Selamanya Cinta Part 6
Me vs her
“Sis, udah denger berita gembira ?” ujar Asty di suatu pagi. Saking buru-buru hendak ke mejaku dia sampai lupa meletakkan tas nya dulu.
“Berita apa'an ?”
“Presentasi Yuke kemarin kan goal, jadi kita semua akan pergi ke Bandungan untuk orientasi tempat dan liburan.”
“Jadi Yuke berhasil. Kamu tahu darimana ? Kok aku pimpinannya belum dikasih tahu sih. Panggilin Yuke dong.” Asty teriak-teriak panggil nama Yuke.
“Iya mbak ?” Yuke membalas panggilan Asty. Ia tampak berjalan tergopoh-gopoh sambil membawa beberapa file dalam map .
“Gimana semalam ? Kata Asty goal ya?”
“Iya mbak, maaf saya belum sempet kasih tau karena pak Choy minta saya untuk siapkan berkasnya segera karena dia sudah booking vila untuk kita orientasi disana.”
“Baiklah kalo begitu siapkan saja semuanya dan aku perintahkan kamu dan Edo yang berangkat. By the way baik sekali pak Choy sampe siapin vila segala.”
“Karena yang akan berangkat kesana bukan hanya Yuke dan Edo, non.” sela Asty. Aku pasang tampang bego. Asty menyuruh Yuke untuk bercerita.
“Iya mbak. Pak Choy minta divisi kita untuk berlibur kesana. Karena beliau tahu kalo mbak Sisca yang buat demo ini jadi dia ingin kita semuanya untuk merasakan kebahagiaan yang pak Choy rasakan.”
“Tapi harus digaris bawahi Sis, hanya divisi kita, jadi tidak bawa suami atau istri dan anak.” lanjut Asty. Aku mempersilahkan Yuke untuk kembali ke tempatnya. Sekarang tinggal aku dan Asty. Berdua.
“Gak mungkin aku lakukan itu As. Mana mungkin kubiarkan Bobby sendirian sedangkan ibu nya senang-senang di Bandungan.”
“Kan cuma 2 malam Sis. Lagian kan bukan hari liburan sekolah, masak kamu gak kasihan sama Bobby kalo harus bolos sekolah?”
“Lagian kamu kok seneng banget sih, padahal kan kamu gak bisa bawa mas Pri mu?”
“Mas Pri akan susul aku di akhir minggu. Jadi bulan madu sekalian deh dan kangen terobati sudah.” senyum Asty mengembang.
“Dasar kamu.”
“Ayolah Sis. Masak kamu tega sama kami, karyawanmu. Sini. Lihat. Mereka udah kerja jungkir balik untuk kejayaan perusahaan ini siang dan malam. Nah sekarang ada kesempatan refreshing gratis kok ditolak.” Asty membawaku melihat suasana di ruang kerja anak buahku. Mereka sedang sibuk-sibuknya karena biasanya di akhir tahun seperti ini banyak order dari beberapa orang atau perusahaan untuk pembuatan event akhir tahun.
“Aku perlu discuss masalah ini sama Bobby.”
“OK aku tunggu kabarnya ya.”
Tak lama kemudian, pak Choy dari Amartapura menelpon ku di ruangan. Dia membujukku untuk menerima niat baiknya itu yang telah aku dengar duluan dari Yuke dan Asty. Sebenarnya enggan untuk menolak, karena perusahaan pak Choy adalah pelanggan tetap jasa kami. Seperti yang aku janjikan pada Asty, aku akan membicarakan ini dengan keluargaku dulu. Pak Choy tahu aku sudah punya anak dan dia memintaku untuk membawanya serta. Tapi sekali lagi, dengan halus aku katakan akan mempertimbangkannya lagi. Sekali lagi aku harus berpikir keras, karena aku yakin anak-anak di divisi promosi pasti sudah mendengarnya dan tinggal keputusanku sebagai atasannya yang mereka tunggu. Akhirnya kuputuskan siang ini untuk meeting karena mengingat undangan ke bandungan itu tidak lama lagi. Aku harus tahu isi hati setiap anak buahku.
Ruang meeting sudah disiapkan oleh Allen sejak sebelum makan siang. Dan sekarang jam sudah menunjukkan pukul 2 siang. Meeting aku mulai.
“Saya kumpulkan kalian disini sehubungan dengan hasil kerja team kita yang sudah goal semalam di PT. Amartapura. Mari kita beri selamat untuk team promosi, khususnya Edo dan Yuke.” tepuk tangan riuh membahana di ruang meeting berukuran 4x4m ini.
“Terima kasih atas kerja keras kalian selama ini dan yang telah jatuh bangun mendampingi saya memajukan perusahaan tercinta kita ini.” lanjutku.
“Tadi pagi saya ditelpon langsung oleh pendiri Amartapura. Beliau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena kita sudah membantu nya selama ini. Dan selain itu, beliau juga menawarkan sesuatu yang saya yakin kalian sudah dengar beritanya. Ya, pak Choy menawarkan vilanya di bandungan untuk tempat kita liburan sekaligus orientasi tempat. Makanya saya kumpulkan kalian disini, supaya saya tau seberapa besar minat kalian untuk menerima tawaran pak Choy ini selain mengingat waktunya yang sudah dekat dan pada liburan ini kita tidak bisa membawa serta anggota keluarga yang kita cintai. Nah, sekarang waktunya kalian bicara disini.” mereka malah saling berbisik.
“Maaf sebelumnya mbak. Kalau saja kita semua disini setuju untuk ke puncak apakah gak papa dengan HRD dan divisi yang lain?” ujar Retno.
“Saya yang akan bicarakan ini ke atas nantinya. Tapi sebelumnya saya harus tahu komentar kalian dulu.”
“Ehm...Ehm...kalo saya sih setuju-setuju saja, itung-itung ini sebagai hasil kerja keras kita selama ini untuk Amartapura.” sela Asty.
“Yang lain?” tawarku.
“Maaf mbak. Berhubung kita dengarnya juga baru tadi pagi maka kami minta ijin satu hari saja untuk membicarakan dulu ke keluarga kami. Baru besok pagi kami akan kabarkan ke mbak Sisca.” ujar Susy.
“Iya, ide yang bagus. Kalo gitu besok pagi saya tunggu kabarnya. Gak usah ketemu saya langsung, cukup email japri ke saya.” kelihatannya semua manggut-manggut tanda setuju.
“OK cukup sekian meeting kali ini. Kita lanjutkan pekerjaan kita. Terima kasih.” aku menutup rapat.
“Jadi ibu mau orion...eh....oronasi....bukan ding...apasih tadi bu?” ujar Bobby.
“Orientasi kerja nak.”
“Iya, maksud Bobby juga gitu. Ibu mau rontasi kerja ke Bandungan ?” aku geli melihat nya kesusahan mengeja.
“Tapi itu kalo Bobby gak keberatan.” Bobby menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengibaskan garpu di tangan kanannya. Mulutnya penuh. Kalo makan mie Bobby hanya memegang garpu, sendok tidak pernah diajaknya.
“Bobby gak papa kok. Lagian kan Bobby harus sekolah. Sayang kan ibu udah bayar sekolah Bobby mahal-mahal eh Bobby nya doyan bolos.”
“Yakin nih ?” kali ini dia mengangguk.
“Udah ibu berangkat aja. Bobby akan aman-aman aja di rumah eyang.” anakku udah makin besar.
“Minta oleh-oleh apa?”
“Apa aja terserah ibu.” kukecup kening anak tercintaku.
Setelah ku cek japri yang masuk hari ini. Aku lalu bergegas ke HRD. Kulihat pak Pram sedang asyik membalas email yang masuk. Setelah ia mempersilahkanku duduk aku mulai membicarakan maksud dan tujuanku menghadapnya. Mulanya ia agak keberatan mendengar permintaanku yang memang kesannya sangat mendadak. Tapi ia berjanji akan menanyakan hal ini pada Bu Silvi, bos besar di Green Miles. Tapi segera ia urungkan niatnya itu dan malah mengajakku berdua dengannya menghadap bu Silvi langsung yang kebetulan hari itu datang ke kantor, karena biasanya ia lebih sering berada di luar negeri mengobati sakit kanker yang sudah belasan tahun mengidap di rahimnya.
Bu Silvi, wanita setengah baya yang menggunakan kerudung di kesehariannya itu dengan ramah memintaku dan pak Pram masuk dan duduk di sofa besar di dalam ruangannya. Pak pram mempersilahkanku untuk mengutarakan maksud dan tujuanku menemui beliau.
“Saya rasa divisi promosi memang berhak menerima tawaran ini, karena Amartapura tidak akan setia dengan kita jika divisi promosi tidak mengerjakan tugasnya dengan baik. Hitung-hitung refreshing kan bu Sisca ?” ujar bu Silvi lembut. Aku hanya tersenyum.
“Saya ijinkan. Dan pak Pram tolong buatkan surat resmi untuk divisi promosi berangkat kesana.”
“Baik bu.” pak Pram menuruti perintah atasannya.
Setelah keluar dari ruangan bu Silvi aku bergegas menuju ke ruang divisi promosi. Disana anak-anak sudah harap-harap cemas menantiku.
“Mohon perhatiannya sebentar.” sst...sst....ruangan kembali tenang.
“Saya sudah menghadap atasan dan beliau....................sangat mengijinkan kita untuk berangkat ke bandungan lusa.” hore...sorak sorai riuh terdengar.
“Siapkan segalanya karena tujuan kita selain refreshing adalah bekerja, jadi Yuke dan Edo tetap di posisinya sebagai orientator, dan yang lainnya bisa membantu segala kesiapan yang lain. Semoga perjalanan kita akan selamat dan...............have fun.” aku berjalan meninggalkan mereka tapi di belakang kembali terdengar riuh sorak sorai anak buahku.
Mereka senang dan seharusnya aku ikut senang dan ikhlas meninggalkan Bobby bersama mama dan papa di Semarang.
Untuk beberapa saat saja aku bisa merasakan kebahagiaan bersama Sisca dan Bobby. Tapi disudut duniaku yang lain ada seseorang yang sedang merana diatas kebahagiaanku. Mama. Ya mama sakit keras setelah tahu dari sumber yang entah papa sewa dari mana, mengatakan bahwa aku dekat lagi dengan Sisca. Aku tidak tau mesti gimana. Tapi satu yang pasti mama sekarang sedang membutuhkanku. Kata Felo, adikku, dalam setiap tidurnya ia menyebut-nyebut namaku. Jadi untuk sementara aku tidak bisa bertemu dengan Sisca, dan sepertinya juga aku tidak bisa mengabarkan ini padanya. Aku tidak tahu harus bilang apa padanya. Aku bingung. Dilema.
Selama seminggu mama tidak bisa turun dari tempat tidur. Badannya lemah, ucapannya ngaco. Sedikitpun dia tidak bisa jauh dari ku. Jadi akupun tidak bisa masuk kerja. Kata dokter, mama depresi berat. Obatnya hanyalah ditemani terus oleh orang yang telah membuatnya begini, yaitu aku.
Tapi aku bersyukur hari ini mama sudah mau di terapi berjalan. Sebenarnya tidak susah, buktinya dua hari ini sudah ada kemajuan yang drastis pada kesehatan mama. Ia sudah mampu jalan sendiri walaupun menggunakan bantuan kruk. Semangat mama untuk sembuh sangat besar, karena kata mama sendiri, dia harus sembuh supaya bisa melihat anak-anaknya bahagia.
Dokter Ben, dokter keluarga kami, menyarankan mama untuk pergi berlibur supaya mendapatkan angin segar dan suasana yang baru. Papa menyarankan agar kami semua pergi ke bandungan akhir minggu ini. Sebenarnya ini lebih mirip suatu perintah, karena tidak ada permintaan persetujuan dari yang lainnya. Aku turuti kemauan papa.
Sehari sebelum keberangkataku ke bandungan aku bermaksud untuk menghubungi Sisca di HP, tapi tidak berhasil. Mungkin tidak ada sinyal. Kucoba menghubungi rumah karena biasanya malam minggu begini Sisca dan Bobby akan ngumpul di ruang tengah sambil menikmati VCD yang baru Sisca sewa di rental. Tapi hasilnya nihil juga. Tidak ada yang mengangkat. Dimana mereka. Kembali kupencet nomer Sisca. Tiba-tiba ada yang menggapai tanganku. Mama.
“Sam. Terima kasih kamu sudah memberi semangat pada mama untuk sembuh.”
“Bukannya mama memang harus sembuh.” ia tersenyum. Akupun tersenyum. Kerut di wajahnya sudah semakin terlihat jelas. Mama sudah tua.
“Mama mohon nak, jangan kau buat mama begini lagi. Mama gak pengen denger kabar yang menyakitkan hati mama lagi.” sepertinya sekarang bukan waktunya untuk berdebat. Mama akan tambah sakit. Aku hanya bisa menundukkan kepala. Keputusan yang sangat berat untuk dijalankan. Aku gak mungkin bisa untuk tidak bertemu dengan Sisca. Sisca adalah cintaku. Saat ini yang bisa aku lakukan hanyalah berusaha menjadi anak yang baik dan penurut. Mama harus sembuh dulu baru aku bisa memperbaiki hubunganku dengan Sisca di mata orangtuaku.
Aku tidak sempat me-recharge HP ku semalam. Makanya siang ini HP ku sudah tidak bisa bertahan hidup lagi. Padahal aku sedang jalan-jalan dengan Asty melihat-lihat di kebun teh nan luas ini. Semoga Bobby akan menelepon HP Asty jika ada apa-apa. Ini sudah hari kedua aku di bandungan. Malam ini pak Choy akan datang kesini dan mengundang kami untuk makan malam di restaurant. Karena besok pagi kami sudah harus cabut dari villa nya maka sore nanti kami gunakan untuk berbenah supaya nanti malam atau besok pagi tidak terburu-buru. Untuk masalah belanja sudah kami lakukan di hari pertama ketika sampai di sini. Semalam kami juga sudah melakukan orientasi kerja, maka pagi hingga sore ini adalah hari bebas sedunia. Mau ngobrol, main, berbenah, semuanya kami lakukan bersama-sama.
Besok Asty minta di jemput oleh suaminya, karena katanya mereka akan melanjutkan untuk menginap semalam lagi di tempat yang lain. Sebenarnya aku juga ingin Bobby bisa menyusulku disini, tapi aku tidak mungkin merepotkan kedua orangtuaku untuk mengantarnya jauh-jauh ke tempat ini. Ya sudahlah, yang penting kemarin sudah aku belikan oleh-oleh khas untuk mereka.
Hari cepat berganti malam. Aku yang mendapat kamar sekamar dengan Asty memutuskan untuk mandi lebih dulu. Kulirik batre di HP sudah full, aku copot kabelnya dan kuputuskan untuk sebentar menelpon Bobby, aku kangen dengan suara kecilnya. Selama kabar yang ia sampaikan tidak ada yang mengkhawatirkan aku merasa tenang untuk melalui malam ini tanpa dia disampingku.
Undangan dari pak Choy kami penuhi tepat waktu. Jam 19.30 kami sudah sampai di restaurant yang dipilihkan pak Choy untuk kami. Semua makanan yang ditawarkan adalah serba seafood. Pak Choy menawarkan pada kami untuk memesan lebih dulu, dan teman-teman mempercayakan pada ku untuk memilihkan menu sebagai santapan malam ini. Asal komplit pasti mereka tidak akan protes. Beberapa menit kemudian pesanan kami sudah mulai dihidangkan. Dan kami larut dalam menu yang menumbuhkan selera makan itu.
“Maaf saya permisi ke rest room sebentar.” pamitku pada yang lain, sesaat setelah acara santap menyantap selesai.
“Saya permisi juga, mau menerima telpon ini.” ujar Asty. Asty mengikutiku sampai ke rest room.
“Sis ntar kembali ke mejanya bareng ya.” bisik Asty sambil memegang HP
“Siip lah.” bersamaan itu aku membuka pintu utama toilet. Dan tidak kusengaja pintu itu menyenggol kursi roda seorang wanita yang hendak keluar dari toilet.
“Maaf.” spontan aku menunduk karena salah.
“Sisca ?” ujar wanita setengah baya itu. Aku mulai memberanikan diri untuk mengangkat kepalaku kembali.
“Tante Edis ?” lama untukku bisa mengingat nya karena setahuku sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan beliau. Tepatnya setelah aku putus dari Sam. Ia melirik ke arah wanita muda yang dengan setia mendorong kursi rodanya itu.
“Gimana kabar kamu ?”
“Baik tante. Tante sendiri bagaimana ?”
“Seperti yang kamu lihat, tulang tua ini sudah tidak bisa diajak kompromi lagi.” sembari ia menepuk-nepuk kakinya. Aku hanya bisa tersenyum tipis.
“O iya kenalkan, ini Tia.” gadis itu mengangguk padaku sambil tersenyum. Aku pun membalas senyumannya.
“Tia ini calon istri Sam.” mendadak petir seperti menyambar di dalam ruang toilet ini. Aku tidak siap dengan semua ini. Berita ini sangat mengejutkanku. Aku bingung harus sedih atau bahagia untuk gadis itu.
“E...Ma...maaf tante. Saya tidak bisa meninggalkan meja lama-lama.” kuurungkan niatku untuk ke toilet yang sudah di depan mata.
“Kok gak jadi ke toilet.” tanya tante Edis.
“Saya hanya ingin menata makeup saja, tapi sepertinya tidak ada yang kurang.” sambil kupegang-pegang wajahku sebagai penekanan.
“Permisi.” Asty yang melihatku setengah berlari keluar dari rest room berusaha mengikutiku dari belakang. Aku dan Asty duduk kembali ke tempat semula.
“Ada apa ?” bisik Asty padaku. Aku hanya bisa menggeleng lemah.
Aku banyak diam malam ini. Aku tidak bisa menikmati hidangan yang masih juga bergulir. Ada buah, puding, es krim, dan yang terakhir salad. Seandainya aku bisa lari dari tempat ini mungkin sudah aku lakukan dari tadi. Aku ingin menangis.
Sesekali kulemparkan pandangan ke seluruh isi restaurant. Tapi dimana Sam ? Apakah ada ruang private lain di restaurant ini yang aku tidak tahu ? Sekali lagi ku lebarkan mata. Akhirnya kutemukan juga. Memang agak jauh letaknya. Meja kami sangat berjauhan. Tapi aku berhasil menemukan sosok Sam. Komplit dengan keluarga besarnya. Ada acara apa gerangan. Apakah ada hubungannya dengan gadis tadi ? Apakah makan malam mereka ini untuk dia dan Sam ? Beberapa pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku. Tak kusangka Asty mengikuti arah pandangku. Dia sama kagetnya denganku, melihat Sam ada diujung sana.
“Ngapain dia disini ?” bisik Asty lagi. Untung teman-teman yang lain sedang ribut sendiri-sendiri jadi kami terhiraukan. Lagi-lagi aku hanya bisa menggeleng. Asty gemes.
“Maaf pak Choy dan teman-teman semuanya, jika tidak keberatan saya ingin meninggalkan tempat ini lebih dulu karena tiba-tiba saya agak kurang enak badan.” pamitku pada pak Choy dan semuanya.
“Oh gak papa kok bu Sisca. Silahkan. Lagian kita emang udah selesai kan?” pak Choy meminta persetujuan teman-teman yang lain. Dan mereka semua kompak mengangguk.
“Kalo gitu saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada pak Choy and company atas liburan yang menyenangkan ini, dan harapan kami semoga kerjasama kita akan tetep langgeng ya pak?” lanjutku. Pak Choy mengangguk-anggukkan kepalanya.
Setelah berpamitan kami pun bersama-sama menuju pintu utama restaurant. Tiba-tiba tanganku dipegang oleh seseorang dari belakang. Ternyata Sam juga sudah mengetahui keberadaanku di tempat ini.
“Lepaskan Sam!”
“Aku bisa jelaskan semua ini.” aku menggeleng.
“Ijinkan aku untuk menjelaskan ini Sis.” Ulang Sam.
“Ayo As kita pulang.” tanpa kulihat wajah Sam. Asty jadi serba salah.
“Ayo As !” seruku. Tapi Asti bergeming.
“Sebaiknya kalian selesaikan ini dulu. Aku bisa pulang bareng anak-anak.” ujar Asty dan kemudian ia berlalu.
Sam masih memegang tanganku. Aku lepaskan dengan paksa dan aku berlari keluar area restaurant dengan jalan kaki. Sam membuntutiku.
“Sisca kita perlu bicara.” aku tak menoleh.
“Sisca !” teriaknya. Kuhentikan langkahku.
“Semua ini tidak bisa aku tolak. Mama menjadi seperti yang kamu lihat sekarang karena aku. Setidaknya ijinkan aku untuk melihat mamaku sehat dulu baru aku akan membawamu ke keluargaku.” dengan cepat aku menolehkan mukaku. Mata kami bertemu. Mataku sudah basah sejak keluar dari restaurant tadi.
“Untuk apa kamu bawa aku kesana hah ?”
“Ya untuk....” sebelum ia selesai menuntaskan kalimatnya aku potong dulu.
“Tia mau kamu kemanakan Sam ?”
“Apa ? Tia itu bukan.... darimana kamu kenal Tia.” kududuk di kursi taman yang tidak jauh dari situ. Tiba-tiba kaki ini merasa letih, tak ada daya untuk melangkah.
“Gak perlu kamu tahu aku kenal dia dari mana dan siapa. Tapi aku sudah tau kalo dia adalah calon istrimu.” aku masih berusaha tenang. Sam berusaha memotong kalimatku.
“Kalopun kamu tidak setuju dengan itu aku yakin pasti keluargamu setuju.” lanjutku. Sam menunduk.
“Mungkin kesembuhan mamamu ada hubungannya dengan itu Sam. Dewasalah, jadilah anak yang baik bagi kedua orangtuamu.” saran yang sebenarnya membuat hatiku sendiri miris. Disaat aku mulai membangun benih-benih cinta untuknya semua ini terjadi. Tapi di dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku harus bersyukur pada Tuhan karena hubungan yang aku bina dengan Sam belumlah terlalu jauh melangkah.
“Tapi Sis.”
“Jadi anda Sisca teman lama Sam ?” tiba-tiba Tia muncul.
“Sejujurnya jika aku tau ini dari awal aku gak akan mau dijodohkan dengannya.” lanjut Tia.
“Aku juga pernah merasakan punya mantan. Tapi kalo kita sampai ingin kembali lagi berarti cinta mereka sebenarnya lebih kuat dari yang dulu. Iya kan?” Tia meminta persetujuan kami.
“Jangan bodoh. Cinta akan bicara lain jika ada sesuatu yang mengikuti di belakangnya.” ujar ku.
“Maksudmu orang tua ?” kata Tia.
“Mau orang tua, saudara atau apa dan siapapun kita gak akan pernah tau. Tapi aku sudah pasrah sejak awal. Jika semua ini tidak bisa berjalan seperti yang kita mau ya mau diapakan lagi ?” lanjutku.
“Sam, jika kita memang tidak bisa bersama aku sudah pasrah kok. Kamu ingat dulu aku pernah bilang apa sama kamu, kamu tuh cuma buang-buang waktu aja sama aku. Dan aku yakin orang tuamu sudah mencarikan jodoh yang terbaik untukmu. Aku dan Bobby sudah siap. Jadi sekarang bukan tangan ini yang akan kamu pilih tapi ini.” aku berikan tangan Sam pada Tia.
“Bahagialah. Karena aku dan Bobby akan bahagia jika melihat kau bahagia.” aku membalikkan badan dan mencegat taksi yang lewat. Kutinggalkan mereka yang masih terpana. Taksi mulai melaju dan akupun menangis.
Asty sudah menanti ku dengan harap-harap cemas. Dia langsung menggandeng tanganku menuju kamar. Aku menangis dalam pelukannya. Malam kelabu.
“Ibu !” itu suara Bobby, aku segera menoleh ke arah suara itu. Dia berlari dan hendak merangkulku.
“Sayang.” aku memeluknya erat. Kulihat mama dan papa sedang menyapa Asty. Pasti Asty yang meminta mereka untuk menjemputku di vila.
“Mama.” bergantian kupeluk mama.
“Sabar ya nak.” aku mengangguk.
“Papa.” kukecup halus punggung tangan yang sudah mulai keriput itu.
“Ma kasih ya mama-papa sudah susah-susah kesini.”
“Untuk anak mama yang paling cantik kenapa tidak, ya pa.” mama meminta persetujuan papa. Papa mengangguk pasti.
“Jadi ibu pulang bareng kita kan ?” tanya Bobby.
“Iya dong sayang.”
“Besok kita ke makam ayah ya bu.”
“Besok kan senin ? Kenapa gak jumat aja seperti biasanya ?”
“Semalam aku mimpi'in ayah. Bobby kangen ayah.” tiba-tiba aku meneteskan air mata. Serta merta kupeluk Bobby.
“Maafkan ibu nak, maafkan ibu.”
“Bobby sudah cukup senang kok punya ibu. Semangat bu, semangat !”
Ya Tuhan. Tegarkan lah kami.
Senin sore di pusara Rey.
Hai lagi Rey. Sepertinya semua tidak berjalan seperti yang aku harapkan. Sekarang aku sendiri lagi. Ya aku sedih, Bobby juga. Tapi karena kau, kami tidak akan amat sangat terpuruk. Semangat Sis, semangat ! Aku yakin Bobby akan belajar dari pengalaman ini. Aku ingin dia menjadi anak yang tegar, Rey. Kamu sudah janji sama aku akan menata kembali hati yang sakit ini kan Rey? Aku tunggu ya obat dari kamu.
“Kamu datang Rey ?”
“Ini untuk istriku yang paling aku cintai.”
“Wow rose. Kamu masih ingat aja hadiah favoritku.”
“Ini obat pemberi semangat dari ku. Jangan sedih lagi ya.”
“Ma kasih Rey.”
“Jaga anak kita ya. Dia memang masih kecil tapi pengalaman hidupnya akan menjadikannya dewasa.”
“Iya. Aku sayang sekali dengannya.”
“Baik-baik ya sayang.”
Aku terbangun dari tidurku. Mimpi ini sudah berakhir. Tapi kenapa bunga mawar ini benar-benar nyata. Dari mana datangnya ?
“Pagi Sis.”
“Mama ?” sosok mama di kamarku ini mengagetkanku.
“Cantik kan bunganya ?” aku mengangguk.
“Itu Bobby yang siapkan untukmu.”
“Hah ?” aku kaget.
“Selamat ulang tahun ya nak.” jadi, hari ini ulang tahunku ?
“Ma kasih ma. Mana Bobby?”
“Dia lagi ribet di ruang makan, katanya mau siapkan cake cantik untukmu.” aku bergegas hendak keluar dari kamar.
