungkin gak Bobby punya ayah lagi selain ayah Rey ?”
Bobby, jangan berharap terlalu banyak pada hubungan ibumu dengan om Sam, nak. Ibu menyayangimu. Kubalas pelukannya. Kugendong ia menuju meja makan. Mendudukkannya di kursi makan dan membukakan bungkusan nasi goreng di hadapannya. Kupandangi Bobby yang sekarang sedang lahap memakan nasi yang masih hangat itu. Sambil kuusap keningnya dan kuucapkan,
“Jangan sedih jika nanti semuanya tidak berjalan seperti yang Bobby mau. Ingat nak, kamu masih punya ibu disini. Kita akan kuat walau hanya berdua. Bobby mesti selalu ingat itu ya.” Bobby mengangguk.
Hari-hariku setelah kejadian malam itu berjalan seperti biasanya. Aku memang tidak ingin memanjakan diriku terlalu dalam pada Sam. Aku tidak biasa bergantung padanya. Tapi tidak juga semua tawarannya aku tolak, misalnya seperti menjemput Bobby pulang sekolah, aku mengijinkannya tapi jangan terlalu sering supaya tidak mubazir uang yang sudah aku keluarkan untuk membiayai mobil antar jemput sekolahnya. Dia juga minta ijin untuk datang setiap malam minggu dan mengajak kami keluar makan malam. Alhasil perasaan ku saat ini semakin kuat padanya.
Tapi sudah dua minggu ini dia jarang muncul di rumah. Telepon pun jarang. Entah kenapa. Hari ini, Rabu, bertepatan dengan hari ulang tahun Rey. Sebenarnya Bobby hendak mengajak Sam ke makam Rey, tapi sejak pagi handphone nya tidak aktif, kata orang kantor juga sudah dua hari ini dia tidak masuk kerja, menurut sumber di kantornya salah satu anggota keluarganya ada yang sakit dan mengharuskan ia untuk cuti sampai dengan empat hari kedepan.
“Sudahlah Bob. Kita pergi berdua aja ya. Ayah sudah nunggu tuh.” Bobby masih kekeuh mencoba menghubungi Sam lewat HP ku.
“Kira-kira om Sam kemana ya bu ?”
“Kamu kangen sama dia?” aku memeluknya dari belakang. Bobby mengangguk.
“Ibu juga. Tapi ayah Rey pasti juga kangen sama kita berdua, jadi ayo berangkat sekarang.” Bobby mengeluarkan semua buku-buku sekolahnya di atas meja dan mengganti isi tas nya dengan tempat minum dan sedikit snack yang sudah aku sediakan sejak semalam. Dia tidak bersemangat seperti biasanya.
“Mungkin sekarang om Sam lagi sibuk berat. Jadi gak bisa menemui kita.”
“Iya Bobby ngerti kok. Ayo bu kita berangkat sekarang, keburu ayah marah sama kita.” Bobby menggandeng tanganku.
Sore ini awan agak mendung. Semoga tidak hujan. Tapi aku tetap membawa payung hanya untuk jaga-jaga. Mobil meluncur ke makam Rey.
Di depan pusara Rey, Bobby memanjatkan doa lebih lama dari biasanya. Entah apa yang ia sampaikan pada Rey, hanya saja bibir kecil itu tak henti-hentinya berkomat-kamit. Kembali aku menatap pusara Rey.
Rey, entah kenapa sekarang aku lebih ringan menjalankan hidup. Apakah itu karena aku telah mengikhlaskan kepergianmu atau karena aku telah menemukan sosok lain dalam hatiku. Maafkan aku jika ini akan membuatmu sakit hati. Sam. Iya Sam, pacar lamaku. Kini datang lagi dan mulai mengisi hatiku yang telah lama kosong. Aku merindukan mu Rey.
Dengan Sam aku merasa senang, enjoy, bahagia, walaupun belum ada garansi ia akan bersamaku untuk selamanya. Bukan, bukan aku yang menutup diri. Tapi aku hanya sadar diri. Jika semuanya tidak berjalan seperti yang kami harapkan insyaallah aku akan ikhlas. Kamu tau Rey, aku ingin lagi punya seseorang yang bisa menjaga aku dan Bobby siang dan malam. Aku ingin lagi ada seseorang yang merawat dan menyayangi rumah kita. Seperti yang dulu pernah aku punya bersamamu. Tapi aku gak bisa muluk-muluk. Siapa aku.
Bobby sepertinya juga sayang sama Sam. Kami sering jalan bareng bertiga. Rasanya seperti yang dulu lagi Rey. Hanya saja Sam yang ada disisi kami, bukan kamu. Tapi aku yakin kamu disana juga akan bahagia jika melihat kami disini bahagia. Iya kan ?
Jika Tuhan mengijinkan semuanya tetap berjalan baik seperti sekarang ini tidak heran jika Sam akan menikahiku Rey. Apa kau ikhlas aku pergi dengan orang lain ? Tapi jika semua ini harus berhenti di tengah jalan aku mohon bantulah aku untuk menata hati ini kembali, juga hati Bobby, anak kita. Aku tidak ingin dia sedih, sudah cukup ia sedih kala kau meninggalkannya. Akankah air mata ini tidak akan menetes lagi di kemudian hari ? Aku tidak tahu Rey. Aku tidak tahu. Tapi yang aku tahu, kamu akan dukung aku. Iya kan Rey ? Semangat Sis, semangat ! Itu yang selalu kamu ucapkan untukku. Terima kasih Rey.
Hujan deras menemani perjalanan pulang kami.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda