Jumat, 20 Februari 2009

Parcel.......special request

Sebenarnya buat membuat parcel bukan pertama kali buat Wira Babyshop. Cuma parcel inilah yang baru bisa ke foto. Parcel ini dibuat khusus untuk pelanggan yang khusus pula yaitu temen-temen kantor yang terkasih. Uang terkumpul & mereka langsung kasih kepercayaan aku untuk buatkan kado special untuk rekan accounting yang abis punya baby cowok.
Hasilnya seperti ini.......gak mengecewakan kan ? tinggal dibungkus & diangkut ke kantor..





Selamanya Cinta Part 6

Me vs her


“Sis, udah denger berita gembira ?” ujar Asty di suatu pagi. Saking buru-buru hendak ke mejaku dia sampai lupa meletakkan tas nya dulu.

“Berita apa'an ?”

“Presentasi Yuke kemarin kan goal, jadi kita semua akan pergi ke Bandungan untuk orientasi tempat dan liburan.”

“Jadi Yuke berhasil. Kamu tahu darimana ? Kok aku pimpinannya belum dikasih tahu sih. Panggilin Yuke dong.” Asty teriak-teriak panggil nama Yuke.

“Iya mbak ?” Yuke membalas panggilan Asty. Ia tampak berjalan tergopoh-gopoh sambil membawa beberapa file dalam map .

“Gimana semalam ? Kata Asty goal ya?”

“Iya mbak, maaf saya belum sempet kasih tau karena pak Choy minta saya untuk siapkan berkasnya segera karena dia sudah booking vila untuk kita orientasi disana.”

“Baiklah kalo begitu siapkan saja semuanya dan aku perintahkan kamu dan Edo yang berangkat. By the way baik sekali pak Choy sampe siapin vila segala.”

“Karena yang akan berangkat kesana bukan hanya Yuke dan Edo, non.” sela Asty. Aku pasang tampang bego. Asty menyuruh Yuke untuk bercerita.

“Iya mbak. Pak Choy minta divisi kita untuk berlibur kesana. Karena beliau tahu kalo mbak Sisca yang buat demo ini jadi dia ingin kita semuanya untuk merasakan kebahagiaan yang pak Choy rasakan.”

“Tapi harus digaris bawahi Sis, hanya divisi kita, jadi tidak bawa suami atau istri dan anak.” lanjut Asty. Aku mempersilahkan Yuke untuk kembali ke tempatnya. Sekarang tinggal aku dan Asty. Berdua.

“Gak mungkin aku lakukan itu As. Mana mungkin kubiarkan Bobby sendirian sedangkan ibu nya senang-senang di Bandungan.”

“Kan cuma 2 malam Sis. Lagian kan bukan hari liburan sekolah, masak kamu gak kasihan sama Bobby kalo harus bolos sekolah?”

“Lagian kamu kok seneng banget sih, padahal kan kamu gak bisa bawa mas Pri mu?”

“Mas Pri akan susul aku di akhir minggu. Jadi bulan madu sekalian deh dan kangen terobati sudah.” senyum Asty mengembang.

“Dasar kamu.”

“Ayolah Sis. Masak kamu tega sama kami, karyawanmu. Sini. Lihat. Mereka udah kerja jungkir balik untuk kejayaan perusahaan ini siang dan malam. Nah sekarang ada kesempatan refreshing gratis kok ditolak.” Asty membawaku melihat suasana di ruang kerja anak buahku. Mereka sedang sibuk-sibuknya karena biasanya di akhir tahun seperti ini banyak order dari beberapa orang atau perusahaan untuk pembuatan event akhir tahun.

“Aku perlu discuss masalah ini sama Bobby.”

“OK aku tunggu kabarnya ya.”

Tak lama kemudian, pak Choy dari Amartapura menelpon ku di ruangan. Dia membujukku untuk menerima niat baiknya itu yang telah aku dengar duluan dari Yuke dan Asty. Sebenarnya enggan untuk menolak, karena perusahaan pak Choy adalah pelanggan tetap jasa kami. Seperti yang aku janjikan pada Asty, aku akan membicarakan ini dengan keluargaku dulu. Pak Choy tahu aku sudah punya anak dan dia memintaku untuk membawanya serta. Tapi sekali lagi, dengan halus aku katakan akan mempertimbangkannya lagi. Sekali lagi aku harus berpikir keras, karena aku yakin anak-anak di divisi promosi pasti sudah mendengarnya dan tinggal keputusanku sebagai atasannya yang mereka tunggu. Akhirnya kuputuskan siang ini untuk meeting karena mengingat undangan ke bandungan itu tidak lama lagi. Aku harus tahu isi hati setiap anak buahku.

Ruang meeting sudah disiapkan oleh Allen sejak sebelum makan siang. Dan sekarang jam sudah menunjukkan pukul 2 siang. Meeting aku mulai.

“Saya kumpulkan kalian disini sehubungan dengan hasil kerja team kita yang sudah goal semalam di PT. Amartapura. Mari kita beri selamat untuk team promosi, khususnya Edo dan Yuke.” tepuk tangan riuh membahana di ruang meeting berukuran 4x4m ini.

“Terima kasih atas kerja keras kalian selama ini dan yang telah jatuh bangun mendampingi saya memajukan perusahaan tercinta kita ini.” lanjutku.

“Tadi pagi saya ditelpon langsung oleh pendiri Amartapura. Beliau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena kita sudah membantu nya selama ini. Dan selain itu, beliau juga menawarkan sesuatu yang saya yakin kalian sudah dengar beritanya. Ya, pak Choy menawarkan vilanya di bandungan untuk tempat kita liburan sekaligus orientasi tempat. Makanya saya kumpulkan kalian disini, supaya saya tau seberapa besar minat kalian untuk menerima tawaran pak Choy ini selain mengingat waktunya yang sudah dekat dan pada liburan ini kita tidak bisa membawa serta anggota keluarga yang kita cintai. Nah, sekarang waktunya kalian bicara disini.” mereka malah saling berbisik.

“Maaf sebelumnya mbak. Kalau saja kita semua disini setuju untuk ke puncak apakah gak papa dengan HRD dan divisi yang lain?” ujar Retno.

“Saya yang akan bicarakan ini ke atas nantinya. Tapi sebelumnya saya harus tahu komentar kalian dulu.”

“Ehm...Ehm...kalo saya sih setuju-setuju saja, itung-itung ini sebagai hasil kerja keras kita selama ini untuk Amartapura.” sela Asty.

“Yang lain?” tawarku.

“Maaf mbak. Berhubung kita dengarnya juga baru tadi pagi maka kami minta ijin satu hari saja untuk membicarakan dulu ke keluarga kami. Baru besok pagi kami akan kabarkan ke mbak Sisca.” ujar Susy.

“Iya, ide yang bagus. Kalo gitu besok pagi saya tunggu kabarnya. Gak usah ketemu saya langsung, cukup email japri ke saya.” kelihatannya semua manggut-manggut tanda setuju.

“OK cukup sekian meeting kali ini. Kita lanjutkan pekerjaan kita. Terima kasih.” aku menutup rapat.


“Jadi ibu mau orion...eh....oronasi....bukan ding...apasih tadi bu?” ujar Bobby.

“Orientasi kerja nak.”

“Iya, maksud Bobby juga gitu. Ibu mau rontasi kerja ke Bandungan ?” aku geli melihat nya kesusahan mengeja.

“Tapi itu kalo Bobby gak keberatan.” Bobby menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengibaskan garpu di tangan kanannya. Mulutnya penuh. Kalo makan mie Bobby hanya memegang garpu, sendok tidak pernah diajaknya.

“Bobby gak papa kok. Lagian kan Bobby harus sekolah. Sayang kan ibu udah bayar sekolah Bobby mahal-mahal eh Bobby nya doyan bolos.”

“Yakin nih ?” kali ini dia mengangguk.

“Udah ibu berangkat aja. Bobby akan aman-aman aja di rumah eyang.” anakku udah makin besar.

“Minta oleh-oleh apa?”

“Apa aja terserah ibu.” kukecup kening anak tercintaku.


Setelah ku cek japri yang masuk hari ini. Aku lalu bergegas ke HRD. Kulihat pak Pram sedang asyik membalas email yang masuk. Setelah ia mempersilahkanku duduk aku mulai membicarakan maksud dan tujuanku menghadapnya. Mulanya ia agak keberatan mendengar permintaanku yang memang kesannya sangat mendadak. Tapi ia berjanji akan menanyakan hal ini pada Bu Silvi, bos besar di Green Miles. Tapi segera ia urungkan niatnya itu dan malah mengajakku berdua dengannya menghadap bu Silvi langsung yang kebetulan hari itu datang ke kantor, karena biasanya ia lebih sering berada di luar negeri mengobati sakit kanker yang sudah belasan tahun mengidap di rahimnya.

Bu Silvi, wanita setengah baya yang menggunakan kerudung di kesehariannya itu dengan ramah memintaku dan pak Pram masuk dan duduk di sofa besar di dalam ruangannya. Pak pram mempersilahkanku untuk mengutarakan maksud dan tujuanku menemui beliau.

“Saya rasa divisi promosi memang berhak menerima tawaran ini, karena Amartapura tidak akan setia dengan kita jika divisi promosi tidak mengerjakan tugasnya dengan baik. Hitung-hitung refreshing kan bu Sisca ?” ujar bu Silvi lembut. Aku hanya tersenyum.

“Saya ijinkan. Dan pak Pram tolong buatkan surat resmi untuk divisi promosi berangkat kesana.”

“Baik bu.” pak Pram menuruti perintah atasannya.

Setelah keluar dari ruangan bu Silvi aku bergegas menuju ke ruang divisi promosi. Disana anak-anak sudah harap-harap cemas menantiku.

“Mohon perhatiannya sebentar.” sst...sst....ruangan kembali tenang.

“Saya sudah menghadap atasan dan beliau....................sangat mengijinkan kita untuk berangkat ke bandungan lusa.” hore...sorak sorai riuh terdengar.

“Siapkan segalanya karena tujuan kita selain refreshing adalah bekerja, jadi Yuke dan Edo tetap di posisinya sebagai orientator, dan yang lainnya bisa membantu segala kesiapan yang lain. Semoga perjalanan kita akan selamat dan...............have fun.” aku berjalan meninggalkan mereka tapi di belakang kembali terdengar riuh sorak sorai anak buahku.

Mereka senang dan seharusnya aku ikut senang dan ikhlas meninggalkan Bobby bersama mama dan papa di Semarang.


Untuk beberapa saat saja aku bisa merasakan kebahagiaan bersama Sisca dan Bobby. Tapi disudut duniaku yang lain ada seseorang yang sedang merana diatas kebahagiaanku. Mama. Ya mama sakit keras setelah tahu dari sumber yang entah papa sewa dari mana, mengatakan bahwa aku dekat lagi dengan Sisca. Aku tidak tau mesti gimana. Tapi satu yang pasti mama sekarang sedang membutuhkanku. Kata Felo, adikku, dalam setiap tidurnya ia menyebut-nyebut namaku. Jadi untuk sementara aku tidak bisa bertemu dengan Sisca, dan sepertinya juga aku tidak bisa mengabarkan ini padanya. Aku tidak tahu harus bilang apa padanya. Aku bingung. Dilema.

Selama seminggu mama tidak bisa turun dari tempat tidur. Badannya lemah, ucapannya ngaco. Sedikitpun dia tidak bisa jauh dari ku. Jadi akupun tidak bisa masuk kerja. Kata dokter, mama depresi berat. Obatnya hanyalah ditemani terus oleh orang yang telah membuatnya begini, yaitu aku.

Tapi aku bersyukur hari ini mama sudah mau di terapi berjalan. Sebenarnya tidak susah, buktinya dua hari ini sudah ada kemajuan yang drastis pada kesehatan mama. Ia sudah mampu jalan sendiri walaupun menggunakan bantuan kruk. Semangat mama untuk sembuh sangat besar, karena kata mama sendiri, dia harus sembuh supaya bisa melihat anak-anaknya bahagia.

Dokter Ben, dokter keluarga kami, menyarankan mama untuk pergi berlibur supaya mendapatkan angin segar dan suasana yang baru. Papa menyarankan agar kami semua pergi ke bandungan akhir minggu ini. Sebenarnya ini lebih mirip suatu perintah, karena tidak ada permintaan persetujuan dari yang lainnya. Aku turuti kemauan papa.

Sehari sebelum keberangkataku ke bandungan aku bermaksud untuk menghubungi Sisca di HP, tapi tidak berhasil. Mungkin tidak ada sinyal. Kucoba menghubungi rumah karena biasanya malam minggu begini Sisca dan Bobby akan ngumpul di ruang tengah sambil menikmati VCD yang baru Sisca sewa di rental. Tapi hasilnya nihil juga. Tidak ada yang mengangkat. Dimana mereka. Kembali kupencet nomer Sisca. Tiba-tiba ada yang menggapai tanganku. Mama.

“Sam. Terima kasih kamu sudah memberi semangat pada mama untuk sembuh.”

“Bukannya mama memang harus sembuh.” ia tersenyum. Akupun tersenyum. Kerut di wajahnya sudah semakin terlihat jelas. Mama sudah tua.

“Mama mohon nak, jangan kau buat mama begini lagi. Mama gak pengen denger kabar yang menyakitkan hati mama lagi.” sepertinya sekarang bukan waktunya untuk berdebat. Mama akan tambah sakit. Aku hanya bisa menundukkan kepala. Keputusan yang sangat berat untuk dijalankan. Aku gak mungkin bisa untuk tidak bertemu dengan Sisca. Sisca adalah cintaku. Saat ini yang bisa aku lakukan hanyalah berusaha menjadi anak yang baik dan penurut. Mama harus sembuh dulu baru aku bisa memperbaiki hubunganku dengan Sisca di mata orangtuaku.


Aku tidak sempat me-recharge HP ku semalam. Makanya siang ini HP ku sudah tidak bisa bertahan hidup lagi. Padahal aku sedang jalan-jalan dengan Asty melihat-lihat di kebun teh nan luas ini. Semoga Bobby akan menelepon HP Asty jika ada apa-apa. Ini sudah hari kedua aku di bandungan. Malam ini pak Choy akan datang kesini dan mengundang kami untuk makan malam di restaurant. Karena besok pagi kami sudah harus cabut dari villa nya maka sore nanti kami gunakan untuk berbenah supaya nanti malam atau besok pagi tidak terburu-buru. Untuk masalah belanja sudah kami lakukan di hari pertama ketika sampai di sini. Semalam kami juga sudah melakukan orientasi kerja, maka pagi hingga sore ini adalah hari bebas sedunia. Mau ngobrol, main, berbenah, semuanya kami lakukan bersama-sama.

Besok Asty minta di jemput oleh suaminya, karena katanya mereka akan melanjutkan untuk menginap semalam lagi di tempat yang lain. Sebenarnya aku juga ingin Bobby bisa menyusulku disini, tapi aku tidak mungkin merepotkan kedua orangtuaku untuk mengantarnya jauh-jauh ke tempat ini. Ya sudahlah, yang penting kemarin sudah aku belikan oleh-oleh khas untuk mereka.

Hari cepat berganti malam. Aku yang mendapat kamar sekamar dengan Asty memutuskan untuk mandi lebih dulu. Kulirik batre di HP sudah full, aku copot kabelnya dan kuputuskan untuk sebentar menelpon Bobby, aku kangen dengan suara kecilnya. Selama kabar yang ia sampaikan tidak ada yang mengkhawatirkan aku merasa tenang untuk melalui malam ini tanpa dia disampingku.

Undangan dari pak Choy kami penuhi tepat waktu. Jam 19.30 kami sudah sampai di restaurant yang dipilihkan pak Choy untuk kami. Semua makanan yang ditawarkan adalah serba seafood. Pak Choy menawarkan pada kami untuk memesan lebih dulu, dan teman-teman mempercayakan pada ku untuk memilihkan menu sebagai santapan malam ini. Asal komplit pasti mereka tidak akan protes. Beberapa menit kemudian pesanan kami sudah mulai dihidangkan. Dan kami larut dalam menu yang menumbuhkan selera makan itu.

“Maaf saya permisi ke rest room sebentar.” pamitku pada yang lain, sesaat setelah acara santap menyantap selesai.

“Saya permisi juga, mau menerima telpon ini.” ujar Asty. Asty mengikutiku sampai ke rest room.

“Sis ntar kembali ke mejanya bareng ya.” bisik Asty sambil memegang HP

“Siip lah.” bersamaan itu aku membuka pintu utama toilet. Dan tidak kusengaja pintu itu menyenggol kursi roda seorang wanita yang hendak keluar dari toilet.

“Maaf.” spontan aku menunduk karena salah.

“Sisca ?” ujar wanita setengah baya itu. Aku mulai memberanikan diri untuk mengangkat kepalaku kembali.

“Tante Edis ?” lama untukku bisa mengingat nya karena setahuku sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan beliau. Tepatnya setelah aku putus dari Sam. Ia melirik ke arah wanita muda yang dengan setia mendorong kursi rodanya itu.

“Gimana kabar kamu ?”

“Baik tante. Tante sendiri bagaimana ?”

“Seperti yang kamu lihat, tulang tua ini sudah tidak bisa diajak kompromi lagi.” sembari ia menepuk-nepuk kakinya. Aku hanya bisa tersenyum tipis.

“O iya kenalkan, ini Tia.” gadis itu mengangguk padaku sambil tersenyum. Aku pun membalas senyumannya.

“Tia ini calon istri Sam.” mendadak petir seperti menyambar di dalam ruang toilet ini. Aku tidak siap dengan semua ini. Berita ini sangat mengejutkanku. Aku bingung harus sedih atau bahagia untuk gadis itu.

“E...Ma...maaf tante. Saya tidak bisa meninggalkan meja lama-lama.” kuurungkan niatku untuk ke toilet yang sudah di depan mata.

“Kok gak jadi ke toilet.” tanya tante Edis.

“Saya hanya ingin menata makeup saja, tapi sepertinya tidak ada yang kurang.” sambil kupegang-pegang wajahku sebagai penekanan.

“Permisi.” Asty yang melihatku setengah berlari keluar dari rest room berusaha mengikutiku dari belakang. Aku dan Asty duduk kembali ke tempat semula.

“Ada apa ?” bisik Asty padaku. Aku hanya bisa menggeleng lemah.

Aku banyak diam malam ini. Aku tidak bisa menikmati hidangan yang masih juga bergulir. Ada buah, puding, es krim, dan yang terakhir salad. Seandainya aku bisa lari dari tempat ini mungkin sudah aku lakukan dari tadi. Aku ingin menangis.

Sesekali kulemparkan pandangan ke seluruh isi restaurant. Tapi dimana Sam ? Apakah ada ruang private lain di restaurant ini yang aku tidak tahu ? Sekali lagi ku lebarkan mata. Akhirnya kutemukan juga. Memang agak jauh letaknya. Meja kami sangat berjauhan. Tapi aku berhasil menemukan sosok Sam. Komplit dengan keluarga besarnya. Ada acara apa gerangan. Apakah ada hubungannya dengan gadis tadi ? Apakah makan malam mereka ini untuk dia dan Sam ? Beberapa pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku. Tak kusangka Asty mengikuti arah pandangku. Dia sama kagetnya denganku, melihat Sam ada diujung sana.

“Ngapain dia disini ?” bisik Asty lagi. Untung teman-teman yang lain sedang ribut sendiri-sendiri jadi kami terhiraukan. Lagi-lagi aku hanya bisa menggeleng. Asty gemes.

“Maaf pak Choy dan teman-teman semuanya, jika tidak keberatan saya ingin meninggalkan tempat ini lebih dulu karena tiba-tiba saya agak kurang enak badan.” pamitku pada pak Choy dan semuanya.

“Oh gak papa kok bu Sisca. Silahkan. Lagian kita emang udah selesai kan?” pak Choy meminta persetujuan teman-teman yang lain. Dan mereka semua kompak mengangguk.

“Kalo gitu saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada pak Choy and company atas liburan yang menyenangkan ini, dan harapan kami semoga kerjasama kita akan tetep langgeng ya pak?” lanjutku. Pak Choy mengangguk-anggukkan kepalanya.

Setelah berpamitan kami pun bersama-sama menuju pintu utama restaurant. Tiba-tiba tanganku dipegang oleh seseorang dari belakang. Ternyata Sam juga sudah mengetahui keberadaanku di tempat ini.

“Lepaskan Sam!”

“Aku bisa jelaskan semua ini.” aku menggeleng.

“Ijinkan aku untuk menjelaskan ini Sis.” Ulang Sam.

“Ayo As kita pulang.” tanpa kulihat wajah Sam. Asty jadi serba salah.

“Ayo As !” seruku. Tapi Asti bergeming.

“Sebaiknya kalian selesaikan ini dulu. Aku bisa pulang bareng anak-anak.” ujar Asty dan kemudian ia berlalu.

Sam masih memegang tanganku. Aku lepaskan dengan paksa dan aku berlari keluar area restaurant dengan jalan kaki. Sam membuntutiku.

“Sisca kita perlu bicara.” aku tak menoleh.

“Sisca !” teriaknya. Kuhentikan langkahku.

“Semua ini tidak bisa aku tolak. Mama menjadi seperti yang kamu lihat sekarang karena aku. Setidaknya ijinkan aku untuk melihat mamaku sehat dulu baru aku akan membawamu ke keluargaku.” dengan cepat aku menolehkan mukaku. Mata kami bertemu. Mataku sudah basah sejak keluar dari restaurant tadi.

“Untuk apa kamu bawa aku kesana hah ?”

“Ya untuk....” sebelum ia selesai menuntaskan kalimatnya aku potong dulu.

“Tia mau kamu kemanakan Sam ?”

“Apa ? Tia itu bukan.... darimana kamu kenal Tia.” kududuk di kursi taman yang tidak jauh dari situ. Tiba-tiba kaki ini merasa letih, tak ada daya untuk melangkah.

“Gak perlu kamu tahu aku kenal dia dari mana dan siapa. Tapi aku sudah tau kalo dia adalah calon istrimu.” aku masih berusaha tenang. Sam berusaha memotong kalimatku.

“Kalopun kamu tidak setuju dengan itu aku yakin pasti keluargamu setuju.” lanjutku. Sam menunduk.

“Mungkin kesembuhan mamamu ada hubungannya dengan itu Sam. Dewasalah, jadilah anak yang baik bagi kedua orangtuamu.” saran yang sebenarnya membuat hatiku sendiri miris. Disaat aku mulai membangun benih-benih cinta untuknya semua ini terjadi. Tapi di dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku harus bersyukur pada Tuhan karena hubungan yang aku bina dengan Sam belumlah terlalu jauh melangkah.

“Tapi Sis.”

“Jadi anda Sisca teman lama Sam ?” tiba-tiba Tia muncul.

“Sejujurnya jika aku tau ini dari awal aku gak akan mau dijodohkan dengannya.” lanjut Tia.

“Aku juga pernah merasakan punya mantan. Tapi kalo kita sampai ingin kembali lagi berarti cinta mereka sebenarnya lebih kuat dari yang dulu. Iya kan?” Tia meminta persetujuan kami.

“Jangan bodoh. Cinta akan bicara lain jika ada sesuatu yang mengikuti di belakangnya.” ujar ku.

“Maksudmu orang tua ?” kata Tia.

“Mau orang tua, saudara atau apa dan siapapun kita gak akan pernah tau. Tapi aku sudah pasrah sejak awal. Jika semua ini tidak bisa berjalan seperti yang kita mau ya mau diapakan lagi ?” lanjutku.

“Sam, jika kita memang tidak bisa bersama aku sudah pasrah kok. Kamu ingat dulu aku pernah bilang apa sama kamu, kamu tuh cuma buang-buang waktu aja sama aku. Dan aku yakin orang tuamu sudah mencarikan jodoh yang terbaik untukmu. Aku dan Bobby sudah siap. Jadi sekarang bukan tangan ini yang akan kamu pilih tapi ini.” aku berikan tangan Sam pada Tia.

“Bahagialah. Karena aku dan Bobby akan bahagia jika melihat kau bahagia.” aku membalikkan badan dan mencegat taksi yang lewat. Kutinggalkan mereka yang masih terpana. Taksi mulai melaju dan akupun menangis.

Asty sudah menanti ku dengan harap-harap cemas. Dia langsung menggandeng tanganku menuju kamar. Aku menangis dalam pelukannya. Malam kelabu.


“Ibu !” itu suara Bobby, aku segera menoleh ke arah suara itu. Dia berlari dan hendak merangkulku.

“Sayang.” aku memeluknya erat. Kulihat mama dan papa sedang menyapa Asty. Pasti Asty yang meminta mereka untuk menjemputku di vila.

“Mama.” bergantian kupeluk mama.

“Sabar ya nak.” aku mengangguk.

“Papa.” kukecup halus punggung tangan yang sudah mulai keriput itu.

“Ma kasih ya mama-papa sudah susah-susah kesini.”

“Untuk anak mama yang paling cantik kenapa tidak, ya pa.” mama meminta persetujuan papa. Papa mengangguk pasti.

“Jadi ibu pulang bareng kita kan ?” tanya Bobby.

“Iya dong sayang.”

“Besok kita ke makam ayah ya bu.”

“Besok kan senin ? Kenapa gak jumat aja seperti biasanya ?”

“Semalam aku mimpi'in ayah. Bobby kangen ayah.” tiba-tiba aku meneteskan air mata. Serta merta kupeluk Bobby.

“Maafkan ibu nak, maafkan ibu.”

“Bobby sudah cukup senang kok punya ibu. Semangat bu, semangat !”

Ya Tuhan. Tegarkan lah kami.


Senin sore di pusara Rey.

Hai lagi Rey. Sepertinya semua tidak berjalan seperti yang aku harapkan. Sekarang aku sendiri lagi. Ya aku sedih, Bobby juga. Tapi karena kau, kami tidak akan amat sangat terpuruk. Semangat Sis, semangat ! Aku yakin Bobby akan belajar dari pengalaman ini. Aku ingin dia menjadi anak yang tegar, Rey. Kamu sudah janji sama aku akan menata kembali hati yang sakit ini kan Rey? Aku tunggu ya obat dari kamu.


“Kamu datang Rey ?”

“Ini untuk istriku yang paling aku cintai.”

“Wow rose. Kamu masih ingat aja hadiah favoritku.”

“Ini obat pemberi semangat dari ku. Jangan sedih lagi ya.”

“Ma kasih Rey.”

“Jaga anak kita ya. Dia memang masih kecil tapi pengalaman hidupnya akan menjadikannya dewasa.”

“Iya. Aku sayang sekali dengannya.”

“Baik-baik ya sayang.”

Aku terbangun dari tidurku. Mimpi ini sudah berakhir. Tapi kenapa bunga mawar ini benar-benar nyata. Dari mana datangnya ?

“Pagi Sis.”

“Mama ?” sosok mama di kamarku ini mengagetkanku.

“Cantik kan bunganya ?” aku mengangguk.

“Itu Bobby yang siapkan untukmu.”

“Hah ?” aku kaget.

“Selamat ulang tahun ya nak.” jadi, hari ini ulang tahunku ?

“Ma kasih ma. Mana Bobby?”

“Dia lagi ribet di ruang makan, katanya mau siapkan cake cantik untukmu.” aku bergegas hendak keluar dari kamar.

“Eit, mau kemana?”

“Keluar?”

“Bobby minta ibunya mandi dulu kalo mau keluar kamar. Sana gih.” aku tersenyum kecut. Dasar anak kecil.

Ternyata hari ini keluargaku mengadakan pesta kecil untukku di rumah. Bobby mengaku menjebol uang celengannya untuk membelikanku bunga mawar dan bahan roti di minimarket dekat sekolahnya. Hari ini aku bahagia sekali. Untuk pertama kalinya sejak kejadian bandungan itu aku bisa tersenyum lagi. Terima kasih ya Tuhan. Terima kasih Rey. Terima kasih anakku.


Aku sedih. Mama dan papa sudah terlampau jauh mencampuri urusan pribadiku. Aku sudah memenuhi permintaan mereka ke bandungan dalam rangka demi kesehatan mama, tapi apa yang mereka lakukan padaku. Mereka mengundang Tia juga di hari terakhir kami di sana.

“Sam, mama pengen kamu akrab dengan Tia. Jadi mama bawa serta ia kesini.”

“Untuk apa?”

“Siapa tau kalian bisa memenuhi apa yang mama dan papa inginkan?”

“Mama ingin aku menikah dengannya?” mama hanya tersenyum.

“Kalaupun masih nanti-nanti, tapi setidaknya kalian penjajagan dulu. Iya kan?”

“Ma, berapa kali lagi sih Sam harus jelaskan ke mama. Sam gak bisa.” mama pasang muka sedih. Aku mendesah.

“Ya udah sekarang mau mama apa?” wajahnya kembali tersenyum. Mama seperti anak kecil aja yang bisa langsung tersenyum jika keinginannya terpenuhi. Mama menyampaikan isi hatinya padaku. Dengan berat hati aku jalankan keinginan mama. Hanya untuk malam ini. Hanya malam ini.

Restaurant yang papa pesan adalah restaurant seafood. Sebenarnya aku suka seafood hanya saja aku jadi kurang minat makan malam ini. Kulihat Tia bisa membawa diri dalam keluargaku. Dia bisa cepat akrab dengan semuanya yang ada disini. Aku yakin Sisca pasti juga bisa melakukan hal yang sama jika diberi kesempatan yang adil.

“Kok makannya cuma dikit? Gak kayak yang waktu di pesta tante Felice dulu.” canda Tia.

“Udah kenyang.” ujarku, singkat.

“Wah sayang ya, padahal aku pesankan makanan kesukaanmu di akhir hidangan nanti.”

“Emang kamu tau apa tentang aku.” Aku berusaha tidak terlalu keras padanya. Karena aku yakin dia juga hanya korban disini, sama denganku.

“Tia, bisa antar tante ke toilet sebentar?” potong mama.

“Mama nih manja ya sama calon mantu ?” seloroh papa. Tia hanya tersenyum.

“Mari tante, Tia antar. Permisi sebentar ya om, Sam.” pamit Tia sembari mendorong kursi roda mama menuju toilet wanita.

Setelah mereka berlalu, papa mulai memprotes tingkah laku ku.

“Jangan kaku-kaku amat dong Sam.” papa merajukku. Aku hanya bisa melenguh.

Tidak lama kemudian mama dan Tia sudah kembali ke meja makan. Kami pun melanjutkan obrolan yang penuh basa basi ini.

“Tadi mama bertemu dengan seseorang yang dia kenal di toilet.” bisik Tia padaku, tiba-tiba.

“Siapa ?” aku agak terkejut dengan berita ini, karena Tia sampe berbisik segala.

“Katanya namanya Sis....Sisca. Ya Sisca.” aku memandang lekat wajah Tia. Lalu....

“Ma, pa aku permisi sebentar.” tanpa menunggu lagi aku segera mencari keberadaan Sisca. Dan akhirnya aku menemukan dia di pintu utama setelah aku putari restaurant yang cukup luas ini. Segera kugapai tangan Sisca dari belakang.

“Lepaskan Sam.” ujarnya kaget.

“Aku bisa jelaskan semua ini.” dia hanya menggeleng.

“Ijinkan aku untuk menjelaskan ini Sis.”

“Ayo As kita pulang.” ujar Sisca pada Asty.

“Ayo As !” serunya. Tapi Asti bergeming.

“Sebaiknya kalian selesaikan ini dulu. Aku bisa pulang bareng anak-anak.” ujar Asty sambil berlalu. Dan aku masih memegang tangan Sisca. Dia lalu melepas paksa tanganku dan berlari keluar area restaurant. Aku mengikutinya.

“Sisca kita perlu bicara.” seruku.

“Sisca !” dihentikannya langkahnya.

“Semua ini tidak bisa aku tolak. Mama menjadi seperti yang kamu lihat sekarang karena aku. Setidaknya ijinkan aku untuk melihat mamaku sehat dulu baru aku akan membawamu ke keluargaku.” dengan cepat ia mengalihkan pandangannya padaku. Matanya basah dengan air mata.

“Untuk apa kamu bawa aku kesana hah ?” serunya.

“Ya untuk....” sebelum aku selesai menuntaskan kalimat itu dia sudah memotongnya lebih dulu.

“Tia mau kamu kemanakan Sam ?”

“Apa ? Tia itu bukan.... darimana kamu kenal Tia.” ia duduk di kursi taman yang tidak jauh dari situ. Perasaan, Tia tadi tidak cerita kalau ia juga sempat berkenalan dengan Sisca.

“Gak perlu kamu tau aku kenal dari mana dan siapa. Tapi aku sudah tau kalo dia adalah calon istrimu.” aku berusaha memotong kalimatnya.

“Kalopun kamu tidak setuju dengan itu aku yakin pasti keluargamu setuju.” aku hanya bisa menunduk.

“Mungkin kesembuhan mamamu ada hubungannya dengan itu Sam. Dewasalah, jadilah anak yang baik bagi kedua orangtuamu.” aku tidak bisa melihat keikhlasan pada kalimat itu.

“Tapi Sis.”

“Jadi anda Sisca teman lama Sam ?” tiba-tiba Tia muncul. Sejak kapan ia berdiri di situ.

“Sejujurnya jika aku tau ini dari awal aku gak akan mau dijodohkan dengannya Sis.” lanjut Tia.

“Aku juga pernah merasakan punya mantan. Tapi kalo sampai kita ingin kembali lagi berarti cinta mereka sebenarnya lebih kuat dari yang dulu. Iya kan?” Tia meminta persetujuan kami.

“Jangan bodoh. Cinta akan bicara lain jika ada sesuatu yang mengikuti di belakangnya.” ujar Sisca.

“Maksudmu orang tua ?” kata Tia.

“Mau orang tua, saudara atau apa dan siapapun kita gak akan pernah tau. Tapi aku sudah pasrah sejak awal. Jika semua ini tidak bisa berjalan seperti yang kita mau ya mau diapakan lagi ?” lanjut Sisca.

“Sam, jika kita memang tidak bisa bersama aku sudah pasrah kok. Kamu ingat dulu aku pernah bilang sama kamu, kamu tuh cuma buang-buang waktu aja sama aku. Dan aku yakin orang tuamu sudah mencarikan jodoh yang terbaik untukmu. Aku dan Bobby sudah siap. Jadi sekarang bukan tangan ini yang akan kamu pilih tapi ini.” Sisca memberikan tangan ku pada Tia.

“Bahagialah. Karena aku dan Bobby akan bahagia jika melihat kau bahagia.” Sisca berlalu.

Aku benar-benar dibuatnya mati kutu. Aku tidak tau harus bagaimana. Aku memang lelaki lemah, tak tahu diri dan jahat. Aku tidak menjaga hati wanita yang aku cintai. Malah aku biarkan ia pergi seorang diri. Aku menangis. Ya aku menangis. Tia menawarkan tisu padaku. Apa yang harus aku lakukan, ya Tuhan ?!


“Ini kan yang mama dan papa mau? Puas kalian melihat aku begini?” seruku pada orang tuaku setelah kami sampai di vila.

“Sam, mama tidak bermaksud....” aku potong kalimat mama.

“Mama jangan bohong, Tia sudah cerita semuanya ke aku. Dan mama memperkenalkan Tia padanya sebagai calon istriku kan? Iya kan ma?” mama menunduk. Aku terlalu keras padanya. Aku melenguh.

“Jangan kasar pada mamamu Sam.” sentak papa.

“Aku hanya berusaha menjadi anak yang baik disini. Biar mama-papa senang. OK. Aku akan menuruti segala kemauan kalian. Kalau itu akan membuat kalian tambah puas. Tapi ingat aku melakukan ini hanya untuk Sisca, karena dia yang memintaku untuk menjadi anak yang baik bagi kalian.” aku tinggalkan mama dan papa sendirian. Sayup-sayup kudengar mama menangis. Aku tidak bisa berpaling ke belakang. Karena akupun ingin menenangkan hatiku yang telah hancur berkeping-keping. Maafkan aku Sisca. Maafkan om, Bobby. Aku malu bertemu kalian lagi. Aku sedih tidak bisa menjadi bagian dari kalian lagi.

Selamanya Cinta Part 5

finally……ku terima cintanya !!



Hari ini ada arisan keluarga di rumah tante Felice. Tante Felice itu adik sepupu mama. Berhubung papa tidak bisa antar mama jadi aku yang kena gak enaknya.

“Papa kemana sih ma ?” tanyaku.

“Teman papa yang dari Inggris datang kesini dan ajak papa main golf di candi.”

“Trus kenapa mama gak minta Felo aja yang antar. Kan sama ceweknya.”

“Udah jangan protes terus, kayak nenek-nenek aja. Ntar juga kamu tau kok kenapa mama ajak kamu kesana.” hawanya udah gak enak nih.

Sampai di rumah tante Felice. Sudah rame orang rupanya. Aku bersikeras untuk menunggu mama di mobil saja tapi mama ngotot minta aku ikut turun.

“Nah ini dia jagoan tante.” seru tante Felice sesampainya kami di teras rumahnya.

“Siang tante.” sapa ku.

Tante Felice masih saja terlihat muda, walaupun umur sebenarnya nya tidak jauh dari umur mama. Mungkin karena dia tidak perlu merasa repot mengurusi anak-anak di rumahnya. Tapi tante Felice dan om Steve, suaminya, terlihat mesra-mesra saja dengan keadaannya itu. Katanya malah seperti pacaran terus. Bahagia terus.

“Kamu tambah ganteng aja ya. Halo mbak Edis.” Pandangannya beralih sejurus pada mama.

“Halo sayang.” sapa mama sembari mencium kedua pipi tante Felice.

“Udah rame ya.” lanjut mama.

“Iya mbak, semuanya dah pada ngumpul tinggal nunggu mbak aja.”

“Aduh kalo gitu maap deh, soalnya Sam nih mandinya luama banget. Pake parfumenya aja dobel-dobel.” tante Felice meringis ke arahku.

Arisan dimulai. Ternyata tidak sekaku yang aku kira. Buktinya banyak tante-budhe-encing-enyak yang masih sibuk ngerumpi dan makan sedangkan arisan udah mau digelar. Mama meminta ku untuk menyicipi makanan yang ada sambil menunggunya. Katanya sih cuma sebentar. Kalo udah dikocok dan menemukan siapa yang beruntung hari itu ya udah kelar acaranya. Yang lama emang acara ngrumpi di ‘mall’ nya.

Aku mencoba santai disini. Kucicipi hampir semua menu yang tersedia. Maklum tadi mama membangunkan ku udah agak siang jadi aku belum sempat sarapan. Ternyata di ujung sana ada sepasang mata yang sedang mengawasiku. Seorang gadis berambut panjang sebahu terlihat senyum-senyum sendiri memandangku. Aku mulai risih. Akhirnya kuhentikan wisata kulinerku di meja es dan puding. Dia mendekat.

“Ini enak juga lho.” ujar si cewek itu. Setelah agak dekat ternyata dia manis juga tapi pakaian yang ia kenakan terlalu seksi sampai-sampai belahan dadanya tampak jelas. Seharusnya aku akan senang dengan pemandangan seperti itu, karena aku cowok normal, tapi kenapa aku malah risih sendiri. Roknya juga super duper mini. Sebenarnya cocok saja ia berpakaian seperti itu karena tubuhnya bagus. Seksi.

“Eh, makasih. Udah kenyang kok.” kulihat dia mencicipi dim sum. Tapi kenapa aku tidak melihat meja dim sum disini. Dan sepertinya cewek ini mengerti apa yang sedang aku pikirkan.

“Pasti kamu belum coba yang disana. Aku mengambil ini disana.” dia menunjuk meja yang didalam rumah. Ternyata ada banyak menu yang disediakan disini. Tante Felice memang gemar berpesta, jadi tidak heran jika ia sediakan makanan yang lebih dari cukup untuk kapasitas orang yang hanya berjumlah tidak lebih dari 25 orang hari ini. Kira-kira sisa makanan ini akan dikemanakan ya.

“Makasih deh, aku bener-bener udah kenyang.”

“O iya, kenalkan, aku Chyntia. Panggil aja aku Tia.”

“Samuel. Panggil aja Sam.” senyumnya manis.

“Jadi kalian sudah kenalan.” tiba-tiba suara tante Felice mengagetkanku. Tia senyum-senyum saja.

“Kalo gitu tante gak perlu repot-repot ngenalin kalian. Toh udah sama-sama dewasa.” Senyum nakal tante Felice terkembang. Sepertinya Tia sudah tau rencana ini, buktinya wajahnya dari tadi terlihat adem dan senyum selalu terhias disana. Sedangkan aku seperti kambing congek yang gak tau apa-apa. Apakah ini tadi yang dikatakan mama, bahwa aku akan tau nanti kenapa mama ajak aku ke acara ini. Jadi mereka ingin menjodohkanku dengan Tia. Tenang Sam, tenang. Siapa tau rencana itu tidak akan sejauh yang aku duga. Ini hanya perkenalan biasa dan selanjutnya terserah aku. Aku berusaha pelan-pelan menjauh dari Tia. Sebenarnya cewek itu enak diajak ngobrol, semuanya serba nyambung. Hanya aku gak ingin membangun opini publik bahwa diantara kami ‘akan’ ada apa-apa.

Dari sini kulihat mama sedang asyik ngobrol dengan Tia dan tante Felice. Sesekali mereka seling ngorbolnya dengan makan snack-snack ringan. Memang cewek doyan banget ngobrol.

Setelah hampir 4 jam terkurung dalam sarang perempuan akhirnya kami pulang juga.

“Jadi kamu sudah ketemu sama Tia.”mama mulai deh. Aku hanya mengangguk.

“Gimana menurutmu?”

“Gimana apanya?”

“Cantik kan?” aku mengangguk lagi.

“Suka ?” aku mulai pasang tampang sewot.

“Apa sih mama nih. Jadi ada maksud dan tujuannya tho aku dikenalkan ama dia?”

“Salah, bukan dikenalkan, kan kalian sendiri yang kenalan.”

“Iya iya. Trus kenapa?”

“Mama ingin hubungan kalian bisa berlanjut dan berlanjut.”

“Mama lupa ya?”

“Mama gak lupa. Dulu kamu pernah bilang kalo bakal bawa Sisca kembali ke sisimu, tapi mana buktinya. Sekian lama mama tunggu, dia gak muncul-muncul juga ke rumah.” mama ada benarnya. Sampai detik ini bendera putih pun belum Sisca kibarkan. Sejak masalah di Bekasi itu aku enggan menemuinya lagi. Aku tidak marah. Dia berhak memarahiku karena pada awalnya tujuanku ke Jakarta adalah memang untuk mengikutinya, tapi jika ia juga berpendapat bahwa aku mengikutinya sampai ke rumah Santo, kakak Asty, itu salah besar, karena telepon dadakan dari Santo lah aku bisa datang ke rumah itu. Semuanya hanya salah paham. Tapi hati Sisca begitu keras. Dia tidak kunjung juga meneleponku. Aku diam seribu bahasa sampai mobil ini masuk ke pekarangan rumah.

“Minggu depan papa ada acara golf di puncak. Dia minta kamu yang antar jadi jangan ada acara!” perintah mama sebelum ia turun dari mobil. Setelah mama masuk ke dalam rumah serta merta kupukul keras setir mobilku. Aku penat. Aku merasa terkekang. Sampai-sampai jodoh pun orang tua yang carikan. Aku mencintai Sisca. Aku mencintai apapun yang ada dalam dirinya saat ini. Tapi kenapa semua ini terasa berat untuk aku jalani. Aku melenguh.


Map biru berisi beberapa lembar kertas terbanting di hadapanku. Aku kaget. Benar-benar kaget.

“Apa ini balasanmu pada orang tua mu Sam?” ujar papa dengan emosi meluap-luap.

“Ada apa, pa?” tanyaku bingung. Papa meminta aku membuka berkas di hadapanku itu.

Biodata :
Nama : Apriliani Sisca Dewi.
Tmpt/tgl lhr : Jakarta / 14 April 1979
Alamat : Jl. Krakatau Raya No. 14 Semarang
Agama : Islam
No Telpon : 024 – 5316780
Status : Janda
Pekerjaan : Manager Promosi
Alamat kantor : Green Miles
Hobby : Memasak dan membaca

Ini biodata Sisca. Darimana papa bisa mendapatkan ini. Dan lihat di baris 'status', pasti papa yang sengaja menebalkan bagian itu dengan stabilo.

“Ini punya Sisca, papa dapat dari mana?” mata papa masih nanar.

“Gak perlu kamu tanya dari mana papa dapat ini. Tapi tidakkah kau bisa mencari wanita dari kalangan yang baik Sam.”
Baik ??

“Papa belum kenal Sisca.”

“Tidak perlu. Sekarang ikut papa pulang. Mama kamu mau bicara.” cepat sekali info ini tersebar. Jangan-jangan semua orang di rumah akan menghujatku karena mencintai seorang janda beranak satu.

Mobil di setir bak mercon. Cepat, sangat cepat pak Nur mengendarai mobil papa. Sampai di rumah, papa langsung meletakkan tas kerjanya dan duduk di sebelah mama yang sedang melamun. Sepertinya bakal ada perang dunia ke lima nih.

“Jadi sekarang mama dan papa sudah tau seperti apa pilihanku.” aku mulai buka suara.

“Tidak bisa begitu Sam. Kamu pikir kami akan setuju dengan dia.” ujar papa.

“Asal mama dan papa tau, Sisca adalah cinta pertama dan terakhir ku. Apapun penilaian mama dan papa tentang dia, aku gak akan pernah merubah keputusanku.” mama mulai menangis.

“Tinggalkan dia kalo kamu masih sayang dan menganggap kami berdua adalah orang tuamu. Itu perintah Sam, tidak ada tawar menawar lagi.” Papa beranjak menuju taman dengan emosi memuncak. Jika ia sedang tidak enak hati selalu lari ke taman dan melamun di pinggir kolam ikan yang ia buat sendiri. Dia betah berlama-lama menatap ikan-ikan itu. Apa tidak risih ya mereka, maksudku ikan-ikan itu, batinku. Mama duduk menyebelahiku.

“Ikutilah permintaan papa mu nak.” dengan suara masih terisak.

“Apakah seburuk itu penilaian mama-papa tentang seorang janda?”

“Apakah sebesar itu cintamu padanya nak?”mama malah balas bertanya. Aku mengangguk mantap.

“Maaf mama tetep gak bisa bantu kamu.” ujar mama sambil menunduk.

“Kenapa sih menilai orang dari masa lalunya. Belum tentu kan seorang janda tidak bisa bersanding lebih baik dengan seorang perjaka. Lagipula Sisca bukan janda cerai ma, dia ditinggal mati suaminya.”

“Apapun alasannya mama tetap tidak akan serahkan anak mama pada seorang janda. Punya anak berapa dia dengan suaminya yang dulu?”

“Satu. Masih SD.”

“Apalagi dia sudah punya anak. Mama tambah tidak setuju. Apa kata teman-teman dan kerabat mama dan papa nanti. Ntar mereka kira, apa sudah habis anak perawan yang cocok untuk kamu.”

“Huh. Mama dan papa sama aja.” aku hendak kabur.

“Mau kemana kamu? Mama belum selesai bicara !” aku membalikkan badan. Mama ikutan berdiri.

“Mama dan papa sudah menemukan jodoh yang tepat untukmu. Tia masih perawan dan belum pernah menikah, sama denganmu. Setidaknya dia juga dari keluarga yang jelas dan mampu. Cobalah Sam. Demi mama.” aku tidak menghiraukan ucapan mama. Aku memalingkan muka. Mama memalingkan wajahku kembali menatapnya. Mau tak mau aku melihat wajah mamaku.

“Ini kami lakukan karena kami sayang kamu nak. Semuanya demi kebahagiaanmu.”

“Kenapa mama pikir aku tidak bisa bahagia dengan Sisca dan Bobby.”

“Mama tidak ingin berdebat lagi. Mama juga tidak ingin kamu egois, pikirkan juga perasaan mama dan papa jika punya menantu yang tidak sepadan denganmu. Dia sudah pernah menikah dengan orang lain, sedangkan kamu masih perjaka, mama merasa tidak adil saja jika menyerahkanmu padanya. Pikirkanlah itu nak.” tanpa berpamitan aku segera berlari menuju garasi.

Mobil kulaju kencang, sekencang angin sore itu. Sepertinya akan turun hujan. Aku tidak tahu hendak kemana. Tapi yang pasti di pikiran dan hati ini hanya ada Sisca yang tergambar. Semua ucapan mama dan papa aku renungkan. Aku memang terlalu naif. Kenapa aku harus perjuangkan Sisca sedangkan dia saja belum tentu mau menerima cintaku. Sejak pertemuan terakhir kami di Bekasi kala itu aku semakin tidak bisa membaca jelas perasaan Sisca padaku. Apakah sedalam itu cinta Sisca pada mendiang suaminya. Apakah dia tidak mencintaiku seperti aku mencintai dia. Aku membutuhkan jawabannya.


Huh kenapa sore ini aku tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaanku. Setiap detik terbayang wajah Sam. Apakah aku mulai mencintainya lagi. Dulu memang pernah aku curahkan segenap cinta dan hatiku padanya, tapi Tuhan berkehendak lain. Rey lah yang dipilihkan Tuhan untukku, sampai Tuhan pula yang mengambilnya dariku. Aku bergegas ke toilet untuk membasuh muka, siapa tahu dengan cara itu wajah Sam akan hanyut bersama air yang membasahi wajah ini.

Aku minta Gimin untuk membuatkanku secangkir kopi. Aku perlu konsentrasi extra karena pekerjaan sedang menumpuk. Semoga semuanya bisa lancar dan aku tidak perlu lembur karenanya.

Acara basuh-membasuh muka dan meneguk secangkir kopi buatan Gimin sangatlah mujarab. Akhirnya pekerjaan bisa kelar sebelum malam tiba. Aku mulai membereskan meja dan bersiap untuk pulang. Bahan presentasi untuk besok aku siapkan besok pagi-pagi saja, karena sebentar lagi jam nya makan malam dan aku belum masak untuk Bobby.

Seperti biasa aku parkirkan mobil di basement. Setelah menuruni 7 tangga dengan menggunakan lift, sampai juga aku di basement. Tidak jauh dari tempatku memarkirkan mobil, kulihat Gimin sedang berbincang-bincang dengan pak Sapto, salah satu security yang berjaga malam ini.

“Pulang bu?” sapa pak Sapto, ramah. Aku tersenyum sambil mengangguk.

“Ati-ati ya bu.” itu Gimin yang bicara.

“Iya, makasih ya. Mari.” mereka bergantian menganggukkan kepalanya.

Kupencet tombol alarm mobil. Setelah berbunyi kumasukkan tas laptop yang super berat itu di kursi belakang. Setelah kututup kembali pintu itu kemudian aku hendak membuka pintu depan, tapi aku keburu terperanjat oleh sosok orang yang lumayan mengagetkanku.

“MasyaAllah, Sam ! Ngapain kamu berdiri disitu.” ujarku sambil mengatur kembali nafas dan jantungku supaya berdetak normal.

“Maaf, aku gak bermaksud mengagetkanmu. Maaf ya.” Sam sepertinya memang tidak berniat untuk membuatku takut. Berulang kali dia meminta maaf.

“Bisa aku minta waktu untuk bicara?”

“Tapi.” aku mancoba menolak.

“Tolonglah Sis. Beri aku kesempatan untuk bicara.” aku berpikir sejenak.

“Ya udah. Tapi aku telpon Bobby dulu.” kupencet nomor rumah. Tidak lama kemudian kudengar suara Bobby diseberang.

“Bob, ini Ibu.”

“Pasti Ibu mau bilang kalo Ibu lembur ya ?” anakku memang kritis.

“Bukan. Om Sam minta ditemenin ngobrol sebentar.” sambil kulirik Sam yang sedang melamun.

“O....”

“Kamu gak papa kan nak?”

“Kalo sama om Sam, Bobby percaya bu. Tapi kalo sama yang lain mending Ibu pulang aja deh.”

“Kamu ini ya. OK. Kalo gitu jangan lupa makan malam ya nak, minta buatkan si mbak dulu ya?”

“Iya Ibu ku yang cantik. Salam ya buat om Sam.”

“Iya. Dah sayang. Ibu akan pulang cepat setelah semuanya kelar.”

“Iya bu. Da dah...” kututup telponnya.

“Bobby titip salam.” ujar ku pada Sam.

“Aku kangen sama anak itu. Bisa kita berangkat sekarang ?” aku mengangguk.

“Naik mobil kamu gak pa pa kan? Soalnya mobilku udah aku titipkan ke temen.” sepertinya dia udah punya keyakinan besar kalo aku tidak akan menolak ajakannya. Ada perasaan sedikit menyesal aku setuju dengan idenya ini. Tapi nasi sudah menjadi bubur.

Sam meminta ijin untuk menyetir mobilku. Wajahnya tenang. Suasana tenang. Aku juga enggan untuk mengajaknya ngobrol. Tapi kenapa hati ini bergemuruh, pengen copot rasanya. Aku malu jika sampai Sam mendengar detak jantung yang tak beraturan ini. Antara senang dan tidak, aku bisa keluar dengan Sam. Cowok yang pernah mengisi hari-hariku, dulu. Dia berbelok di Puri Anjasmoro dan memarkirkan mobilku di sebuah restaurant. Restaurant yang baru sekali seumur hidup pernah aku kunjungi. Setelah masuk ke dalam dan duduk di kursi paling sudut kami mulai ngobrol.

“Masih ingat sama restaurant ini ?” dulu Sam pernah mengajakku kesini dan di tempat ini pula ia mengutarakan perasaannya padaku.

“Sudah banyak berubah.” Kulihat beberapa lampu warna-warni sudah banyak menerangi taman. Jenis kursi yang aku duduki sekarang juga berubah, lebih nyaman dengan bantalan empuk. Dan di sudut kanan dekat bar juga ada panggung kecil untuk solo organ yang saat ini sedang melantunkan musik jazz. Aku cukup menikmati aura tempat ini.

“Kita aja survive maka mereka juga harus berusaha survive.” senyum Sam mengembang. Aku mengangguk.

“Kamu mau pesan apa Sis ? Kamu pasti lapar kan ?” tanya Sam setelah pelayan mendatangi meja kami.

“Mocaccino.”

“Gak makan ? Atau mau aku pesankan yang seperti biasanya ?” Aku sedikit terperanjat dengan tawarannya itu. Kupandang lekat matanya.

“Baiklah, saya ulang ya mbak. Kami pesan 1 capuccino, 1 mocaccino, dan 2 nasi goreng ampela. Yang 1 pedas yang 1 biasa. Betul kan Sis ?” Sam masih mengingat makanan favoritku. Aku mengangguk padanya dan bergantian pada mbak si pelayan.

“Walaupun semuanya sudah berubah, tapi hatiku tidak mungkin berubah.” aku yang sedari tadi menunduk kemudian tertarik untuk mengikuti arah pembicaraannya.

“Sis, tidakkah kamu merasakan apa yang selama ini aku rasakan?” seandainya aku bisa jujur Sam. Sejak pertemuan pertama kali denganmu lagi aku sudah merasakan ada getaran aneh pada diriku. Hanya saja aku terlalu angkuh untuk mengakui itu. Dan aku belum bisa menggantikan posisi Rey di hatiku. Aku diam dalam bisu. Mata kami bertemu. Hanya saja bibir ini menjadi beku.

“Aku masih mencintaimu, sama seperti kala kita remaja dulu. Dan aku akan terima apa adanya kamu sekarang. Aku juga sayang sama Bobby.” jelas Sam. Aku yang biasanya punya seribu bahasa untuk mengelak, walaupun bertentangan hati nurani yang sesungguhnya, tapi kali ini aku hanya bisa diam. Pandanganku beralih pada pesanan kami yang sudah datang.

“Gih, dimakan dulu. Kalo dingin ntar gak enak.” tawar Sam.

Ketika aku hendak menyuapkan sendokan pertama kemulutku. Kuturunkan lagi sendoknya.

“Sam.” tenggorokanku kembali tercekat.

“Ya.” aku membuat dirinya menunggu beberapa saat.

“Gak deh. Nanti aja lagi.” aku bingung mau bilang apa. Akhirnya suapan pertama masuk ke mulutku. Kulirik Sam tersenyum melihat tingkahku. Kami merampungkan makan malam ini dengan santai. Sesekali aku melihat gelagat Sam. Dia masih tampak tenang. Tapi jantung ku ini kenapa belum juga berdetak secara normal ya. Tanpa sadar aku geleng-gelengkan kepalaku. Mungkin kalo Sam melihatnya dia akan bingung melihat ku.

“Aku sangat menikmati malam ini, Sis.” ujar Sam setelah pelayan mengangkat piring kami dan menggantinya dengan semangkuk buah segar.

“Sam, apa yang kamu harapkan dariku ?” sambil kubersihkan bibirku dengan serbet yang tersedia.

“Aku ingin menikahimu.”

“It's impossible.”

“It's gonna be possible if you let me. Ijinkan aku mendalami hatimu Sis. Beri aku kesempatan untuk masuk dalam kehidupanmu.” aku pesimis. Sempat beberapa kali aku geleng-gelengkan kepala.

“Apa yang buat kamu ragu?” Sam memegang tanganku yang terdampar pasrah di atas meja.

“Tidak semua orang bisa menerima kaum janda dengan kedua matanya.”

“Tapi aku bisa.”

“Bagaimana dengan orang yang ada disekitarmu. Keluargamu.” Sam terdiam.

“Kamu tidak bisa jawab itu kan Sam. Apa kekhawatiranku ini sudah ada jawabannya. Tidak ada orangtua di dunia ini yang rela melepas anak perjakanya pada.....pada jenis wanita sepertiku.” lanjutku.

“Kenapa sih kamu ini. Kamu tidak mau mendukungku.” seru Sam.

“Mendukungmu untuk apa ? Untuk mencari opini publik bahwa kaum kami selayaknya diterima dengan tangan terbuka?”

“Sis, ijinkan aku membawamu ke duniaku.” aku tak kuasa menahan tangis. Sam, aku ingin kau merengkuh tubuhku yang semakin lemah ini. Aku rapuh dihadapanmu.

“Demi Allah. Ijinkan aku menggantikan posisi Rey dihatimu.” Rey, aku bingung. Aku bingung. Sam mendekatkan posisi duduknya padaku dan ia lalu memelukku. Aku larut dalam pelukannya. Aku mencintainya. Tapi kenapa aku tidak yakin bisa memilikinya.

Setelah semuanya tenang, Sam mengantarkanku pulang. Kami kembali dalam diam. Sudah jam 21.30, pasti Bobby sudah tidur sekarang. Tadi Sam membelikan oleh-oleh untuknya. Nasi goreng ayam dan telur goreng. Sam memarkirkan mobilku sampai ke garasi. Sekilas kulihat mobil Sam sudah menunggunya di depan pagar rumahku.

“Aku langsung aja. Ini kunci mobil kamu. Istirahat ya. Besok aku telpon.” Sam mengusap lembut keningku. Aku menarik tangannya yang hendak membalikkan badannya untuk pulang.

“Sam. Mencintai tidak harus memiliki. Aku mencintaimu. Tapi aku rela jika tidak harus memilikimu.” Sekilas tampak senyum merekah di wajah Sam. Cerah sekali. Secerah langit malam ini yang bertaburkan bintang nan terang. Serta merta dia memelukku dan membisikkan sesuatu pada ku.

“Aku akan selalu menjagamu Sis. Dan aku janji akan memperjuangkan mu dalam keluargaku.”

“Jangan dipaksakan. Aku cukup puas telah mendapatkan cintamu.” dia berpamitan lagi setelah mengecup lembut keningku.

Mobilnya melaju dalam malam. Ketika aku membuka pintu rumah, kulihat Bobby sedang berdiri menatapku. Serta merta ia memelukku.

“Bobby belum tidur ?” ia menggeleng.

“Ini ada nasi goreng kesukaan Bobby dari om Sam.” ia menggeleng lagi dan masih memelukku erat.

“Ibu, suatu hari nanti, mungkin gak Bobby punya ayah lagi selain ayah Rey ?”

Bobby, jangan berharap terlalu banyak pada hubungan ibumu dengan om Sam, nak. Ibu menyayangimu. Kubalas pelukannya. Kugendong ia menuju meja makan. Mendudukkannya di kursi makan dan membukakan bungkusan nasi goreng di hadapannya. Kupandangi Bobby yang sekarang sedang lahap memakan nasi yang masih hangat itu. Sambil kuusap keningnya dan kuucapkan,

“Jangan sedih jika nanti semuanya tidak berjalan seperti yang Bobby mau. Ingat nak, kamu masih punya ibu disini. Kita akan kuat walau hanya berdua. Bobby mesti selalu ingat itu ya.” Bobby mengangguk.


Hari-hariku setelah kejadian malam itu berjalan seperti biasanya. Aku memang tidak ingin memanjakan diriku terlalu dalam pada Sam. Aku tidak biasa bergantung padanya. Tapi tidak juga semua tawarannya aku tolak, misalnya seperti menjemput Bobby pulang sekolah, aku mengijinkannya tapi jangan terlalu sering supaya tidak mubazir uang yang sudah aku keluarkan untuk membiayai mobil antar jemput sekolahnya. Dia juga minta ijin untuk datang setiap malam minggu dan mengajak kami keluar makan malam. Alhasil perasaan ku saat ini semakin kuat padanya.

Tapi sudah dua minggu ini dia jarang muncul di rumah. Telepon pun jarang. Entah kenapa. Hari ini, Rabu, bertepatan dengan hari ulang tahun Rey. Sebenarnya Bobby hendak mengajak Sam ke makam Rey, tapi sejak pagi handphone nya tidak aktif, kata orang kantor juga sudah dua hari ini dia tidak masuk kerja, menurut sumber di kantornya salah satu anggota keluarganya ada yang sakit dan mengharuskan ia untuk cuti sampai dengan empat hari kedepan.

“Sudahlah Bob. Kita pergi berdua aja ya. Ayah sudah nunggu tuh.” Bobby masih kekeuh mencoba menghubungi Sam lewat HP ku.

“Kira-kira om Sam kemana ya bu ?”

“Kamu kangen sama dia?” aku memeluknya dari belakang. Bobby mengangguk.

“Ibu juga. Tapi ayah Rey pasti juga kangen sama kita berdua, jadi ayo berangkat sekarang.” Bobby mengeluarkan semua buku-buku sekolahnya di atas meja dan mengganti isi tas nya dengan tempat minum dan sedikit snack yang sudah aku sediakan sejak semalam. Dia tidak bersemangat seperti biasanya.

“Mungkin sekarang om Sam lagi sibuk berat. Jadi gak bisa menemui kita.”

“Iya Bobby ngerti kok. Ayo bu kita berangkat sekarang, keburu ayah marah sama kita.” Bobby menggandeng tanganku.

Sore ini awan agak mendung. Semoga tidak hujan. Tapi aku tetap membawa payung hanya untuk jaga-jaga. Mobil meluncur ke makam Rey.

Di depan pusara Rey, Bobby memanjatkan doa lebih lama dari biasanya. Entah apa yang ia sampaikan pada Rey, hanya saja bibir kecil itu tak henti-hentinya berkomat-kamit. Kembali aku menatap pusara Rey.

Rey, entah kenapa sekarang aku lebih ringan menjalankan hidup. Apakah itu karena aku telah mengikhlaskan kepergianmu atau karena aku telah menemukan sosok lain dalam hatiku. Maafkan aku jika ini akan membuatmu sakit hati. Sam. Iya Sam, pacar lamaku. Kini datang lagi dan mulai mengisi hatiku yang telah lama kosong. Aku merindukan mu Rey.

Dengan Sam aku merasa senang, enjoy, bahagia, walaupun belum ada garansi ia akan bersamaku untuk selamanya. Bukan, bukan aku yang menutup diri. Tapi aku hanya sadar diri. Jika semuanya tidak berjalan seperti yang kami harapkan insyaallah aku akan ikhlas. Kamu tau Rey, aku ingin lagi punya seseorang yang bisa menjaga aku dan Bobby siang dan malam. Aku ingin lagi ada seseorang yang merawat dan menyayangi rumah kita. Seperti yang dulu pernah aku punya bersamamu. Tapi aku gak bisa muluk-muluk. Siapa aku.

Bobby sepertinya juga sayang sama Sam. Kami sering jalan bareng bertiga. Rasanya seperti yang dulu lagi Rey. Hanya saja Sam yang ada disisi kami, bukan kamu. Tapi aku yakin kamu disana juga akan bahagia jika melihat kami disini bahagia. Iya kan ?

Jika Tuhan mengijinkan semuanya tetap berjalan baik seperti sekarang ini tidak heran jika Sam akan menikahiku Rey. Apa kau ikhlas aku pergi dengan orang lain ? Tapi jika semua ini harus berhenti di tengah jalan aku mohon bantulah aku untuk menata hati ini kembali, juga hati Bobby, anak kita. Aku tidak ingin dia sedih, sudah cukup ia sedih kala kau meninggalkannya. Akankah air mata ini tidak akan menetes lagi di kemudian hari ? Aku tidak tahu Rey. Aku tidak tahu. Tapi yang aku tahu, kamu akan dukung aku. Iya kan Rey ? Semangat Sis, semangat ! Itu yang selalu kamu ucapkan untukku. Terima kasih Rey.

Hujan deras menemani perjalanan pulang kami.