“Eit, mau kemana?”
“Keluar?”
“Bobby minta ibunya mandi dulu kalo mau keluar kamar. Sana gih.” aku tersenyum kecut. Dasar anak kecil.
Ternyata hari ini keluargaku mengadakan pesta kecil untukku di rumah. Bobby mengaku menjebol uang celengannya untuk membelikanku bunga mawar dan bahan roti di minimarket dekat sekolahnya. Hari ini aku bahagia sekali. Untuk pertama kalinya sejak kejadian bandungan itu aku bisa tersenyum lagi. Terima kasih ya Tuhan. Terima kasih Rey. Terima kasih anakku.
Aku sedih. Mama dan papa sudah terlampau jauh mencampuri urusan pribadiku. Aku sudah memenuhi permintaan mereka ke bandungan dalam rangka demi kesehatan mama, tapi apa yang mereka lakukan padaku. Mereka mengundang Tia juga di hari terakhir kami di sana.
“Sam, mama pengen kamu akrab dengan Tia. Jadi mama bawa serta ia kesini.”
“Untuk apa?”
“Siapa tau kalian bisa memenuhi apa yang mama dan papa inginkan?”
“Mama ingin aku menikah dengannya?” mama hanya tersenyum.
“Kalaupun masih nanti-nanti, tapi setidaknya kalian penjajagan dulu. Iya kan?”
“Ma, berapa kali lagi sih Sam harus jelaskan ke mama. Sam gak bisa.” mama pasang muka sedih. Aku mendesah.
“Ya udah sekarang mau mama apa?” wajahnya kembali tersenyum. Mama seperti anak kecil aja yang bisa langsung tersenyum jika keinginannya terpenuhi. Mama menyampaikan isi hatinya padaku. Dengan berat hati aku jalankan keinginan mama. Hanya untuk malam ini. Hanya malam ini.
Restaurant yang papa pesan adalah restaurant seafood. Sebenarnya aku suka seafood hanya saja aku jadi kurang minat makan malam ini. Kulihat Tia bisa membawa diri dalam keluargaku. Dia bisa cepat akrab dengan semuanya yang ada disini. Aku yakin Sisca pasti juga bisa melakukan hal yang sama jika diberi kesempatan yang adil.
“Kok makannya cuma dikit? Gak kayak yang waktu di pesta tante Felice dulu.” canda Tia.
“Udah kenyang.” ujarku, singkat.
“Wah sayang ya, padahal aku pesankan makanan kesukaanmu di akhir hidangan nanti.”
“Emang kamu tau apa tentang aku.” Aku berusaha tidak terlalu keras padanya. Karena aku yakin dia juga hanya korban disini, sama denganku.
“Tia, bisa antar tante ke toilet sebentar?” potong mama.
“Mama nih manja ya sama calon mantu ?” seloroh papa. Tia hanya tersenyum.
“Mari tante, Tia antar. Permisi sebentar ya om, Sam.” pamit Tia sembari mendorong kursi roda mama menuju toilet wanita.
Setelah mereka berlalu, papa mulai memprotes tingkah laku ku.
“Jangan kaku-kaku amat dong Sam.” papa merajukku. Aku hanya bisa melenguh.
Tidak lama kemudian mama dan Tia sudah kembali ke meja makan. Kami pun melanjutkan obrolan yang penuh basa basi ini.
“Tadi mama bertemu dengan seseorang yang dia kenal di toilet.” bisik Tia padaku, tiba-tiba.
“Siapa ?” aku agak terkejut dengan berita ini, karena Tia sampe berbisik segala.
“Katanya namanya Sis....Sisca. Ya Sisca.” aku memandang lekat wajah Tia. Lalu....
“Ma, pa aku permisi sebentar.” tanpa menunggu lagi aku segera mencari keberadaan Sisca. Dan akhirnya aku menemukan dia di pintu utama setelah aku putari restaurant yang cukup luas ini. Segera kugapai tangan Sisca dari belakang.
“Lepaskan Sam.” ujarnya kaget.
“Aku bisa jelaskan semua ini.” dia hanya menggeleng.
“Ijinkan aku untuk menjelaskan ini Sis.”
“Ayo As kita pulang.” ujar Sisca pada Asty.
“Ayo As !” serunya. Tapi Asti bergeming.
“Sebaiknya kalian selesaikan ini dulu. Aku bisa pulang bareng anak-anak.” ujar Asty sambil berlalu. Dan aku masih memegang tangan Sisca. Dia lalu melepas paksa tanganku dan berlari keluar area restaurant. Aku mengikutinya.
“Sisca kita perlu bicara.” seruku.
“Sisca !” dihentikannya langkahnya.
“Semua ini tidak bisa aku tolak. Mama menjadi seperti yang kamu lihat sekarang karena aku. Setidaknya ijinkan aku untuk melihat mamaku sehat dulu baru aku akan membawamu ke keluargaku.” dengan cepat ia mengalihkan pandangannya padaku. Matanya basah dengan air mata.
“Untuk apa kamu bawa aku kesana hah ?” serunya.
“Ya untuk....” sebelum aku selesai menuntaskan kalimat itu dia sudah memotongnya lebih dulu.
“Tia mau kamu kemanakan Sam ?”
“Apa ? Tia itu bukan.... darimana kamu kenal Tia.” ia duduk di kursi taman yang tidak jauh dari situ. Perasaan, Tia tadi tidak cerita kalau ia juga sempat berkenalan dengan Sisca.
“Gak perlu kamu tau aku kenal dari mana dan siapa. Tapi aku sudah tau kalo dia adalah calon istrimu.” aku berusaha memotong kalimatnya.
“Kalopun kamu tidak setuju dengan itu aku yakin pasti keluargamu setuju.” aku hanya bisa menunduk.
“Mungkin kesembuhan mamamu ada hubungannya dengan itu Sam. Dewasalah, jadilah anak yang baik bagi kedua orangtuamu.” aku tidak bisa melihat keikhlasan pada kalimat itu.
“Tapi Sis.”
“Jadi anda Sisca teman lama Sam ?” tiba-tiba Tia muncul. Sejak kapan ia berdiri di situ.
“Sejujurnya jika aku tau ini dari awal aku gak akan mau dijodohkan dengannya Sis.” lanjut Tia.
“Aku juga pernah merasakan punya mantan. Tapi kalo sampai kita ingin kembali lagi berarti cinta mereka sebenarnya lebih kuat dari yang dulu. Iya kan?” Tia meminta persetujuan kami.
“Jangan bodoh. Cinta akan bicara lain jika ada sesuatu yang mengikuti di belakangnya.” ujar Sisca.
“Maksudmu orang tua ?” kata Tia.
“Mau orang tua, saudara atau apa dan siapapun kita gak akan pernah tau. Tapi aku sudah pasrah sejak awal. Jika semua ini tidak bisa berjalan seperti yang kita mau ya mau diapakan lagi ?” lanjut Sisca.
“Sam, jika kita memang tidak bisa bersama aku sudah pasrah kok. Kamu ingat dulu aku pernah bilang sama kamu, kamu tuh cuma buang-buang waktu aja sama aku. Dan aku yakin orang tuamu sudah mencarikan jodoh yang terbaik untukmu. Aku dan Bobby sudah siap. Jadi sekarang bukan tangan ini yang akan kamu pilih tapi ini.” Sisca memberikan tangan ku pada Tia.
“Bahagialah. Karena aku dan Bobby akan bahagia jika melihat kau bahagia.” Sisca berlalu.
Aku benar-benar dibuatnya mati kutu. Aku tidak tau harus bagaimana. Aku memang lelaki lemah, tak tahu diri dan jahat. Aku tidak menjaga hati wanita yang aku cintai. Malah aku biarkan ia pergi seorang diri. Aku menangis. Ya aku menangis. Tia menawarkan tisu padaku. Apa yang harus aku lakukan, ya Tuhan ?!
“Ini kan yang mama dan papa mau? Puas kalian melihat aku begini?” seruku pada orang tuaku setelah kami sampai di vila.
“Sam, mama tidak bermaksud....” aku potong kalimat mama.
“Mama jangan bohong, Tia sudah cerita semuanya ke aku. Dan mama memperkenalkan Tia padanya sebagai calon istriku kan? Iya kan ma?” mama menunduk. Aku terlalu keras padanya. Aku melenguh.
“Jangan kasar pada mamamu Sam.” sentak papa.
“Aku hanya berusaha menjadi anak yang baik disini. Biar mama-papa senang. OK. Aku akan menuruti segala kemauan kalian. Kalau itu akan membuat kalian tambah puas. Tapi ingat aku melakukan ini hanya untuk Sisca, karena dia yang memintaku untuk menjadi anak yang baik bagi kalian.” aku tinggalkan mama dan papa sendirian. Sayup-sayup kudengar mama menangis. Aku tidak bisa berpaling ke belakang. Karena akupun ingin menenangkan hatiku yang telah hancur berkeping-keping. Maafkan aku Sisca. Maafkan om, Bobby. Aku malu bertemu kalian lagi. Aku sedih tidak bisa menjadi bagian dari kalian lagi.
“Sis, udah denger berita gembira ?” ujar Asty di suatu pagi. Saking buru-buru hendak ke mejaku dia sampai lupa meletakkan tas nya dulu.
“Berita apa'an ?”
“Presentasi Yuke kemarin kan goal, jadi kita semua akan pergi ke Bandungan untuk orientasi tempat dan liburan.”
“Jadi Yuke berhasil. Kamu tahu darimana ? Kok aku pimpinannya belum dikasih tahu sih. Panggilin Yuke dong.” Asty teriak-teriak panggil nama Yuke.
“Iya mbak ?” Yuke membalas panggilan Asty. Ia tampak berjalan tergopoh-gopoh sambil membawa beberapa file dalam map .
“Gimana semalam ? Kata Asty goal ya?”
“Iya mbak, maaf saya belum sempet kasih tau karena pak Choy minta saya untuk siapkan berkasnya segera karena dia sudah booking vila untuk kita orientasi disana.”
“Baiklah kalo begitu siapkan saja semuanya dan aku perintahkan kamu dan Edo yang berangkat. By the way baik sekali pak Choy sampe siapin vila segala.”
“Karena yang akan berangkat kesana bukan hanya Yuke dan Edo, non.” sela Asty. Aku pasang tampang bego. Asty menyuruh Yuke untuk bercerita.
“Iya mbak. Pak Choy minta divisi kita untuk berlibur kesana. Karena beliau tahu kalo mbak Sisca yang buat demo ini jadi dia ingin kita semuanya untuk merasakan kebahagiaan yang pak Choy rasakan.”
“Tapi harus digaris bawahi Sis, hanya divisi kita, jadi tidak bawa suami atau istri dan anak.” lanjut Asty. Aku mempersilahkan Yuke untuk kembali ke tempatnya. Sekarang tinggal aku dan Asty. Berdua.
“Gak mungkin aku lakukan itu As. Mana mungkin kubiarkan Bobby sendirian sedangkan ibu nya senang-senang di Bandungan.”
“Kan cuma 2 malam Sis. Lagian kan bukan hari liburan sekolah, masak kamu gak kasihan sama Bobby kalo harus bolos sekolah?”
“Lagian kamu kok seneng banget sih, padahal kan kamu gak bisa bawa mas Pri mu?”
“Mas Pri akan susul aku di akhir minggu. Jadi bulan madu sekalian deh dan kangen terobati sudah.” senyum Asty mengembang.
“Dasar kamu.”
“Ayolah Sis. Masak kamu tega sama kami, karyawanmu. Sini. Lihat. Mereka udah kerja jungkir balik untuk kejayaan perusahaan ini siang dan malam. Nah sekarang ada kesempatan refreshing gratis kok ditolak.” Asty membawaku melihat suasana di ruang kerja anak buahku. Mereka sedang sibuk-sibuknya karena biasanya di akhir tahun seperti ini banyak order dari beberapa orang atau perusahaan untuk pembuatan event akhir tahun.
“Aku perlu discuss masalah ini sama Bobby.”
“OK aku tunggu kabarnya ya.”
Tak lama kemudian, pak Choy dari Amartapura menelpon ku di ruangan. Dia membujukku untuk menerima niat baiknya itu yang telah aku dengar duluan dari Yuke dan Asty. Sebenarnya enggan untuk menolak, karena perusahaan pak Choy adalah pelanggan tetap jasa kami. Seperti yang aku janjikan pada Asty, aku akan membicarakan ini dengan keluargaku dulu. Pak Choy tahu aku sudah punya anak dan dia memintaku untuk membawanya serta. Tapi sekali lagi, dengan halus aku katakan akan mempertimbangkannya lagi. Sekali lagi aku harus berpikir keras, karena aku yakin anak-anak di divisi promosi pasti sudah mendengarnya dan tinggal keputusanku sebagai atasannya yang mereka tunggu. Akhirnya kuputuskan siang ini untuk meeting karena mengingat undangan ke bandungan itu tidak lama lagi. Aku harus tahu isi hati setiap anak buahku.
Ruang meeting sudah disiapkan oleh Allen sejak sebelum makan siang. Dan sekarang jam sudah menunjukkan pukul 2 siang. Meeting aku mulai.
“Saya kumpulkan kalian disini sehubungan dengan hasil kerja team kita yang sudah goal semalam di PT. Amartapura. Mari kita beri selamat untuk team promosi, khususnya Edo dan Yuke.” tepuk tangan riuh membahana di ruang meeting berukuran 4x4m ini.
“Terima kasih atas kerja keras kalian selama ini dan yang telah jatuh bangun mendampingi saya memajukan perusahaan tercinta kita ini.” lanjutku.
“Tadi pagi saya ditelpon langsung oleh pendiri Amartapura. Beliau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena kita sudah membantu nya selama ini. Dan selain itu, beliau juga menawarkan sesuatu yang saya yakin kalian sudah dengar beritanya. Ya, pak Choy menawarkan vilanya di bandungan untuk tempat kita liburan sekaligus orientasi tempat. Makanya saya kumpulkan kalian disini, supaya saya tau seberapa besar minat kalian untuk menerima tawaran pak Choy ini selain mengingat waktunya yang sudah dekat dan pada liburan ini kita tidak bisa membawa serta anggota keluarga yang kita cintai. Nah, sekarang waktunya kalian bicara disini.” mereka malah saling berbisik.
“Maaf sebelumnya mbak. Kalau saja kita semua disini setuju untuk ke puncak apakah gak papa dengan HRD dan divisi yang lain?” ujar Retno.
“Saya yang akan bicarakan ini ke atas nantinya. Tapi sebelumnya saya harus tahu komentar kalian dulu.”
“Ehm...Ehm...kalo saya sih setuju-setuju saja, itung-itung ini sebagai hasil kerja keras kita selama ini untuk Amartapura.” sela Asty.
“Yang lain?” tawarku.
“Maaf mbak. Berhubung kita dengarnya juga baru tadi pagi maka kami minta ijin satu hari saja untuk membicarakan dulu ke keluarga kami. Baru besok pagi kami akan kabarkan ke mbak Sisca.” ujar Susy.
“Iya, ide yang bagus. Kalo gitu besok pagi saya tunggu kabarnya. Gak usah ketemu saya langsung, cukup email japri ke saya.” kelihatannya semua manggut-manggut tanda setuju.
“OK cukup sekian meeting kali ini. Kita lanjutkan pekerjaan kita. Terima kasih.” aku menutup rapat.
“Jadi ibu mau orion...eh....oronasi....bukan ding...apasih tadi bu?” ujar Bobby.
“Orientasi kerja nak.”
“Iya, maksud Bobby juga gitu. Ibu mau rontasi kerja ke Bandungan ?” aku geli melihat nya kesusahan mengeja.
“Tapi itu kalo Bobby gak keberatan.” Bobby menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengibaskan garpu di tangan kanannya. Mulutnya penuh. Kalo makan mie Bobby hanya memegang garpu, sendok tidak pernah diajaknya.
“Bobby gak papa kok. Lagian kan Bobby harus sekolah. Sayang kan ibu udah bayar sekolah Bobby mahal-mahal eh Bobby nya doyan bolos.”
“Yakin nih ?” kali ini dia mengangguk.
“Udah ibu berangkat aja. Bobby akan aman-aman aja di rumah eyang.” anakku udah makin besar.
“Minta oleh-oleh apa?”
“Apa aja terserah ibu.” kukecup kening anak tercintaku.
Setelah ku cek japri yang masuk hari ini. Aku lalu bergegas ke HRD. Kulihat pak Pram sedang asyik membalas email yang masuk. Setelah ia mempersilahkanku duduk aku mulai membicarakan maksud dan tujuanku menghadapnya. Mulanya ia agak keberatan mendengar permintaanku yang memang kesannya sangat mendadak. Tapi ia berjanji akan menanyakan hal ini pada Bu Silvi, bos besar di Green Miles. Tapi segera ia urungkan niatnya itu dan malah mengajakku berdua dengannya menghadap bu Silvi langsung yang kebetulan hari itu datang ke kantor, karena biasanya ia lebih sering berada di luar negeri mengobati sakit kanker yang sudah belasan tahun mengidap di rahimnya.
Bu Silvi, wanita setengah baya yang menggunakan kerudung di kesehariannya itu dengan ramah memintaku dan pak Pram masuk dan duduk di sofa besar di dalam ruangannya. Pak pram mempersilahkanku untuk mengutarakan maksud dan tujuanku menemui beliau.
“Saya rasa divisi promosi memang berhak menerima tawaran ini, karena Amartapura tidak akan setia dengan kita jika divisi promosi tidak mengerjakan tugasnya dengan baik. Hitung-hitung refreshing kan bu Sisca ?” ujar bu Silvi lembut. Aku hanya tersenyum.
“Saya ijinkan. Dan pak Pram tolong buatkan surat resmi untuk divisi promosi berangkat kesana.”
“Baik bu.” pak Pram menuruti perintah atasannya.
Setelah keluar dari ruangan bu Silvi aku bergegas menuju ke ruang divisi promosi. Disana anak-anak sudah harap-harap cemas menantiku.
“Mohon perhatiannya sebentar.” sst...sst....ruangan kembali tenang.
“Saya sudah menghadap atasan dan beliau....................sangat mengijinkan kita untuk berangkat ke bandungan lusa.” hore...sorak sorai riuh terdengar.
“Siapkan segalanya karena tujuan kita selain refreshing adalah bekerja, jadi Yuke dan Edo tetap di posisinya sebagai orientator, dan yang lainnya bisa membantu segala kesiapan yang lain. Semoga perjalanan kita akan selamat dan...............have fun.” aku berjalan meninggalkan mereka tapi di belakang kembali terdengar riuh sorak sorai anak buahku.
Mereka senang dan seharusnya aku ikut senang dan ikhlas meninggalkan Bobby bersama mama dan papa di Semarang.
Untuk beberapa saat saja aku bisa merasakan kebahagiaan bersama Sisca dan Bobby. Tapi disudut duniaku yang lain ada seseorang yang sedang merana diatas kebahagiaanku. Mama. Ya mama sakit keras setelah tahu dari sumber yang entah papa sewa dari mana, mengatakan bahwa aku dekat lagi dengan Sisca. Aku tidak tau mesti gimana. Tapi satu yang pasti mama sekarang sedang membutuhkanku. Kata Felo, adikku, dalam setiap tidurnya ia menyebut-nyebut namaku. Jadi untuk sementara aku tidak bisa bertemu dengan Sisca, dan sepertinya juga aku tidak bisa mengabarkan ini padanya. Aku tidak tahu harus bilang apa padanya. Aku bingung. Dilema.
Selama seminggu mama tidak bisa turun dari tempat tidur. Badannya lemah, ucapannya ngaco. Sedikitpun dia tidak bisa jauh dari ku. Jadi akupun tidak bisa masuk kerja. Kata dokter, mama depresi berat. Obatnya hanyalah ditemani terus oleh orang yang telah membuatnya begini, yaitu aku.
Tapi aku bersyukur hari ini mama sudah mau di terapi berjalan. Sebenarnya tidak susah, buktinya dua hari ini sudah ada kemajuan yang drastis pada kesehatan mama. Ia sudah mampu jalan sendiri walaupun menggunakan bantuan kruk. Semangat mama untuk sembuh sangat besar, karena kata mama sendiri, dia harus sembuh supaya bisa melihat anak-anaknya bahagia.
Dokter Ben, dokter keluarga kami, menyarankan mama untuk pergi berlibur supaya mendapatkan angin segar dan suasana yang baru. Papa menyarankan agar kami semua pergi ke bandungan akhir minggu ini. Sebenarnya ini lebih mirip suatu perintah, karena tidak ada permintaan persetujuan dari yang lainnya. Aku turuti kemauan papa.
Sehari sebelum keberangkataku ke bandungan aku bermaksud untuk menghubungi Sisca di HP, tapi tidak berhasil. Mungkin tidak ada sinyal. Kucoba menghubungi rumah karena biasanya malam minggu begini Sisca dan Bobby akan ngumpul di ruang tengah sambil menikmati VCD yang baru Sisca sewa di rental. Tapi hasilnya nihil juga. Tidak ada yang mengangkat. Dimana mereka. Kembali kupencet nomer Sisca. Tiba-tiba ada yang menggapai tanganku. Mama.
“Sam. Terima kasih kamu sudah memberi semangat pada mama untuk sembuh.”
“Bukannya mama memang harus sembuh.” ia tersenyum. Akupun tersenyum. Kerut di wajahnya sudah semakin terlihat jelas. Mama sudah tua.
“Mama mohon nak, jangan kau buat mama begini lagi. Mama gak pengen denger kabar yang menyakitkan hati mama lagi.” sepertinya sekarang bukan waktunya untuk berdebat. Mama akan tambah sakit. Aku hanya bisa menundukkan kepala. Keputusan yang sangat berat untuk dijalankan. Aku gak mungkin bisa untuk tidak bertemu dengan Sisca. Sisca adalah cintaku. Saat ini yang bisa aku lakukan hanyalah berusaha menjadi anak yang baik dan penurut. Mama harus sembuh dulu baru aku bisa memperbaiki hubunganku dengan Sisca di mata orangtuaku.
Aku tidak sempat me-recharge HP ku semalam. Makanya siang ini HP ku sudah tidak bisa bertahan hidup lagi. Padahal aku sedang jalan-jalan dengan Asty melihat-lihat di kebun teh nan luas ini. Semoga Bobby akan menelepon HP Asty jika ada apa-apa. Ini sudah hari kedua aku di bandungan. Malam ini pak Choy akan datang kesini dan mengundang kami untuk makan malam di restaurant. Karena besok pagi kami sudah harus cabut dari villa nya maka sore nanti kami gunakan untuk berbenah supaya nanti malam atau besok pagi tidak terburu-buru. Untuk masalah belanja sudah kami lakukan di hari pertama ketika sampai di sini. Semalam kami juga sudah melakukan orientasi kerja, maka pagi hingga sore ini adalah hari bebas sedunia. Mau ngobrol, main, berbenah, semuanya kami lakukan bersama-sama.
Besok Asty minta di jemput oleh suaminya, karena katanya mereka akan melanjutkan untuk menginap semalam lagi di tempat yang lain. Sebenarnya aku juga ingin Bobby bisa menyusulku disini, tapi aku tidak mungkin merepotkan kedua orangtuaku untuk mengantarnya jauh-jauh ke tempat ini. Ya sudahlah, yang penting kemarin sudah aku belikan oleh-oleh khas untuk mereka.
Hari cepat berganti malam. Aku yang mendapat kamar sekamar dengan Asty memutuskan untuk mandi lebih dulu. Kulirik batre di HP sudah full, aku copot kabelnya dan kuputuskan untuk sebentar menelpon Bobby, aku kangen dengan suara kecilnya. Selama kabar yang ia sampaikan tidak ada yang mengkhawatirkan aku merasa tenang untuk melalui malam ini tanpa dia disampingku.
Undangan dari pak Choy kami penuhi tepat waktu. Jam 19.30 kami sudah sampai di restaurant yang dipilihkan pak Choy untuk kami. Semua makanan yang ditawarkan adalah serba seafood. Pak Choy menawarkan pada kami untuk memesan lebih dulu, dan teman-teman mempercayakan pada ku untuk memilihkan menu sebagai santapan malam ini. Asal komplit pasti mereka tidak akan protes. Beberapa menit kemudian pesanan kami sudah mulai dihidangkan. Dan kami larut dalam menu yang menumbuhkan selera makan itu.
“Maaf saya permisi ke rest room sebentar.” pamitku pada yang lain, sesaat setelah acara santap menyantap selesai.
“Saya permisi juga, mau menerima telpon ini.” ujar Asty. Asty mengikutiku sampai ke rest room.
“Sis ntar kembali ke mejanya bareng ya.” bisik Asty sambil memegang HP
“Siip lah.” bersamaan itu aku membuka pintu utama toilet. Dan tidak kusengaja pintu itu menyenggol kursi roda seorang wanita yang hendak keluar dari toilet.
“Maaf.” spontan aku menunduk karena salah.
“Sisca ?” ujar wanita setengah baya itu. Aku mulai memberanikan diri untuk mengangkat kepalaku kembali.
“Tante Edis ?” lama untukku bisa mengingat nya karena setahuku sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan beliau. Tepatnya setelah aku putus dari Sam. Ia melirik ke arah wanita muda yang dengan setia mendorong kursi rodanya itu.
“Gimana kabar kamu ?”
“Baik tante. Tante sendiri bagaimana ?”
“Seperti yang kamu lihat, tulang tua ini sudah tidak bisa diajak kompromi lagi.” sembari ia menepuk-nepuk kakinya. Aku hanya bisa tersenyum tipis.
“O iya kenalkan, ini Tia.” gadis itu mengangguk padaku sambil tersenyum. Aku pun membalas senyumannya.
“Tia ini calon istri Sam.” mendadak petir seperti menyambar di dalam ruang toilet ini. Aku tidak siap dengan semua ini. Berita ini sangat mengejutkanku. Aku bingung harus sedih atau bahagia untuk gadis itu.
“E...Ma...maaf tante. Saya tidak bisa meninggalkan meja lama-lama.” kuurungkan niatku untuk ke toilet yang sudah di depan mata.
“Kok gak jadi ke toilet.” tanya tante Edis.
“Saya hanya ingin menata makeup saja, tapi sepertinya tidak ada yang kurang.” sambil kupegang-pegang wajahku sebagai penekanan.
“Permisi.” Asty yang melihatku setengah berlari keluar dari rest room berusaha mengikutiku dari belakang. Aku dan Asty duduk kembali ke tempat semula.
“Ada apa ?” bisik Asty padaku. Aku hanya bisa menggeleng lemah.
Aku banyak diam malam ini. Aku tidak bisa menikmati hidangan yang masih juga bergulir. Ada buah, puding, es krim, dan yang terakhir salad. Seandainya aku bisa lari dari tempat ini mungkin sudah aku lakukan dari tadi. Aku ingin menangis.
Sesekali kulemparkan pandangan ke seluruh isi restaurant. Tapi dimana Sam ? Apakah ada ruang private lain di restaurant ini yang aku tidak tahu ? Sekali lagi ku lebarkan mata. Akhirnya kutemukan juga. Memang agak jauh letaknya. Meja kami sangat berjauhan. Tapi aku berhasil menemukan sosok Sam. Komplit dengan keluarga besarnya. Ada acara apa gerangan. Apakah ada hubungannya dengan gadis tadi ? Apakah makan malam mereka ini untuk dia dan Sam ? Beberapa pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku. Tak kusangka Asty mengikuti arah pandangku. Dia sama kagetnya denganku, melihat Sam ada diujung sana.
“Ngapain dia disini ?” bisik Asty lagi. Untung teman-teman yang lain sedang ribut sendiri-sendiri jadi kami terhiraukan. Lagi-lagi aku hanya bisa menggeleng. Asty gemes.
“Maaf pak Choy dan teman-teman semuanya, jika tidak keberatan saya ingin meninggalkan tempat ini lebih dulu karena tiba-tiba saya agak kurang enak badan.” pamitku pada pak Choy dan semuanya.
“Oh gak papa kok bu Sisca. Silahkan. Lagian kita emang udah selesai kan?” pak Choy meminta persetujuan teman-teman yang lain. Dan mereka semua kompak mengangguk.
“Kalo gitu saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada pak Choy and company atas liburan yang menyenangkan ini, dan harapan kami semoga kerjasama kita akan tetep langgeng ya pak?” lanjutku. Pak Choy mengangguk-anggukkan kepalanya.
Setelah berpamitan kami pun bersama-sama menuju pintu utama restaurant. Tiba-tiba tanganku dipegang oleh seseorang dari belakang. Ternyata Sam juga sudah mengetahui keberadaanku di tempat ini.
“Lepaskan Sam!”
“Aku bisa jelaskan semua ini.” aku menggeleng.
“Ijinkan aku untuk menjelaskan ini Sis.” Ulang Sam.
“Ayo As kita pulang.” tanpa kulihat wajah Sam. Asty jadi serba salah.
“Ayo As !” seruku. Tapi Asti bergeming.
“Sebaiknya kalian selesaikan ini dulu. Aku bisa pulang bareng anak-anak.” ujar Asty dan kemudian ia berlalu.
Sam masih memegang tanganku. Aku lepaskan dengan paksa dan aku berlari keluar area restaurant dengan jalan kaki. Sam membuntutiku.
“Sisca kita perlu bicara.” aku tak menoleh.
“Sisca !” teriaknya. Kuhentikan langkahku.
“Semua ini tidak bisa aku tolak. Mama menjadi seperti yang kamu lihat sekarang karena aku. Setidaknya ijinkan aku untuk melihat mamaku sehat dulu baru aku akan membawamu ke keluargaku.” dengan cepat aku menolehkan mukaku. Mata kami bertemu. Mataku sudah basah sejak keluar dari restaurant tadi.
“Untuk apa kamu bawa aku kesana hah ?”
“Ya untuk....” sebelum ia selesai menuntaskan kalimatnya aku potong dulu.
“Tia mau kamu kemanakan Sam ?”
“Apa ? Tia itu bukan.... darimana kamu kenal Tia.” kududuk di kursi taman yang tidak jauh dari situ. Tiba-tiba kaki ini merasa letih, tak ada daya untuk melangkah.
“Gak perlu kamu tahu aku kenal dia dari mana dan siapa. Tapi aku sudah tau kalo dia adalah calon istrimu.” aku masih berusaha tenang. Sam berusaha memotong kalimatku.
“Kalopun kamu tidak setuju dengan itu aku yakin pasti keluargamu setuju.” lanjutku. Sam menunduk.
“Mungkin kesembuhan mamamu ada hubungannya dengan itu Sam. Dewasalah, jadilah anak yang baik bagi kedua orangtuamu.” saran yang sebenarnya membuat hatiku sendiri miris. Disaat aku mulai membangun benih-benih cinta untuknya semua ini terjadi. Tapi di dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku harus bersyukur pada Tuhan karena hubungan yang aku bina dengan Sam belumlah terlalu jauh melangkah.
“Tapi Sis.”
“Jadi anda Sisca teman lama Sam ?” tiba-tiba Tia muncul.
“Sejujurnya jika aku tau ini dari awal aku gak akan mau dijodohkan dengannya.” lanjut Tia.
“Aku juga pernah merasakan punya mantan. Tapi kalo kita sampai ingin kembali lagi berarti cinta mereka sebenarnya lebih kuat dari yang dulu. Iya kan?” Tia meminta persetujuan kami.
“Jangan bodoh. Cinta akan bicara lain jika ada sesuatu yang mengikuti di belakangnya.” ujar ku.
“Maksudmu orang tua ?” kata Tia.
“Mau orang tua, saudara atau apa dan siapapun kita gak akan pernah tau. Tapi aku sudah pasrah sejak awal. Jika semua ini tidak bisa berjalan seperti yang kita mau ya mau diapakan lagi ?” lanjutku.
“Sam, jika kita memang tidak bisa bersama aku sudah pasrah kok. Kamu ingat dulu aku pernah bilang apa sama kamu, kamu tuh cuma buang-buang waktu aja sama aku. Dan aku yakin orang tuamu sudah mencarikan jodoh yang terbaik untukmu. Aku dan Bobby sudah siap. Jadi sekarang bukan tangan ini yang akan kamu pilih tapi ini.” aku berikan tangan Sam pada Tia.
“Bahagialah. Karena aku dan Bobby akan bahagia jika melihat kau bahagia.” aku membalikkan badan dan mencegat taksi yang lewat. Kutinggalkan mereka yang masih terpana. Taksi mulai melaju dan akupun menangis.
Asty sudah menanti ku dengan harap-harap cemas. Dia langsung menggandeng tanganku menuju kamar. Aku menangis dalam pelukannya. Malam kelabu.
“Ibu !” itu suara Bobby, aku segera menoleh ke arah suara itu. Dia berlari dan hendak merangkulku.
“Sayang.” aku memeluknya erat. Kulihat mama dan papa sedang menyapa Asty. Pasti Asty yang meminta mereka untuk menjemputku di vila.
“Mama.” bergantian kupeluk mama.
“Sabar ya nak.” aku mengangguk.
“Papa.” kukecup halus punggung tangan yang sudah mulai keriput itu.
“Ma kasih ya mama-papa sudah susah-susah kesini.”
“Untuk anak mama yang paling cantik kenapa tidak, ya pa.” mama meminta persetujuan papa. Papa mengangguk pasti.
“Jadi ibu pulang bareng kita kan ?” tanya Bobby.
“Iya dong sayang.”
“Besok kita ke makam ayah ya bu.”
“Besok kan senin ? Kenapa gak jumat aja seperti biasanya ?”
“Semalam aku mimpi'in ayah. Bobby kangen ayah.” tiba-tiba aku meneteskan air mata. Serta merta kupeluk Bobby.
“Maafkan ibu nak, maafkan ibu.”
“Bobby sudah cukup senang kok punya ibu. Semangat bu, semangat !”
Ya Tuhan. Tegarkan lah kami.
Senin sore di pusara Rey.
Hai lagi Rey. Sepertinya semua tidak berjalan seperti yang aku harapkan. Sekarang aku sendiri lagi. Ya aku sedih, Bobby juga. Tapi karena kau, kami tidak akan amat sangat terpuruk. Semangat Sis, semangat ! Aku yakin Bobby akan belajar dari pengalaman ini. Aku ingin dia menjadi anak yang tegar, Rey. Kamu sudah janji sama aku akan menata kembali hati yang sakit ini kan Rey? Aku tunggu ya obat dari kamu.
“Kamu datang Rey ?”
“Ini untuk istriku yang paling aku cintai.”
“Wow rose. Kamu masih ingat aja hadiah favoritku.”
“Ini obat pemberi semangat dari ku. Jangan sedih lagi ya.”
“Ma kasih Rey.”
“Jaga anak kita ya. Dia memang masih kecil tapi pengalaman hidupnya akan menjadikannya dewasa.”
“Iya. Aku sayang sekali dengannya.”
“Baik-baik ya sayang.”
Aku terbangun dari tidurku. Mimpi ini sudah berakhir. Tapi kenapa bunga mawar ini benar-benar nyata. Dari mana datangnya ?
“Pagi Sis.”
“Mama ?” sosok mama di kamarku ini mengagetkanku.
“Cantik kan bunganya ?” aku mengangguk.
“Itu Bobby yang siapkan untukmu.”
“Hah ?” aku kaget.
“Selamat ulang tahun ya nak.” jadi, hari ini ulang tahunku ?
“Ma kasih ma. Mana Bobby?”
“Dia lagi ribet di ruang makan, katanya mau siapkan cake cantik untukmu.” aku bergegas hendak keluar dari kamar.
“Eit, mau kemana?”
“Keluar?”
“Bobby minta ibunya mandi dulu kalo mau keluar kamar. Sana gih.” aku tersenyum kecut. Dasar anak kecil.
Ternyata hari ini keluargaku mengadakan pesta kecil untukku di rumah. Bobby mengaku menjebol uang celengannya untuk membelikanku bunga mawar dan bahan roti di minimarket dekat sekolahnya. Hari ini aku bahagia sekali. Untuk pertama kalinya sejak kejadian bandungan itu aku bisa tersenyum lagi. Terima kasih ya Tuhan. Terima kasih Rey. Terima kasih anakku.
Aku sedih. Mama dan papa sudah terlampau jauh mencampuri urusan pribadiku. Aku sudah memenuhi permintaan mereka ke bandungan dalam rangka demi kesehatan mama, tapi apa yang mereka lakukan padaku. Mereka mengundang Tia juga di hari terakhir kami di sana.
“Sam, mama pengen kamu akrab dengan Tia. Jadi mama bawa serta ia kesini.”
“Untuk apa?”
“Siapa tau kalian bisa memenuhi apa yang mama dan papa inginkan?”
“Mama ingin aku menikah dengannya?” mama hanya tersenyum.
“Kalaupun masih nanti-nanti, tapi setidaknya kalian penjajagan dulu. Iya kan?”
“Ma, berapa kali lagi sih Sam harus jelaskan ke mama. Sam gak bisa.” mama pasang muka sedih. Aku mendesah.
“Ya udah sekarang mau mama apa?” wajahnya kembali tersenyum. Mama seperti anak kecil aja yang bisa langsung tersenyum jika keinginannya terpenuhi. Mama menyampaikan isi hatinya padaku. Dengan berat hati aku jalankan keinginan mama. Hanya untuk malam ini. Hanya malam ini.
Restaurant yang papa pesan adalah restaurant seafood. Sebenarnya aku suka seafood hanya saja aku jadi kurang minat makan malam ini. Kulihat Tia bisa membawa diri dalam keluargaku. Dia bisa cepat akrab dengan semuanya yang ada disini. Aku yakin Sisca pasti juga bisa melakukan hal yang sama jika diberi kesempatan yang adil.
“Kok makannya cuma dikit? Gak kayak yang waktu di pesta tante Felice dulu.” canda Tia.
“Udah kenyang.” ujarku, singkat.
“Wah sayang ya, padahal aku pesankan makanan kesukaanmu di akhir hidangan nanti.”
“Emang kamu tau apa tentang aku.” Aku berusaha tidak terlalu keras padanya. Karena aku yakin dia juga hanya korban disini, sama denganku.
“Tia, bisa antar tante ke toilet sebentar?” potong mama.
“Mama nih manja ya sama calon mantu ?” seloroh papa. Tia hanya tersenyum.
“Mari tante, Tia antar. Permisi sebentar ya om, Sam.” pamit Tia sembari mendorong kursi roda mama menuju toilet wanita.
Setelah mereka berlalu, papa mulai memprotes tingkah laku ku.
“Jangan kaku-kaku amat dong Sam.” papa merajukku. Aku hanya bisa melenguh.
Tidak lama kemudian mama dan Tia sudah kembali ke meja makan. Kami pun melanjutkan obrolan yang penuh basa basi ini.
“Tadi mama bertemu dengan seseorang yang dia kenal di toilet.” bisik Tia padaku, tiba-tiba.
“Siapa ?” aku agak terkejut dengan berita ini, karena Tia sampe berbisik segala.
“Katanya namanya Sis....Sisca. Ya Sisca.” aku memandang lekat wajah Tia. Lalu....
“Ma, pa aku permisi sebentar.” tanpa menunggu lagi aku segera mencari keberadaan Sisca. Dan akhirnya aku menemukan dia di pintu utama setelah aku putari restaurant yang cukup luas ini. Segera kugapai tangan Sisca dari belakang.
“Lepaskan Sam.” ujarnya kaget.
“Aku bisa jelaskan semua ini.” dia hanya menggeleng.
“Ijinkan aku untuk menjelaskan ini Sis.”
“Ayo As kita pulang.” ujar Sisca pada Asty.
“Ayo As !” serunya. Tapi Asti bergeming.
“Sebaiknya kalian selesaikan ini dulu. Aku bisa pulang bareng anak-anak.” ujar Asty sambil berlalu. Dan aku masih memegang tangan Sisca. Dia lalu melepas paksa tanganku dan berlari keluar area restaurant. Aku mengikutinya.
“Sisca kita perlu bicara.” seruku.
“Sisca !” dihentikannya langkahnya.
“Semua ini tidak bisa aku tolak. Mama menjadi seperti yang kamu lihat sekarang karena aku. Setidaknya ijinkan aku untuk melihat mamaku sehat dulu baru aku akan membawamu ke keluargaku.” dengan cepat ia mengalihkan pandangannya padaku. Matanya basah dengan air mata.
“Untuk apa kamu bawa aku kesana hah ?” serunya.
“Ya untuk....” sebelum aku selesai menuntaskan kalimat itu dia sudah memotongnya lebih dulu.
“Tia mau kamu kemanakan Sam ?”
“Apa ? Tia itu bukan.... darimana kamu kenal Tia.” ia duduk di kursi taman yang tidak jauh dari situ. Perasaan, Tia tadi tidak cerita kalau ia juga sempat berkenalan dengan Sisca.
“Gak perlu kamu tau aku kenal dari mana dan siapa. Tapi aku sudah tau kalo dia adalah calon istrimu.” aku berusaha memotong kalimatnya.
“Kalopun kamu tidak setuju dengan itu aku yakin pasti keluargamu setuju.” aku hanya bisa menunduk.
“Mungkin kesembuhan mamamu ada hubungannya dengan itu Sam. Dewasalah, jadilah anak yang baik bagi kedua orangtuamu.” aku tidak bisa melihat keikhlasan pada kalimat itu.
“Tapi Sis.”
“Jadi anda Sisca teman lama Sam ?” tiba-tiba Tia muncul. Sejak kapan ia berdiri di situ.
“Sejujurnya jika aku tau ini dari awal aku gak akan mau dijodohkan dengannya Sis.” lanjut Tia.
“Aku juga pernah merasakan punya mantan. Tapi kalo sampai kita ingin kembali lagi berarti cinta mereka sebenarnya lebih kuat dari yang dulu. Iya kan?” Tia meminta persetujuan kami.
“Jangan bodoh. Cinta akan bicara lain jika ada sesuatu yang mengikuti di belakangnya.” ujar Sisca.
“Maksudmu orang tua ?” kata Tia.
“Mau orang tua, saudara atau apa dan siapapun kita gak akan pernah tau. Tapi aku sudah pasrah sejak awal. Jika semua ini tidak bisa berjalan seperti yang kita mau ya mau diapakan lagi ?” lanjut Sisca.
“Sam, jika kita memang tidak bisa bersama aku sudah pasrah kok. Kamu ingat dulu aku pernah bilang sama kamu, kamu tuh cuma buang-buang waktu aja sama aku. Dan aku yakin orang tuamu sudah mencarikan jodoh yang terbaik untukmu. Aku dan Bobby sudah siap. Jadi sekarang bukan tangan ini yang akan kamu pilih tapi ini.” Sisca memberikan tangan ku pada Tia.
“Bahagialah. Karena aku dan Bobby akan bahagia jika melihat kau bahagia.” Sisca berlalu.
Aku benar-benar dibuatnya mati kutu. Aku tidak tau harus bagaimana. Aku memang lelaki lemah, tak tahu diri dan jahat. Aku tidak menjaga hati wanita yang aku cintai. Malah aku biarkan ia pergi seorang diri. Aku menangis. Ya aku menangis. Tia menawarkan tisu padaku. Apa yang harus aku lakukan, ya Tuhan ?!
“Ini kan yang mama dan papa mau? Puas kalian melihat aku begini?” seruku pada orang tuaku setelah kami sampai di vila.
“Sam, mama tidak bermaksud....” aku potong kalimat mama.
“Mama jangan bohong, Tia sudah cerita semuanya ke aku. Dan mama memperkenalkan Tia padanya sebagai calon istriku kan? Iya kan ma?” mama menunduk. Aku terlalu keras padanya. Aku melenguh.
“Jangan kasar pada mamamu Sam.” sentak papa.
“Aku hanya berusaha menjadi anak yang baik disini. Biar mama-papa senang. OK. Aku akan menuruti segala kemauan kalian. Kalau itu akan membuat kalian tambah puas. Tapi ingat aku melakukan ini hanya untuk Sisca, karena dia yang memintaku untuk menjadi anak yang baik bagi kalian.” aku tinggalkan mama dan papa sendirian. Sayup-sayup kudengar mama menangis. Aku tidak bisa berpaling ke belakang. Karena akupun ingin menenangkan hatiku yang telah hancur berkeping-keping. Maafkan aku Sisca. Maafkan om, Bobby. Aku malu bertemu kalian lagi. Aku sedih tidak bisa menjadi bagian dari kalian lagi.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda