Kamis, 29 Januari 2009

Wira BabyShop

Akhirnya satu mimpi menjadi kenyataan.


Berkat dukungan keluarga & anugerah Allah SWT, terwujudlah toko mungil nan cantik di Ungaran yang menjual peralatan bayi. Sebenarnya usaha ini udah aku rintis lama, tapi rejeki belum memungkinkanku untuk menyewa toko di luar, alhasil rumah dirombak sama papa untuk simpan & jual peralatan bayi itu.


Lama juga coba cari kontrakan / ruko yang cocok sama selera hati (maklum yang punya toko orang banyak jadi tergantung hati orang banyak juga). Setelah lama menunggu akhirnya ada tulisan juga di area USG toko "dikontrakan". Langsung buru-buru aku kontak si empunya & nego goal. Maka 2 bulan yang lalu dimulailah perombakan toko berikut perbaikannya.


Terimakasih tak terhingga pada Allah SWT, mama-papa, kakak-ipar, adek, & handai taulan yang gak bisa aku sebut namanya satu persatu, yang jelas tanpa Allah & mereka-mereka ini aku belon punya toko se indah ini sampai sekarang.


Maklum aja tokonya kecil, ukuran 3 x 4 m, jadi bingung juga mau ngatur nya, setelah dibolak-balik, diangkat & diatur sedemekian rupa terciptalah maha karya sang desainer dadakan.







jual batik juga




Brownies Kukus Keju

Project pertamaku pake cream cheese, lumayan bisa dinikmati alias gak gagal-gagal amat. Aku pake resepnya pak Sahak, ini nih :


Brownies Kukus Keju Source : Sahak Pribadi

Bahan :

Bahan A :Telur 3 butirGula, 100 gramTBM 1 sdm

Bahan B :Tepung terigu 60 gram, Maizena 20 gram, Garam 1 sdt, Susu bubuk 40 gram

Bahan C :250 cream cheese 50 – 100 gr butter

Cara Membuat :

1. Kocok bahan A sampai mengembang.

2. Masukan bahan B lalu aduk sampai rata.

3. Kocok bahan C sampai halus kemudian masukan keadonan lalu aduk sampai rata.

4. Tuang keloyang lalu kukus kurang lebih 20 menit.



Rabu, 28 Januari 2009

Rose oh Rose

Gini nih hebohnya belajar bikin rose sama akang Rudi Nasrudin......seru......kotor......brisik (karena pesertanya cewek semua).......PUAS !!!!!!!!



The Chef








Rabu, 21 Januari 2009

Selamanya Cinta Part 4

he’s coming back……again !!!


Beberapa tahun kemudian.


Hari-hari kami jalani dengan suka cita berdua. Bobby sudah mau masuk SD, sekarang dia sudah 7 tahun. Dan aku masih enjoy dengan pekerjaan ku di advertising ini. Dan Asty kini telah menjadi partner ku satu divisi. Asyik sekali bisa kerjasama dengannya. Asty itu orangnya cerdas. Sering juga ide-ide canggihnya muncul disaat-saat terakhir jika kita semua sedang suntuk dan kehabisan ide.

Untuk masalah Sam. Sejak kejadian Kids fun itu tidak pernah ku dengar beritanya lagi. Bahkan pada saat kami menyelesaikan kontrak kerja dengan perusahaannya hanya Satrio yang lebih banyak bertemu muka dengan kami. Pernah aku berniat untuk menanyakan kabarnya melalui Satrio tapi aku urungkan niat itu jika aku mengingat kejadian di Kids fun saat itu bahwa akulah yang menginginkan dia untuk menjalankan kehidupannya sendiri tanpa kami.

Bobby pernah satu kali menanyakan kabar Sam padaku. Dan aku katakan padanya kalau om Sam nya saat ini sedang bekerja di luar negeri. Bobby pun sempat protes kenapa Sam tidak berpamitan padanya. Aku cuma bisa mengingat di malam itu Sam pernah mencium kening Bobby, mungkin itulah salam perpisahannya padamu, nak. Hanya kamu tidak merasakannya.

Pagi ini aku berencana antar Bobby ke sekolah pertamanya. Lengkap dengan seragam merah putihnya ia terlihat gagah seperti ayahnya. Rey kamu pasti bangga dengan Bobby sekarang. Dia tidak pernah menyusahkanku, termasuk dalam mendapatkan sekolah yang favorit sekalipun. Berkat otaknya yang encer segala tes masuk sekolah dasar bisa ia lalui dengan mulus. Walau sedikit jauh dari rumah tapi aku merasa aman dan percaya jika nantinya Bobby akan pulang dan pergi menggunakan jemputan sekolah.

Lapangan sekolah sudah dipenuhi anak-anak berseragam yang sama dengan Bobby. Ternyata tidak cuma aku yang mengantarkan anaknya pertama kali sekolah. Sementara aku asyik melihat keramaian yang ada ternyata Bobby lebih tertarik untuk melihat ke satu sudut dimana ada seorang anak seusianya yang diantar oleh kedua orang tuanya. Ya orangtuanya utuh. Ada ayah dan ibunya. Kupalingkan segera Bobby dari pandangannya itu.

“Sayang.....” sebelum aku sempat menyelesaikan kalimat ku Bobby sudah memberikan jari telunjuknya di depan bibirku.

“Bobby gak papa kok bu. Ibu gak usah sedih ya.” kedua tangan mungil itu memelukku.

“Sekarang Ibu pulang aja, ntar pulangnya Bobby bisa sama temen-temen yang lain naik jemputan.”

“Bener gak papa kalo Ibu tinggal ?” Bobby mengangguk dengan senyum terkembang. Kukecup kedua pipi anak tercintaku. Dan tidak lupa berpesan untuk selalu berhati-hati. Aku sempat selipkan beberapa nomor telpon penting yang bisa ia hubungi jika terjadi apa-apa di jalan. Termasuk di dalamnya nomor telponku dan nomer rumah mama dan papa.


Sampai di kantor aku dikejutkan dengan sebuah undangan cantik berwarna pink di meja kerjaku. Undangan siapa ya ? tanyaku dalam hati. Sudah kubolak-balik tetep saja tidak aku temukan nama pasangan yang sedang berbahagia itu. Dengan rasa penasaran aku buka plastik dan amplopnya. Hampir tak percaya, aku temukan nama Asty dan Priambodo di dalam undangan itu.

“Allen....Allen...” panggilku pada asisten kesayanganku.

“Ya! eh mbak sudah datang.”

“Iya, agak pagi ya, soalnya aku habis anter Bobby sekolah.” aku biasanya baru masuk kantor jam 9 atau 10 an. Ini rekor terbaikku setelah jabatan manager ku pegang.

“O iya ya sekarang dek Bobby sudah sekolah.”

“Siapa yang taruh undangan ini disini ? Apa Asty sendiri ?”

“Bukan mbak, mulai hari ini mbak Asty cuti sampai dengan hari pernikahannya nanti. Tadi yang taruh di situ si Gimin, office boy baru.”

“OK, aku akan telpon Asty. Makasih ya Allen.”

“Ya mbak, sama-sama.”

Segera ku dial nomer Asty melalui HPku.

“Hallo...” suara Asty terdengar disana.

“Apa-apa'an ini As ? Kamu anggep aku apa ? Emangnya sekarang kamu gak anggep aku sahabatmu lagi ya. Kalo gitu aku gak akan datang ke pernikahanmu nanti.” semprotku, tiba-tiba.

“Maaf say, aku memang sudah merencanakan ini lama, tapi aku gak ada nyali untuk cerita ke kamu. Kamu masih ingat waktu aku menanyakan tentang Pri padamu ?”

“Iya, emang kenapa?”

“Kamu bilang kalau Pri adalah cowok yang tepat untukku.”

“Iya terus.”

“Setelah kamu bilang itu aku baru berani menjawab lamarannya.”

“Ya ampun itu kan baru beberapa bulan yang lalu.”

“Emang.”

“Kok kamu gak cerita kalo dia nglamar kamu. Dan kok secepat ini As?”

“Kalo kamu aja mantap aku bersanding dengan Pri kenapa aku harus mundur?”

“Kamu ini ya.”

“Tapi kamu restuin kami berdua kan, Sis ?”

“Iya tapi aku tetep gak akan datang.”

“Kok gitu sih.”

“Habis kamu aneh sih, semuanya serba diam-diam.”

“Aku emang gak merencanakan acara besar untuk pernikahan ini.” sebentar kulirik alamat yang tercantum pada undangan. Ternyata Asty mengadakan ini di rumahnya di Bekasi.

“Rumahku jauh Sis, jadi cuma beberapa orang aja yang aku kasih undangan, dan aku berharap banget kamu bisa datang bersama Bobby.” Huh ! aku melenguh. Aku merasa bersalah pada Asty karena tidak bisa membantu banyak untuk acara sakralnya itu.

“Apa yang bisa aku bantu As?” tawarku.

“Gak perlu, aku cuma pengen kamu bisa dateng pas ijab ku nanti. Eh udah dulu ya, di belakang lagi ribet nih. Dah sayang...” Asty menutup telponnya.

Sebentar lagi aku akan ditinggal oleh sobat terdekatku. Entah aku harus merasa bahagia atau sedih.


Bobby banyak bercerita tentang pengalaman pertamanya di sekolah. Tak henti-hentinya dia bercerita tentang beberapa teman-teman dan guru-guru barunya. Sambil makan malam aku sempatkan untuk bercerita tentang undangan pernikahan Asty padanya.

“Bobby, tante Asty mau nikah, sayang.”

“O ya bu ?”

“Iya, dan tante Asty minta kita untuk kesana akhir minggu ini.”

“Kemana ?”

“Kerumah tante Asty dong yang di Bekasi.”

“Terus sekolah Bobby gimana ?”

“Kita naik pesawat yang Sabtu sore aja, jadi kamu kan udah kelar sekolahnya. Terus baliknya dari sana Minggu sore, jadi gak ganggu sekolah yang hari Senin. Gimana, setuju gak?”

“Gak papa. Daripada aku ditinggal sendirian di rumah kan mending liburan ama ibu di Bekasi.” kuusap lembut kening Bobby.

Dia sudah semakin besar. Jalan pikirannya juga semakin maju. Kadang aku aja heran jika protes-protes kecil keluar dari mulut mungilnya itu. Anak ku sudah makin pintar sekarang.


Di suatu tempat yang lain.

“Sam, mama sudah pengen lihat kamu menikah dan papa mu juga sudah gak sabar pengen menimang cucu, darah dagingmu, nak.” ujar mama.

“Sabar dong ma, kan aku juga laki-laki normal yang pasti pengen juga nikah dan punya anak. Tapi gak sekarang ya.” protesku. Sambil ku tepuk pundak mama dengan halus.

“Apa yang kamu tunggu nak?”

“Jodohnya belum turun nih.” jawab ku sekenanya. Maklum aku adalah anak tertua di keluarga jadi pada siapa lagi kedua orang tua ku harus menuntut agar segera di beri cucu. Karena adik-adik ku saat ini masih menyelesaikan sekolahnya jadi hanya aku tempat mereka memohon.

“Kalau papa kenalkan dengan anak relasi papa gimana ?” tawar papa.

“Mulai deh. Kenapa sih mama-papa kok jadi semangat begini. Sam tuh masih bisa cari jodoh sendiri. Ntar kalo udah dapet juga Sam kenalkan ke mama dan papa.”

“Tapi kapan ?” elak mama. Aku hanya diam.

“Kamu jangan egois nak. Pikirkan juga usia mama dan papa sekarang. Kalau papa keburu dipanggil Tuhan gimana.”

“Papa kok ngomongnya gitu sih.” mama yang protes.

“Habis anak kamu itu kalo gak dipukul dulu belum jalan.”

“Kalo sekarang Sam bilang Sam udah punya calon gimana?”

“Siapa ?” tanya mama antusias.

“Masih kenal sama Sisca?” Aku memang masih belum bisa melupakan cinta pertama ku itu.

“Yang dulu pernah dekat sama kamu tapi kamu putusin karena kamu mau ke Amerika itu ?”

“Tepat. Mama memang pinter.”

“Emang kamu ketemu lagi dengan dia ?” ujar papa sambil meneguk secangkir kopi hangat. Aku hanya mengangguk karena mulut ku penuh dengan roti isi, menu sarapan pagi. Padahal langit di luar sana sudah tidak lagi pagi, tapi siang yang lumayan panas. Itu karena aku bangun kesiangan jadi menu sarapan kubabat habis di saat makan siang.

“Dimana dia sekarang ? Sudah kerja juga ?” cecar mama.

“Perusahaan tempat dia bekerja pernah beberapa kali bantu kita untuk buat iklannya.”

“O di advertising ?” ujar papa. Aku kembali mengangguk dan meneguk segelas susu coklat dari gelas panjang.

“Kapan mau kamu ajak kesini ? Mama sudah gak sabar nih pengen ketemu.” Aku hampir tersedak.

“Sabar dong ma, kok buru-buru.”

“Kembali ke pokok permasalahan Sam. Semuanya harus serba instant. Lihat dong umur mu, kamu mau jadi perjaka terus ?”

“Iya deh manut. Ntar Sam kabarin ya.” sambil ngeloyor keluar menuju garasi serta tidak lupa ku kecup kedua pipi mama.


Terpikir oleh ku pembicaraan itu di mobil ketika aku hendak berangkat kerja. Aku membuka labirin dalam hati ku yang telah lama mati. Kira-kira apa komentar mama jika ia tahu bahwa Sisca bukanlah seperti yang ia kira. Apa yang akan terjadi pada mama dan papaku tahu anaknya akan menikahi seorang janda beranak satu. Ciiiiitttttttttttttt.................. Gara-gara melamun, mobil ku hampir menabrak seorang anak kecil yang sedang menyeberang jalan. Anak itu terlihat tergesa-gesa.
Bobby.........benarkah itu Bobby. Aku segera keluar dari mobil.

“Bobby..........” teriak ku. Si anak menoleh ke arah suara ku. Dengan kening sedikit berkerut seperti sedang berpikir keras, akhirnya tak lama kemudian senyum manis terkembang dari bibir si anak.

“Om Sam ?” ternyata aku tidak salah terka.

“Ada apa kamu disini ? Maaf kalo tadi om gak sengaja mau tabrak Bobby.”

“Gak papa kok om, Bobby yang salah. Bobby buru-buru, soalnya jemputan sekolah Bobby mogok jadi Bobby harus jalan kaki ke rumah. Toh udah deket. Diperempatan situ nanti bisa naik ojek.”

“Ya udah kalo gitu om antar ya ?” Bobby terlihat senang.

“Yuk.” ku tarik tangan Bobby untuk segera masuk ke dalam mobil, karena cuaca mulai terik.

“Ma kasih ya om.” ujar Bobby setelah mobil berjalan. Ku usap lembut kening Bobby.

“Emang kamu mau kemana kok buru-buru ?”

“Ibu mau ajak Bobby ke nikahan tante Asty di Bekasi. Rencananya naik pesawat yang jam 2 an. Kalo Bobby telat bisa berabe kan.” O jadi Sisca mau ke Jakarta.

Setelah sampai di depan rumah Sisca.

“Om masuk dulu yuk, pasti Ibu akan senang kalo ketemu om lagi. Emangnya kapan sih om pulang dari luar negri, oleh-olehnya mana?” tangan mungil Bobby terjulur di hadapan ku. Awalnya aku sedikit bingung, tapi akhirnya sadar juga. Pasti Sisca cerita ke Bobby kalau aku pergi keluar negeri untuk waktu yang lama.

“Oleh-olehnya masih om simpan rapi di lemari, khusus untuk Bobby.” sambil ku raih tangan Bobby dan meletakkannya kembali ke pangkuan Bobby.

“Om ikut aja ke Bekasi. Ntar kita bisa main bareng disana, kan males lihat orang nikahan, pake bahasa jawa lagi, Bobby gak ngerti artinya.” untuk bagian yang itu Bobby mengecilkan suaranya karena takut ibunya dengar bahwa sebenarnya dia tidak terlalu minat untuk ikut ke Bekasi. Aku terdiam untuk sesaat.

“Bobby...”

“Ya...”

“Gimana kalo kita main sandiwara ?” kubisikkan sesuatu ke telinga Bobby. Kadang terlihat Bobby tertawa kecil mendengar apa yang kubisikkan padanya. Setelah itu kami tutup dengan berjabat tangan.

Aku tidak mengantar Bobby hingga ke dalam, aku tidak ingin Sisca melihatku. Aku dan Bobby telah menyiapkan suatu rencana besar untuknya. Apa ini yang dinamakan jodoh ya. Aku hampir menabrak Bobby ketika aku melamun di mobil karena sedang memikirkan Sisca. Semuanya begitu berhubungan. Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum tipis di bibir. Ku bawa mobil meluncur pulang. Aku tidak jadi ke kantor dan sebentar lagi aku akan telpon sekretaris ku untuk membatalkan semua meeting hari ini karena aku sedang diluar kota.


Bandara sore ini lumayan ramai. Banyak orang lalu lalang. Mulai dari pengantar, penjemput sampai orang yang hendak terbang pun tidak keliatan perbedaannya. Sambil menunggu waktu boarding aku mulai membaca novel favoritku, sebentar ku lirik Bobby di sebelahku, dia juga sedang asyik dengan gamewatch di tangannya. Asty berjanji akan menjemputku di bandara sesampainya aku di Jakarta. Biar aja si manten yang menjemput soalnya dia udah membuatku kaget di awal minggu dengan undangan pink nya. Toh acaranya masih besok jadi masa pingitannya aku jebol dulu.

“Permisi....permisi....eh...maaf....” suara itu.....??

Kulihat sosok seorang cowok yang ribet dengan bawaannya karena harus melewati gerombolan orang yang memenuhi jalan umum. Suara itu tidak asing bagiku, tapi.....kok dada ini bergemuruh. Seperti kala..........

“Oh maaf, maaf ya dik.” laki-laki itu menabrak tas ransel Bobby.

“Gak papa kok om.” laki-laki itu kemudian melepas kacamata hitamnya.

“Sam......” suara ini seperti kupaksakan keluar dari mulutku. Tercekat. Lirih.

“Bobby, Sisca ! Kalian rupanya.” kulirik Bobby, ekpresinya datar, apakah mungkin ia lupa siapa Sam.

”Hei, Bobby, kamu sudah gede ya. Kok manyun. Lupa ya sama om.” Bobby seperti berpikir keras.

“I.......” aku urungkan niatku untuk menjelaskan siapa Sam ke Bobby. Akhirnya Sam sendiri yang menjelaskan lagi siapa dirinya ke Bobby.

“Ini om Sam, sayang. Dulu kita pernah main ke Kids fun sama-sama. Emang sih udah lama banget. Kamu masih belum ingat ya.” Bobby mengenggam erat tanganku, seperti orang ketakutan.

“Maaf Sam, mungkin dia lupa. Wajar kan dulu dia masih 4 tahun.” terangku. Sam kelihatan sedih. Bobby lupa padanya. Dan Bobby masih berusaha mengingat semuanya.

“Maaf Sis. Kalo gitu aku permisi dulu ya.” entah kenapa kepalaku ini main angguk aja. Padahal sejujurnya aku senang sekali bisa bertemu dengan Sam lagi.

Sesaat setelah beberapa langkah kaki Sam menjauh.

“Om Sam !” teriak Bobby. Ia berlari menuju tempat Sam kini berdiri. Kemudian memeluknya. Saking tingginya sampai Sam harus berjongkok untuk meraih rengkuhan Bobby. Ternyata dia sudah mulai ingat. Aku tersenyum tipis.

“Jadi kamu udah ingat sama om. Tadi om sedih banget lho.” Bobby mengangguk pasti.

Untuk beberapa saat terlihat mereka asyik mengobrol. Tapi sayangnya aku tidak bisa mendengarnya, karena suara keributan bandara di sekitarku mengalahkan segalanya. Kemudian mereka bergandengan menuju ke arahku.

“Bu, om Sam ternyata juga mau ke Jakarta lho. Apa kita satu pesawat ?” tanya Bobby pada Sam.

“Jam 2.15 kan?” aku mengangguk. Senyum Bobby mengembang.

Tak lama kemudian pengumuman boarding pun berkumandang di bandara ini. Ku raih seluruh barang bawaanku yang terdiri dari satu tas plastik besar, oleh-oleh untuk Asty, satu koper besar sudah aku titipkan di bagasi pesawat. Bobby membawa satu tas ransel yang berisi segala macam snack dan mainan, supaya tidak bosan selama perjalanan. Kulihat Sam juga membawa dua tas plastik besar, entah isinya apa. Kami memasuki badan pesawat bersama.

Aku mulai memeriksa tempat duduk. Setelah mendapatkannya aku mulai menaruh barang di bagasi atas.

“Maaf tante, boleh gak kalo om saya tukar tempat duduk sama tante. Saya sudah lama tidak ketemu sama dia, saya kangen sekali. Boleh ya tante.” tanya Bobby pada seorang gadis muda yang hendak duduk disebelah kami. Aku memandang wajah Bobby dan wajah gadis muda itu bergantian. Gadis itu mengangguk setelah melihat wajah memelas Bobby. Bobby berlari mendekati Sam dan menggandeng Sam untuk duduk bersama kami. Aku dan Sam saling berpandangan dengan wajah serba aneh.

“Kita ikuti saja maunya Bobby ya?” bisik Sam padaku. Aku tersenyum tipis.

Bobby memaksaku untuk masuk lebih dulu, jadi sekarang aku bersebelahan dengan jendela. Tempat favorit Bobby. Kemudian Bobby menyusulku baru Sam. Demi Sam, Bobby rela memberikan tempat duduk favoritnya padaku. Di sepanjang perjalanan mereka terus dan terus mengobrol. Bobby berbicara padaku hanya untuk berpamitan ke toilet.

“Bobby sudah gede bu, jadi gak perlu dianter segala. Malu.” itu kata Bobby ketika aku menawarkan untuk mengantarnya ke toilet seperti biasanya ketika berada di pesawat. Mungkin aku harus sadar bahwa Bobby memang sudah besar sekarang.

“Ada acara juga di Jakarta ?” tanyaku pada Sam, sesaat setelah Bobby meninggalkan kami.

“Kebetulan udah lama gak tengok eyang disana.”

“Sendirian ? Gak sama keluarga yang lain ?” tanyaku penuh selidik.

“Iya sendirian, seperti yang kamu lihat sekarang. Mumpung kerjaan lagi gak banyak, kan gak ada salahnya mengingat saudara yang jauh.” aku cuma manggut-manggut. Aku memang tidak tahu kalau Sam masih punya nenek di Jakarta.

“Gimana kabar om Win sama tante Edis ?”

“Baik, mereka baik.” percakapan ini lumayan canggung. Mungkin karena kami sudah lama tidak bertemu.

“Kamu kelihatan sehat Sis. Bobby juga.”

“Iya. Aku gak tau nih mesti ngobrol apa soalnya tadi aku dengar Bobby udah cerita semuanya.”

“Hi....hi...hi....iya, dia sebenarnya kayak ibunya. Ceriwis.” serta merta aku pasang wajah protes. Tak lama kemudian Bobby muncul lagi. Kali ini dia mendesak Sam untuk pindah di tengah agar dia leluasa mondar-mandir ke toilet.

“Emangnya kamu kenapa Bob ? Sakit perut ?” tanya ku dengan badan sedikit condong ke depan karena Sam menutupi pandanganku ke Bobby.

“Gak papa kok bu. Cuma tadi aku milihnya makanan yang manis-manis jadi hawanya pengen ke belakang terus.” Sam menatap ku. Aku membuang muka.

Aku mulai kembali menekuni novelku tapi entah kenapa mata dan kepala tidak mau jalan beriringan. Mataku sejurus ke novel tapi pikiranku melayang kemana-mana. Apakah ini karena aku duduk bersebelahan dengan Sam. Aku melenguh. Aku hanya berharap semoga perjalanan ini segera berakhir. Aku coba untuk pejamkan mata tapi susah juga. Aku hanya bisa mengalihkan pandanganku keluar jendela. Awan putih bergumpal-gumpal diluar sana. Hari ini cuaca sangat cerah.


Asty melambaikan tangannya. Serta merta kupeluk ia.

“Akhirnya datang juga. Aku takut hadapi ini sendirian Sis.”

“Kenapa mesti takut kan ada Pri. Mana dia ?”

“Tuh.” Asty menunjuk calon suaminya yang ternyata telah menyapa Sam dan Bobby lebih dulu.

“Kenapa gak bilang-bilang kalo ada cowok dewasa yang bareng sama kamu kesini heh ?” Senyum nakal Asty menyeringai sambil memberi penekanan pada kata pria dewasa yang ia tujukan untuk Sam.

“Asal kamu ya. Kalo bukan karena permintaan Bobby mana mungkin aku ajak dia kesini. Lagian emang dia mau ke Jakarta kok, tapi bukan untuk ke kawinan mu.”

“Mau kemana dia ?”

“Katanya sih ada neneknya di sini.”

“Disini ?” aku manggut-manggut. Asty juga jadi ikutan manggut-manggut.

“Hai Sis ?” Pri menyalamiku. Aku memang sudah beberapa kali bertemu dengan calon suami Asty ini jadi sudah tidak ada rasa canggung. Aku menerima Pri sebagai satu paket dengan Asty. Toh akhirnya mereka akan menjadi suami istri juga.

“Ada pak Sam juga nih disini ?” seru Asty centil. Kulihat senyum Bobby juga menyeringai. Ada konspirasi apa ini ?

“Iya. Tadi gak sengaja kita ketemu di bandara dan satu tujuan ke Jakarta. Jadi satu pesawat deh.” Sam meminta persetujuanku. Aku manggut-manggut mengikuti nya. Asty mengacak-acak rambut Bobby. Biasanya Bobby akan protes dibegitukan oleh Asty, tapi kali ini dia terlihat pasrah tetap dengan senyum terkembang.

“Maaf nih kalo saya bawa mobil kecil. Habis saya kira cuma dua orang yang dari Semarang eh ternyata tiga orang.” sela Pri.

“Gak papa kok, lagian arah kita dengan Sam kan beda. Pasti udah ada orang yang akan jemput kamu kan?” tanyaku pada Sam. Memang sedikit mengusir tapi cuma itu yang bisa aku lakukan di depan temanku dan Bobby.

“Eh, iya. Aku udah ada yang jemput kok. Jangan kuatir.” Senyum Sam terlihat dipaksakan. Seperti ada kebingungan di dalamnya. Jangan-jangan dia bohong sama kami kalo punya nenek disini.

“OK, kalo gitu kita pisahan disini aja. Kasihan yang mau jadi manten besok, bisa masuk angin.” mataku membelalak pada Asty supaya dia mengikuti usulku ini.

“Iya maaf nih pak Sam. Orang rumah udah pada nunggu.” Asty memasang senyum malu-malu kucingnya.

“Silahkan. Tapi jangan panggil saya pak Sam dong, cukup Sam saja ya.” Asty dan Pri mengangguk setuju. Sam berjongkok di depan Bobby.

“Bobby, kita pisah dulu disini ya. Jaga baik-baik Ibu kamu.” Sam mengusap lembut kening Bobby. Bobby seperti tidak ikhlas meninggalkan Sam. Kutinggalkan mereka ngobrol sebentar sembari kumasukkan koper kedalam mobil sedan merah milik kerabat Pri yang tinggal di Jakarta. Setelah semua beres.

“Ayo Bobby. Kasihan tante Asty dan om Pri dong.” seruku pada Bobby.

“Iya bu.” Bobby berlari meninggalkan Sam yang masih berdiri memandang kami. Bobby melambaikan tangannya pada Sam begitu pula dengan Sam. Aku hanya memandangnya sekilas dan mata kami bertemu.

Mobil meluncur meninggalkan hiruk pikuk bandara.


Keluarga Asty sudah hampir kumpul semuanya. Kata Asty hanya kakaknya yang bekerja di Australia yang belum bisa hadir karena pesawat dari sana penuh jadi baru besok pagi dia terbang dari negeri kangguru itu.

Bapak dan Ibu Asty sangat ramah, mereka meminta aku dan Bobby untuk menginap saja di rumahnya. Aku tahu ini hanya basa-basi, soalnya mana mungkin kami harus bersaing kamar dan tempat tidur dengan sekian banyak orang keluarga Asty. Aku dan Bobby minta ijin untuk menginap di hotel yang dekat dengan perumahan Asty. Mereka mengijinkan, tapi hanya Pri yang bisa mengantarkan kami kesana, karena Asty harus segera istirahat untuk menjaga badan agar tampil fresh di hari pernikahannya nanti. Saking tidak enaknya aku bersikeras untuk memanggil taksi saja, tapi bapak Asty tidak memperbolehkan kami yang tidak tahu seluk beluk kota Bekasi untuk berkendara sendiri walaupun ditemani oleh sopir taksi sekalipun.

“Maap sekali ya mas Pri, kalo kami merepotkan.” ujarku setelah kami masuk ke mobil untuk berangkat menuju hotel.

“Gak papa kok. Ya kan Bob ?” seru Pri.

“Iya om, makasih ya.” kulihat Bobby yang sedari tiba di rumah Asty terlihat diam. Pri mengangguk.

Pri segera berpamitan setelah memesankan kamar untuk ku dan Bobby. Aku menolak bantuannya untuk mengangkat koper kami menuju kamar karena pasti ia letih dengan serentetan acara yang sudah ia lakoni hari ini. Setelah kulihat mobil Pri menjauh kami pun segera menuju kamar dan tidur. Besok adalah hari besar Asty, aku harus tampil baik disana. Bobby enggan bertegur sapa denganku. Setelah menggosok gigi ia langsung pergi tidur. Mengecup pipiku saja tidak. Ada apa dengan anakku ini.


Hari minggu yang cerah. Aku dan Bobby bangun pagi-pagi. Setelah sarapan pagi, kami bergegas menuju rumah Asty. Asty memang teman yang baik. Tidak lupa ia siapkan mobil lengkap dengan sopirnya untuk mengantar dan menjemput kami selama berada di Bekasi.

Kami tidak terlambat. Bapak penghulu sudah bersiap di tempatnya tapi mempelai wanitanya belum tampak bersanding dengan mempelai pria. Kerabat Asty yang mengenaliku langsung mempersilahkan aku duduk di belakang kursi mempelai. Aku sempat celingukan, siapa tahu kerabat Asty itu salah menyuruhku duduk di tempat yang paling dekat dengan mempelai berdua. Tapi semuanya tampak tenang dan khidmat. Tampak di depan wajah Pri yang begitu tegang. Sesekali ia usap keningnya yang penuh keringat dingin menggunakan sapu tangan berwarna biru, senada dengan jas yang ia kenakan. Aku jadi teringat kala Rey hendak mempersunting ku. Semua begitu indah dan mengharukan.

Rumah Asty disulap menjadi indah dengan bunga-bunga cantik di setiap sudutnya. Semuanya bunga segar, karena semalam aku belum melihatnya tampak dirumah ini. Tenda berwarna biru, senada dengan dekorasi pelaminan tampak megah menjulang. Semua tamu undangan telah hadir. Kerabat dekat Asty tampak senada dengan seragam warna emas dan peach nya. Tak lama kemudian muncullah mempelai wanita yang sudah dinanti-nanti begitu banyak orang, terutama oleh si mempelai pria tentunya.

Asty tampak anggun. Hiasan bunga terlihat cantik menghiasi rambutnya yang hitam legam. Tubuhnya yang indah tertutupi oleh brokat putih dan kain jarik yang senada. Ia sempat menoleh dan tersenyum padaku. Asty yang manis.

Aku dan Bobby dengan khusyuk mengikuti jalannya prosesi pernikahan hingga selesai. Bobby sempat tertawa kala Asty tidak sengaja menimpuk kepala Pri dengan suruh pada saat acara lempar-melempar suruh. Wajar saja, karena sebenarnya keluarga Asty adalah keturunan Jawa, jadi prosesi yang dijalankan adalah menurut adat Jawa.

“Sayang ya bu, masak telur diinjek-injek.” itu komentar Bobby ketika melihat Pri menginjak telur di acara panggih. Ini memang pengalaman pertamanya melihat acara pernikahan adat jawa.

“Udah besar masih suap-suap'an. Om Pri manja banget sih.”

Sedikit demi sedikit aku berikan penjelasan pada Bobby tentang prosesi ini dari awal sampai akhir. Dia bisa menerima masukanku walaupun kadang muncul sedikit protes dari mulutnya yang mungil. Salah satunya ketika aku ikutan menangis haru saat Asty dan Pri bergantian meminta doa restu pada kedua orang tua masing-masing di acara sungkeman.

“Harusnya kan semua bahagia kok tante Asty ama om Pri nangis. Ibu kok juga ikut-ikutan.”

“Ibu jadi ingat ayah.” serta merta Bobby memelukku. Dalam pelukannya aku merasa tenang dan hangat. Dalam bayangan yang tak mungkin nyata, sepertinya Rey yang sedang memelukku.

Acara adat sudah selesai. Sekarang waktunya aku mengucapkan selamat pada mempelai berdua. Kami juga berfoto bersama. Ibu Asty tampak haru. Sesekali ia usap air mata yang keluar di pipinya dengan tisu. Maklum, Asty adalah anak bungsu. Akhirnya sobat baikku menikah juga. Tak lupa aku panjatkan doa untuknya, semoga kalian akan terus bersama selamanya dan Pri adalah jodoh yang terbaik dari Allah untukmu.

Beberapa saat berselang. Aku kehilangan Bobby. Pada saat aku menemani Asty untuk berganti busana aku meminta Bobby untuk menungguku di luar kamar sambil menikmati es krimnya. Di kursi tempat aku meninggalkan Bobby masih kulihat cup es krim yang masih setengah ia habiskan.

“Kemana anak ini.” omelku sambil kupegang cup es krim itu. Aku mencoba bertanya ke beberapa kerabat Asty dan Pri, tapi hasilnya nihil. Sudah setengah jam aku mencari dan aku mulai panik.

“Kenapa sih lu Sis ?” tanya Asty yang melihat gelagat anehku sekeluarnya dari kamar.

“Bobby ilang.” mataku masih jelalatan mencari sosok anak kecil yang memakai batik warna ungu.

“Serius lu.” Asty ikutan panik.

“Gak tau, pokoknya pas aku keluar dari kamarmu tadi, Bobby udah gak ada.” rasanya ingin menangis.

“Udah cari sampe keluar ?”

“Udah As. Aku juga udah tanya ke sopir yang tadi jemput aku, tapi dia gak tau apa-apa.”

“Cek semua kamar !”

“Aku juga udah tanya ke sodara-sodaramu, tapi mereka semua gak ada yang liat Bobby.” air mata mulai menetes.

“Sabar Sis, mungkin dia cuma main di sekitar sini.” Asty mengelus punggungku.

“Kemana sih kamu nak.” ratapku. Sesaat ketika aku hendak mencari Bobby lagi dan berpamitan pada Asty, di depan pintu utama kulihat sosok yang sangat tidak asing bagiku. Sam. Ya dia Sam. Ngapain dia disini. Dan lihat, siapa yang ada di sampingnya itu. Bobby.

“Bobby !” seru ku. Beberapa tamu undangan jadi ikutan melihat ke arah ku kemudian bergantian melihat ke arah Bobby. Aku sedikit berlari mendekatinya.

“Jangan tinggalin ibu lagi nak. Ibu mohon.” aku memeluknya erat. Bobby tampak bingung melihatku menangis dalam pelukannya. Mungkin dia tidak sadar kalau perbuatannya itu telah membuatku sedih dan panik.

“Maafin Bobby, bu. Bobby pergi karena Bobby lihat om Sam diluar sana. Jadi Bobby samperin deh. Maaf ya bu. Bobby gak akan ulangin lagi kok. Ibu jangan nangis.” perlahan kulepaskan pelukanku. Beberapa mata terpasang menyaksikan drama menyedihkan ini.

“Maaf Sis. Aku yang salah. Coba aku gak lihat Bobby mungkin tangan ini gak akan reflek memanggilnya.” ujar Sam.

“Emang kamu yang salah.” suaraku agak meninggi. Aku marah.

“Kenapa sih kamu harus ada disini juga. Bikin stress tau gak !” aku menarik paksa tangan Bobby untuk menjauh dari Sam. Tapi Bobby agak berontak.

“Bobby ayo pergi !” ia kembali berontak. Sejak kapan anak ku ini susah sekali di atur. Keberadaan Sam memang tidak aku inginkan disini saat ini.

“Kenapa Bobby mesti pergi ?” protesnya.

“Kita pulang sekarang !”

“Kenapa ?”

“Karena pestanya udah kelar.” kembali kutarik tangan Bobby, kali ini dia pasrah. Aku segera berpamitan pada Asty dan keluarganya.

“Maafin aku As. Aku harus pergi.”

“Ati-ati, sayang. Tapi kamu utang cerita ama aku ya.” Asty mengangguk mengijinkanku walaupun dengan seribu tanya di benaknya saat ini. Aku yakin itu.

Aku meninggalkan pesta yang sebenarnya belum usai. Sam masih terpaku. Kami semua memang tidak siap dengan keadaan ini.


Aku memajukan jam penerbangan dari jam yang seharusnya. Bobby tampak sedih disampingku. Dia diam seribu bahasa, bahkan ketika kutawarkan untuk membeli beberapa snack untuk teman selama perjalanan. Akhirnya aku lah yang memilihkan snack untuknya.

Perjalanan lancar. Hari masih agak sore ketika kami sampai di Semarang. Aku mengajak Bobby untuk membeli makan malam dulu di mall. Tapi dia menolak dengan alasan malas melihat ibunya membawa koper besar masuk ke mall. Padahal aku bisa titipkan ini ke penitipan barang, tapi ya sudah, mungkin dia sedang tidak berselera makan.

Sesampainya di rumah aku bergegas berganti pakaian dan memasak makan malam untuk kami berdua. Kulihat Bobby langsung menuju kamarnya dan menutup pintunya rapat-rapat. Kubiarkan dia sendiri dulu dan aku akan memanggilnya lagi ketika makan malam siap.

“Oke, apa yang masih aku punya disini.” Tanyaku dalam hati. Kubuka kulkas dua pintu hadiah pernikahan dari mama dan papa Rey. Masih tampak kokoh. Di kala libur Rey rajin sekali membersihkannya dan setelah dibersihkan kami akan pergi berbelanja untuk mengisi kulkas itu kembali supaya tampak penuh.

“Uh, cuma nugget dan sayuran.” keluhku.

“Semoga Bobby gak protes.” aku mulai sibuk memasak. Tidak ada setengah jam semuanya sudah kelar. Ada nugget, sayur sop dan bakmi goreng. Lumayan meriah disandingkan dengan kerupuk warna-warni kesukaan Bobby. Kulirik kamar Bobby masih tertutup rapat. Aku akan mandi sebentar kemudian akan kuajak Bobby untuk makan malam bersama.

Usai mandi, kugelung rambut basahku dengan handuk. Bergegas aku menuju kamar Bobby dan mengetuknya perlahan. Tapi tidak juga ada jawaban dari dalam. Kubuka pintu yang tidak terkunci itu. Kulihat Bobby sedang mengerjakan PR nya, kudekati ia.

“Nanti lagi yuk ngerjain PR nya. Emang Bobby gak laper ?” Bobby bergeming.

“Sayang, nanti sop nya keburu dingin lho.” lanjutku

“Ibu ini kenapa sih. Emang salah ya kalo Bobby main sama om Sam. Om Sam gak salah bu, yang salah Bobby. Karena Bobby merasa bosen di rumah tante Asty makanya Bobby ajak om Sam keliling-keliling sebentar. Lagian om Sam juga gak nyangka kok kalo Bobby ada di situ juga. Dia tuh diundang sama kakaknya tante Asty yang dari Australia.” terang Bobby, panjang lebar.

Jadi Sam di undang juga. ? Aku sudah salah sangka padanya.

“Maaf nak, Ibu gak tau.”

“Makanya Ibu tuh harusnya tanya dulu ke Bobby. Gak langsung main tembak aja.”

“Iya, Ibu kan udah minta maaf.”

“Minta maafnya jangan ke Bobby dong, tapi ke om Sam.” itu permintaan yang berat.

“OK, nanti ibu akan telpon om Sam. Tapi sekarang Bobby makan dulu ya.” aku berbohong pada anakku. Aku tidak sanggup untuk berbicara bahkan bertemu dengan Sam lagi.

Akhirnya kami makan berdua. Semua lauk dilahap habis oleh Bobby. Bobby tidak pernah protes dalam hal makanan. Dia tau benar bahwa keluarganya kini harus hidup sederhana untuk bisa bertahan hidup. Apa yang disediakan akan dimakannya. Lagipula tidak ada di dunia ini seorang ibu yang akan menjerumuskan anaknya.

Perjalanan hari ini kami tutup dengan perut kekenyangan. Bobby sudah mulai bisa tersenyum lagi. Kami adalah satu. Ibu dan anak yang saling mencintai.


“Iya, Bobby udah cerita semuanya ke aku. Ternyata Sam diundang toh ama kakakmu.” Asty sudah masuk dari cuti nikahnya dan sekarang ia benar-benar menagih janjinya. Datang-datang dia langsung mengajakku ke kantin untuk meluapkan semua cerita. Termasuk cerita bulan madunya.

“Iya Sis. Tadinya aku mau telpon kamu, tapi Pri nglarang. Ya udah deh aku tahan-tahanin sampe hari ini. Eh tapi ternyata kamu udah tau.”

“Bobby minta aku minta maaf sama dia, tapi aku gak lakuin.”

“Kenapa ?” tanya Asty sambil meneguk secangkir capuccino yang sudah agak dingin.

“Aku gak bisa As.”

“Kamu takut ya kalo ada sesuatu yang muncul lagi dalam hatimu.” ujar Asty, hati-hati, takut menyinggungku.

“Entahlah. Sejak kejadian itu aku selalu dibayang-bayangi sosoknya. Kayak orang lagi kasmaran aja, mau tidur ingat dia, mau makan ingat dia, mau kerja juga inget dia. Tapi bukan suka yang aku rasa tapi takut. Hiiiiii.” aku bergidik.

“Iya, kamu masih takut membuka hatimu untuk orang lain. Atau mungkin kamu masih dibebani rasa bersalah karena udah nuduh dia di pestaku dulu.”

“Mungkin juga.”

“Selesaikanlah Sis, kalo emang kamu ingin semua ini berakhir. Tuntaskanlah.”

“Dulu aku udah pernah minta ke dia untuk menuntaskan ini semua. Tapi ternyata gak bisa kan. Dia selalu muncul walaupun tidak disengaja.”

“Yang waktu di Yogya itu ya. Kalo gitu jangan diakhiri aja, lanjutkan.” canda Asty.

“Ngaco kamu.” aku menyuap sejumput cake coklat yang dibawakan Asty untukku. Katanya oleh-oleh dari bulan madunya di Bandung.

“Kalo kulihat Bobby udah cocok banget sama dia.” lanjut Asty.

“Aku kan belum.”

“Belum, berarti masih bisa mungkin kan?” senyum nakal Asty mulai tampak.

“Udah ah, sekarang cerita aja pengalaman bulan madu kamu. Jangan-jangan selain oleh-oleh cake coklat kamu juga udah bakal kasih aku keponakan.”

“Gak secepat itu say. Pri belum mau punya anak dalam waktu dekat. Kamu tau kan, ini hal baru buat kami, jadi kami puas-puasin dulu deh jadi suami istrinya.”

“Maksudnya kamu puasin dulu birahi kamu.” sendok melayang di jidatku.

“Kenapa sih gak dari dulu-dulu kamu bilang kalo nikah itu enak.” Celotehnya.

“Yang enak tuh kawinnya say.” Asty mengangguk berulang-ulang. Aku geli melihat tingkahnya.

“Malam pertama berapa ronde ?” percakapan kami udah mulai ngaco.

Seharian ini kami luapkan rasa kangen di kantin ini. Sambil ditemani cake coklat dan capuccino, Asty curhat'in semuanya ke aku, bahkan dia juga minta beberapa ilmu seks padaku. Aku suruh dia untuk rajin-rajin buka internet, siapa tau ada jurus baru disana. Aku jadi iri padanya. Bukan semata-mata karena seks. Di lubuk hati terdalam aku hanya lah seorang wanita lemah yang membutuhkan kehangatan seorang lelaki, dikala sedih dan dikala senang. Aku jadi teringat Bobby di rumah. Aku saja mengakui kalau masih membutuhkan lelaki di sampingku sebagai teman dalam mengarungi bahtera kehidupan, apalagi Bobby, dia anak yang sedang dalam masa pertumbuhannya, aku yakin dia pasti juga membutuhkan sosok seorang ayah disisinya. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa mengkhianati Rey. Jadi tidak mungkin aku akan membuka hatiku untuk orang selain Rey.

Kamis, 15 Januari 2009

Selamanya Cinta Part 3

Nyambung deh
______________________________________________________________________

It’s too close


Hari ini aku janji mengajak Bobby jalan-jalan dan berenang di Bandungan. Saking senangnya dia tidak bisa tidur semalaman dan alhasil akupun tidak bisa istirahat dengan nyenyak. Aku memang jarang ajak Bobby berlibur. Sekalinya berlibur dia di ajak eyang kakung dan eyang putrinya ke kebun binatang tanpa aku. Rasa bersalah selalu menyelimutiku di akhir minggu. Saking hafalnya Bobby hanya berujar,

“Pasti Ibu mau pamit lagi kan gak bisa ajak Bobby jalan-jalan. Gak papa kok bu, Bobby akan jadi anak yang baik selama Ibu kerja.” aku hanya bisa tersenyum jika ia melontarkan kalimat itu dari bibir mungilnya.

Tapi hari ini aku akan menuruti segala keinginannya. Berenang di Bandungan, makan siang di Jimbaran, dan meninap di hotel. Ya hotel. Aku berencana menginap di hotel semalam supaya besok tidak perlu terlalu pagi jika ingin pergi ke Yogya.

Setelah seharian lelah bermain, malam ini Bobby minta ditemani jalan-jalan saja di sekitar pool hotel tempat kami menginap untuk melihat bintang dan bulan.

“Ayah baru apa ya bu?” pertanyaan itu mengagetkanku. Kembali aku harus kuasai diri dan menata kalimat yang terbaik. Walaupun sudah cukup lama Rey meninggalkan kami tapi suasana canggung masih menyelimutiku dikala salah satu dari kami mulai membahasnya kembali.

“Yang pasti ayah lagi bahagia di atas sana dan melihat kita yang juga lagi bahagia disini.”

“Halo ayah, Bobby disini. Ayah sudah makan belum ? Bobby sama Ibu nginep di hotel lho, makanannya uenak banget, kamarnya adem, tapi rasanya sepi karena gak ada ayah disini.”

“Sayang, ibu kan sudah pernah bilang, ayah memang tidak akan menemani kita tapi ayah akan selalu ada di hati Bobby.”

“Bobby tau bu, cuma rasanya gak lengkap kalo gak ada ayah disini.”

Aku tau itu nak, batinku. Kami melanjutkan berjalan dibawah naungan taburan bintang dan sinar hangat bulan.

“Hallo Bobby.” suara itu ? Tiba-tiba sosok itu muncul lagi.

“Eh, om Sam.”

“Hallo Sisca.” aku membalasnya dengan anggukan. Aku merasa aneh dengan keberadaan Sam disini. Tapi aku juga berusaha untuk tenang dan berfikir positif. Siapa tau memang semua ini hanya kebetulan saja.

“Hei, anak pintar. Menginap disini juga ?” Sam berjongkok di hadapan Bobby.

“Iya om. Kata Ibu biar besok gak kejauhan kalo mau ke Kids Fun.”

“Wah asyik dong ke Kids Fun.”

“Iya dong. Apalagi seharian tadi Bobby juga pergi ke.....................” Bobby berceloteh riang. Sam menggandeng tangannya mendekati kursi taman. Kudengar Bobby masih juga bercerita. Bobby duduk bersebelahan dengan Sam, sedang aku memilih kursi yang agak jauh. Terkadang aku sadar kalau Sam mencoba mencuri pandang ke aku.

“Tunggu, kok om sam juga sudah kenal sama ibu ?” tanya Bobby polos.

“Om teman kerja ibu kamu.”

“Oooooo......” Bobby menganggukkan kepala beberapa kali.

“Bobby sudah makan ?” tanya Sam dan Bobby hanya bisa menggeleng sambil menunggu reaksi ku.

“Tadi kan Bobby bilang belum laper.” kataku. Jengah dengan tatapan memelas Bobby.

“Iya sih, tapi sekarang udah, bu.”

“Gimana kalo kita makan bareng, Sis ? Bobby mau ?” Setelah menatapku, Sam beralih menatap pada Bobby dan Bobby kembali hanya bisa mengangguk dengan senyum terkembang.

Sam memesankan meja di pinggir kolam renang untuk kami. Makanan yang disajikan cukup beragam. Selera makanku yang semula amat sangat bergejolak kembali redup karena ada Sam yang menemani kami disini. Alhasil hanya jus mangga dan bakmie goreng yang aku pesan. Dalam hening makan malam ini kembali aku teringat pada Rey. Ekspresi yang Bobby curahkan untuk Sam sama dengan pada saat ia bersama Rey. Ceria, hangat, pokoknya ramai sekali. Mungkin anakku itu benar-benar kangen pada ayahnya.

“Tumben Ibu makannya sedikit ? Biasanya lebih banyak dari Bobby.” celetuk Bobby.

“O ya.” Sam pura-pura tercengang. Senyum menghias wajahnya.

“Kamu ini. Dihabiskan dulu makannya habis itu buruan ke atas dan tidur. Sudah malam. Besok pagi biar bisa bangun pagi.”

“Ya ibu, kan Bobby belum ngantuk.”elak Bobby.

“Bobby mau ke Kids Fun gak ? Kalo gak usah ya bangun siang juga gak papa tapi kalo mau ke Kids Fun harus pagi-pagi soalnya musim libur begini pasti macet.”

“Iya deh.” Bobby menyuapkan suapan terakhirnya cepat-cepat.

“Bobby udah kelar !” ujar Bobby sambil mengangkat kedua tangannya.

“Aku naik dulu ya Sam.” pamitku pada Sam. Serta merta kutinggalkan makanan di piring yang masih setengah utuh.

“Bobby bisa sendiri kok.” elak nya lagi.

“Kita antar Bobby sama-sama ya.” pinta Sam.

“Ma kasih om.”

Di sepanjang jalan menuju kamar, Bobby tidak pernah melepas gandengan tangan Sam. Dia benar-benar merindukan ayahnya.

Sampai di kamar No. 214.

“Bobby masuk dulu ya om.”

“Iya sayang, selamat tidur dan semoga mimpi indah ya.”

“Ma kasih om.”

Aku mengikuti langkah Bobby memasuki kamar hotel. Tapi tiba-tiba tangan kananku ada yang menarik.

“Sebentar Sis. Apakah boleh kita ngobrol sebentar.”

“Tapi aku harus menemani Bobby tidur.” dan sepertinya Bobby mendengar percakapan ku ini.

“Bobby kan udah gede. Bobby bisa cuci tangan, cuci kaki dan ganti baju sendiri kok.” aku memang mengajari anakku untuk bisa mandiri di usia nya yang masih sangat dini.

“Jangan lupa gosok gigi ya sayang.” ujar Sam.

“So pasti om.” Bobby ngeloyor pergi.

“Jadi, bisa kita bicara sebentar ?” pinta Sam lagi. Aku ragu. Seragu aku menutup pintu kamar hotel.


Sam mengajakku kembali ke taman.

“Maaf Sis, kalo aku harus datang lagi dengan cara begini.” aku hanya bisa menatap sorot matanya yang tajam. Sam benar-benar tidak berubah. Tatapan mata itulah yang sempat meruntuhkan hatiku kala itu. Teduh, aku merasa nyaman sekaligus salah tingkah dengan maksud tatapannya itu.

“Semua email mu selalu aku baca, tapi aku tak sanggup membalasnya. Terutama ketika kamu bilang akan menikah.”

Aku memang mengirim email pada Sam karena siapa tau dia mau datang ke acara pernikahanku dengan Rey.

“Aku salut sama kamu. Ternyata jalan hidup yang kamu pilih tidak lah semudah apa yang aku bayangkan. Kamu besarkan anakmu sendiri. Kamu tegar, Sis.”

“Itu bukan pilihan Aku harus tegar untuk Bobby. Dan kamu sendiri pasti sudah mendapatkan apa yang kamu impikan kan? Tapi dari mana kamu tau kalo aku sekarang sendiri ? ”

“Aku tau semua tentang kamu Sis dan aku tau siapa Bobby sebelum kita dipertemukan lagi.” Sam menghela nafas. Ternyata selama ini Sam tidak pernah jauh dariku, dari kehidupanku. Seperti menyewa detektif swasta, berkas laporan mengalir deras di mejanya setiap hari dan mengupas tuntas kehidupanku seluruhnya.

“Aku bisa dapatkan karier yang tinggi tapi entah kenapa hati ini tetap kosong, seperti tidak ada teman tempat curahan hati.” lanjutnya.

“Apa kabar keluarga mu?” tanyaku. Kesannya sedikit membelokkan arah pembicaraan Sam sebelumnya.

“Baik. Mereka semua baik. Sekarang aku bisa membahagiakan mereka dengan harta.”

“Asal kamu dapatkan itu semua dengan cara halal kenapa kamu harus bersedih ?”

“Aku merindukan seseorang di masa laluku yang entah sekarang bisa aku dapatkan kembali atau tidak.”

“Sekarang jujur sama aku. Kamu kesini karena mengikutiku atau karena kebetulan ?”

“Kok pertanyaan nya gitu sih ?”

“Jadi kamu gak bisa jawab.”

“Kebetulan aku sedang ada janji dengan klien disini.”

“Sampai reservasi kamar segala ?” tadi aku sempat melihat kunci kamarnya tersembul keluar sewaktu ia hendak membayar bill makan malam kami.

“Gak boleh ?”

“Aneh aja.”

“Sis, kok kamu sewot banget sih ? Emangnya cuma aku ya yang kangen ama kamu ?” kami saling bertatapan mata.

“Aku naik dulu. Ngantuk.”

“Sisca !”

“Maaf, Sam aku gak tau harus gimana. Tapi yang pasti aku harus naik sekarang, karena aku sudah ninggalin Bobby sendirian terlalu lama.”

“Aku antar ya?” tawar Sam.

“Gak perlu, aku bisa sendiri.” setengah berlari aku tinggalkan Sam seorang diri.


Ya Tuhan, ada apa dengan ku ini.

Baru empat tahun aku ditinggal pergi suamiku dan sekarang sudah punya perasaan ....... (ah) pada seseorang. Aku melenguh. Aku kalut.

Rey, aku berdosa pada mu. Maafkan jika dada ini sempat bergemuruh untuk orang lain selain kamu.

Apa yang harus aku lakukan ?

Bobby. Anak semata wayangku itu mulai akrab dengannya. Aku tahu persis dia pasti kangen padamu, Rey. Wajah ceria untukmu darinya kembali aku temukan jika ia bercengkerama dengan Sam. Kenapa semuanya begitu sulit untuk aku pahami. Bobby hanyalah seorang anak kecil yang membutuhkan figur seorang ayah.


Pagi ini aku terbangun dari tidur ku dengan kepala sedikit pening. Maklum, sejak sampai di kamar aku tidak bisa langsung tertidur, pikiranku melayang, pada Sam, pada Bobby dan pada kehidupan yang aku jalani.

“Ayo Ibu, nanti kita kesiangan.” Bobby terlalu bersemangat.

Setelah selesai membereskan kamar dan bersiap untuk check out, kami pergi turun untuk sarapan.

Bobby memilih nasi goreng lengkap dengan telur dan udang goreng tepung. Aku tetap setia dengan roti dan kopi, sudah lama kebiasaan sarapan sederhana ini aku jalankan untuk menjaga berat tubuhku agar tidak naik secara drastis. Maklum setelah melahirkan Bobby aku belum sempat untuk memanjakan diri ke gym, hanya menjaga menu makan yang aku bisa lakukan.

Setelah selesai sarapan kami kembali ke kamar untuk mengambil barang-barang dan segera check out.

“Om Sam mana ya, bu?” tanya Bobby pada saat aku hendak menyelesaikan administrasi di receptionist. Aku menggeleng dengan senyum tersembunyi. Aku berharap tidak bertemu dengannya lagi. Tapi ternyata kenyataan tidak sesuai dengan harapanku.

“Eh, selamat pagi Bobby ?” sapa Sam, setelah keluar dari ruang makan yang bersebelahan dengan lobby.

“Pagi, om?” senyum Bobby terkembang.

“Sudah mau berangkat ?”

“Iya dong, om. Biar semua permainan bisa Bobby coba.”

“Asyik ya, coba om bisa kesana juga, pasti rame ya.”

“Kenapa om gak bareng-bareng kita aja, ya kan bu?” Bobby meminta persetujuanku.

“Om sekarang lagi sibuk. Bobby sama ibu aja ya ?” elakku.

“Emang minggu-minggu gini om kerja juga ya?” Sam menggeleng. Aku tidak bisa menyembunyikan wajah cemas ku. Aku cemas jika Sam ikut dan aku tidak bisa enjoy dengan keberadaannya disisi kami.

“Nah kalo gitu om bisa ikutan. Boleh ya bu ?” aku terdiam.

“Terserah deh.” aku mulai mengangkat semua barang keluar.

“Aku bantu ya Sis ?” tawar Sam dengan senyum yang tidak bisa aku artikan.

Sekilas kulihat wajah Bobby terlihat senang sekali. Sam meminta ijinku untuk numpang di mobilku karena dia bilang kalo berangkat ke hotel kemarin dia gak bawa mobil sendiri dan menumpang temannya. Entah bohong entah tidak. Bobby mempersilahkan Sam untuk duduk di kursi kemudi dan aku disampingnya. Tapi aku menolak. Dan akhirnya Bobby mengalah dan mengijinkan aku duduk di belakang setelah aku bersikeras ingin melanjutkan membaca novel yang tidak sempat aku baca kemarin. Perjalanan ini mulai terasa canggung.


Sam bersikeras untuk membayar tiket masuk Kids fun. Tangan Bobby tidak pernah lepas menggandeng erat tangan Sam. Jika dia sadar, sesekali dia menarik juga tanganku. Jadi dia seperti menggadeng kedua tangan orang tuanya. Kuatkanlah hatiku ya Tuhan. Dan kuatkanlah hati anakku, jika semua ini berakhir ijinkanlah ia untuk tetap bisa tersenyum seindah ini.

Semua permainan mereka coba. Sesekali aku ikut dalam permainan itu, tapi tidak jika itu mengharuskan kami duduk bertiga dalam satu baris. Alhasil aku harus mempersiapkan beberapa jurus tipuan untuk Bobby agar ia percaya ibunya tidak bisa ikut serta dalam setiap permainan.

“Ibu ini pipis terus sih.” begitu protesnya. Soalnya aku tidak punya trik lain selain ijin ke toilet atau sedang menerima telepon dari boss.

Sam sebenarnya sudah mencium gelagat anehku sejak awal. Tapi dia baru bisa mengutarakannya pada saat makan siang ini. Bobby meminta ijin untuk melihat-lihat kolam ikan besar yang ada di restoran ini.

“Kenapa sih kamu sis? Dari tadi sikapmu aneh. Untung anak kamu gak protes banyak. Bilang aja kalau aku gak bisa ikut dalam tour kalian ini.”

“Sudah lah Sam. Ini keinginan Bobby, bukan keinginanku.”

“Maaf kalau aku mengganggu liburanmu dengan Bobby. Dia anak yang manis. Mungkin dia gak tega lihat aku seorang diri di hotel. Jadi dia ajak juga aku.”

“Liburan ini untuk Bobby, jadi aku ikhlaskan aja apa yang terjadi hari ini asal itu yang dia mau.”

“Jujur Sis, kamu tidak suka aku ikut ?”

“Kenapa aku harus jawab itu?”

“Karena jika kamu gak ingin aku ada disini aku akan pergi sekarang.”

“Dan buat Bobby sedih?”

Sam diam. Menatap lekat wajahku.

“Aku sudah menata hatiku untuk selalu siap jika tiba-tiba kamu akan pergi. Dan aku juga harus menata hati Bobby supaya ia tidak akan terlalu sedih jika ia tidak bisa bertemu denganmu lagi.” lanjutku.

“Gimana jika aku gak mau pergi ?”

Aku balik menatap matanya. Hangat, dia masih setampan yang dulu. Wajah putih, kokoh, dengan kumis halus yang ia miliki dan dulu sempat menjadi milikku. Aku sadar dari lamunanku dan aku berpaling.

“Kamu harus pergi. Biarkan kami sendiri Sam. Kami memang sedih sejak Rey pergi, tapi kami sudah bisa menata hati kami lagi.”

“Kamu tidak akan beri kesempatan padaku?”

“Aku bukan Sisca yang dulu. Sekarang aku adalah seorang ibu dan seorang janda. Dua hal yang aku sandang ini akan aku nikmati sampai kapanpun.”

“Kamu masih muda Sis. Kamu berhak bertemu dengan seseorang dan menjalani masa depan dengannya. Tidak seorang diri seperti ini.”

“Sudahlah Sam, jangan bertingkah seperti orang tuaku. Kalau kamu datang dalam kehidupan kami hanya untuk itu kamu buang-buang waktu. Aku bukan wanita lemah dan aku tidak malu untuk selalu membawa statusku ini selama aku mampu.”

“Aku tidak bermaksud untuk mengecilkan arti janda. Tapi untuk Bobby, diusianya sekarang ini dia butuh figur seorang ayah.”

“Kamu tau apa? Kamu belum pernah merasakan menikah dan punya anak kan? Posisikanlah dirimu seperti aku Sam. Hidup cuma sekali, menikah juga sekali, mencintai dan dicintai oleh orang yang tepat hanya sekali.”

“Jadi itu pendapatmu?”

Aku menganggukkan kepala berulang-ulang.

“Kamu tidak akan ijinkan aku bertemu dengan Bobby lagi?”

“Menikahlah dan kau akan punya anak semanis Bobby nanti yang bisa kamu sayangi lebih dari cukup. Janganlah kamu buang-buang waktu dengan kami.”

“Aku sedih Sis. Kamu tega sekali mengatakan itu padaku.” Sam yang tegar terlihat rapuh seketika dihadapanku.

Aku hanya ingin kamu tahu Sam, bahwa kamu berhak mendapat lebih dari sekedar janda beranak satu yang ada dihadapanmu ini.

“Terima kasih atas semua kebahagiaan ini. Aku pergi.” kuraih tangan Sam.

“Jangan sekarang. Aku mohon disisa hari ini tetaplah menjadi om Sam yang ceria untuk Bobby. Aku mohon Sam.” tangan Sam mengambil tanganku yang masih mencengkeram erat tangannya.

“Baiklah jika itu mau kamu. Dan juga demi Bobby.”

“Terima kasih.”

“Ibu, ikannya gede-gede lho. Om, ikan apa sih yang punya belalai panjang. Kayak gajah tapi belalainya dua ?”

“Itu lele sayang.” Sam memangku Bobby.

“Gimana kalau kita lanjutkan mainnya.” tawarku.

“Mau....mau....mau.....yuk.” lagi-lagi Bobby menggandengan tangan kami berdua. Kami saling berpandangan dan saling senyum. Kali ini senyum ikhlas yang aku berikan untuknya.


Mobil meluncur di perumahan Puri Asri. Malam telah larut. Bobby juga telah tertidur di jok belakang. Setelah sampai, Sam membopong Bobby yang tertidur menuju kamarnya dan aku mengeluarkan semua barang-barangku dari dalam mobil. Kuintip kamar Bobby yang sedikit terbuka. Kulihat Sam mengecup lembut kening Bobby.

“Pakailah mobilku untuk pulang, Sam, biar besok sopirku yang akan ambil.” tawarku, mengingat sudah terlalu malam sekarang.

“Tidak perlu, aku sudah panggil taksi kok. Makasih ya.” dia memperlihatkan HP nya. Jadi dia tadi memesan taksi via HP nya.

“Aku tunggu taksi diluar ya?” aku mempersilahkannya dan mengikutinya dari belakang. Tidak lama kemudian taksi itu datang.

“Sekali lagi maaf Sis jika aku ganggu liburan kamu.” pamit Sam.

“Tidak apa-apa. Kamu sudah buat Bobby bahagia hari ini. Makasih ya.” aku tersipu.

“Aku bangga padamu Sis. OK aku balik dulu.”

“Ati-ati ya.” kuberikan senyum tulusku pada Sam.

Taksi meluncur kencang menembus malam.


Sisca tidak angkuh. Dia hanya ingin memperlihatkan kekuatannya sebagai seorang single parents bagi Bobby dihadapanku. Itu hal yang wajar. Dia seorang ibu yang sempurna di mataku.

Sejak aku bertemu dengannya lagi dan mengetahui kehidupannya saat ini, janda dan beranak satu, aku merasa sangat ingin bisa masuk dalam kehidupannya. Tapi aku tahu itu tidak lah sama dengan keadaan kami beberapa tahun yang lalu. Tapi setelah melihat Bobby, naluriku untuk melindunginya muncul seketika tanpa harus melihat dia bukanlah darah dagingku. Aku tulus. Tapi Sisca berkehendak lain. Dia wanita yang berprinsip sama seperti yang dulu, hanya saja sekarang dia betul-betul punya pemikiran yang dewasa, pemikiran seorang Ibu.

Sisca yang manja, manis, pemalu kini telah menjadi seorang ibu yang kuat. Aku terharu melihat perjuangannya. Andai dia menerimaku, aku akan amat sangat mencintainya dan Bobby.

Sekarang aku harus tetap berjalan. Sisca memang menolakku tapi aku tidak akan menyerah. Akan kuperlihatkan padanya bahwa aku tulus ingin melindunginya. Jika ia tidak suka dengan cara frontal maka aku akan melindunginya dari jarak jauh. Sejauh yang tidak bisa ia lihat dan ia rasa. Aku mencintaimu Sis. Sampai kapanpun aku akan tetap mencintaimu. Dengan segala predikat yang melekat padamu, kamu tetaplah Sisca yang dulu pernah mengisi relung hatiku.

Taksi membawaku kembali ke apartemen. Di kamar yang dingin dan sepi aku sendiri. Aku tertidur dengan Sisca dan Bobby dalam mimpiku.


Kuusap lembut kening Bobby. Kusibakkan poni keritingnya yang menutupi dahi. Malam ini dia pasti akan tidur nyenyak karena kecapaian setelah bermain seharian penuh. Tawa riangnya masih terngiang jelas di telingaku. Dia bahagia hari ini. Walaupun harus dengan orang lain di sisinya tadi, tapi semoga itu tidak akan menjadi masalah nantinya. Bobby harus tahu bahwa om Sam nya itu hanya lah teman lama Ibunya yang saat itu bisa menemaninya bermain. Hanya saat itu. Kami sudah biasa sendiri dan akan selalu begitu. Aku mencintai Rey. Aku tertidur di kamar Bobby.


“Tapi Sisca, mama dan papa pengen lihat kamu bahagia.” ujar mama.

“Siapa bilang Sisca gak bahagia, hah ?”

“Jangan egois gitu nak ?” papa nyambung.

Mama dan papa sama aja, gak pernah puas liat kebahagiaan anaknya. Mungkin bagi mereka ukuran kebahagiaan adalah dengan keutuhan rumah tangga bukan dengan ketersediaannya kebutuhan hidup secara baik. Aku bisa menghidupi Bobby hingga saat ini dia umur 5 tahun dan sebentar lagi dia akan masuk TK. Seharusnya mama dan papa melihat dari posisiku. Syukur aku tidak pernah merasa kekurangan untuk masalah finansial. Tapi kenapa mama dan papa selalu mengeluh. Apa salahku ? Aku menangis.

“Sayang, jangan nangis lagi ya.” Suara itu. Aku dongakkan kepalaku. Rey. Wajah yang aku rindukan selama ini. Serta merta aku memeluknya.

“Rey, jangan tinggalin aku. Aku mohon Rey. Jangan biarin aku sendiri.” Aku menangis di pelukan Rey. Dada yang bidang ini selalu menjadi tempat curahan hatiku di kala sedih.

“Sisca yang aku kenal adalah Sisca yang kuat dan bisa memecahkan segala macam masalah.”

“Tapi kali ini beda Rey. Mama dan papa maksain sesuatu yang gak pengen dan gak bisa aku lakukan.” Rey mengangkat lembut wajahku.

“Sayang, tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya.”

“Tapi kamu lihat kan Rey, sekarang Bobby udah gede bahkan udah mau sekolah, semua itu karena siapa coba. Ya karena perjuanganku. Aku masih mampu kok. Aku masih punya tenaga.”

“Tapi cobalah kamu lihat dari posisi Bobby. Dia butuh penggantiku Sis.”

“Kenapa harus begitu. Tidakkah dia cukup punya Ibu saja ?”

“Jangan egois sayang. Bobby sedang dalam masa pertumbuhan. Sangatlah baik jika orangtua nya utuh.”

“Kalau gitu kamu jangan tinggalin kami lagi.”

“Tidak bisa begitu. Tuhan sudah memintaku untuk pulang, jadi kamu yang harus bisa memberikan apa yang Bobby minta, sayang. Tanyakanlah padanya suatu saat dan usahakan agar ia jujur. Aku yakin sekali kalau Bobby tidak pernah kekurangan sesuatu apapun karena kamu dengan baik bisa memenuhi segala kebutuhannya tapi siapa tahu ada sesuatu dari dia yang belum bisa dia sampaikan karena tidak ingin melihat Ibunya sedih ? Pikirkanlah Sis, pikirkanlah.” aku bergeming.

“Aku akan selalu dalam hatimu. Panggilah aku jika kamu ingin berkeluh kesah padaku. Kamu tidak sendiri sayang.” tangan Rey perlahan-lahan melepas genggamannya.

“Kamu mau kemana Rey ?” Rey hanya tersenyum.

“Rey jangan pergi. Tolonglah Rey, jangan tinggalin aku lagi. Rey....”

Aku terbangun dari mimpiku dengan peluh di dahi. Bobby masih tidur dengan pulas di sampingku. Janji ya Rey, kamu akan datang lagi jika aku membutuhkanmu. Batinku.

Selasa, 13 Januari 2009

Selamanya Cinta Part 2

O…..o…..he’s coming back

Karierku melejit bak roket. Asty, teman seperjuanganku iri melihat kesuksesan ku yang menjulang itu. Bahkan dia mengiba padaku untuk bisa turun jabatan menjadi asistenku saja selama aku menjabat sebagai manager promosi. Itu berarti dia harus pindah divisi.

“Ayolah Sis. Kamu kan bisa minta sama Pak Pram untuk mutasikan aku ke departemen mu?”

Pak Pram itu manager HRD di “Green Miles”, perusahaan advertising & event organizer tempat aku bekerja. Selama 10 tahun aku mengejar posisi manager promosi itu. Selain karena aku mencintai pekerjaan ini juga karena penghasilannya yang cukup besar untuk bisa menghidupi Bobby dengan lebih baik lagi. Dan Asty adalah karyawan di Green Miles pertama yang aku kenal. Ia masuk lebih dulu sebulan daripadaku. Selebihnya kami selalu bekerja dan jalan bareng, alhasil kami jadi sepasang sahabat karib. Sosok Asty yang periang membuat hari-hari ku semakin indah. Bobby pun sudah mengenal Asty dekat. Tak jarang pula Asty menginap di rumah setelah menghabiskan malam menemani Bobby main monopoli kesukaannya. Aku terlahir sebagai anak tunggal, jadi kehadiran Asty di dunia ini membuatku ikut merasakan indahnya mempunyai saudara perempuan.

“OK, OK, ntar aku coba omongin itu ke Pak Pram.” padahal baru 1 minggu aku dipromosikan menjadi manager, apa kata pak Pram nanti, pasti aku dikira ngelunjak.

“Sekarang aku meeting dulu ya say.” potongku.

Klien ku sudah menunggu di ruang meeting untuk mendengarkan presentasiku siang ini. Aku mendapatkan proyek mengerjakan iklan makanan anjing. Ide-ide cemerlang aku dapatkan dari Bobby yang kuperhatikan saat sedang asyik bermain dengan kucing tetangga. Kalau presentasi ini goal aku harus berterima kasih pada Bobby.

Acara tawar-menawar berlangsung alot. Mereka tidak mempermasalahkan presentasi yang aku ajukan, bahkan senang sekali jika produk mereka aku iklankan, tapi soal nominal menjadi kendalanya.

“Maaf pak, kalo bapak percaya iklan ini bisa membawa produk bapak diterima dipasaran maka bapak juga harus percaya kalo nominal besar akan menanti bapak nantinya.” ujarku mencoba meyakinkan client.

“Ibu kita yang satu ini bisa saja.” canda salah seorang dari lima orang clientku.

Setelah mereka pikir-pikir lagi dan sedikit argumen dengan teman-temannya mereka mulai memutuskan sesuatu.

“Baiklah, kami akan pakai ide anda.” dia berdiri dan menjabat erat tanganku.

Wajah-wajah sumringah team ku dapat terbaca jelas bagi departemen lain setelah keluar dari ruang meeting.

“Pasti goal kan ?” tanya Asty yang tiba-tiba muncul di belakangku.

Kuberikan senyum terindah yang kumiliki.

“Asyik, makan-makan.” serunya. Aku menoyor jidat Asty.

“Kerja dulu baru makan.” sentakku halus dan kemudian aku berlalu dari pandangannya.

Di tempat kerja ku ini aku diterima tidak dengan sebelah mata. Mereka semua menghormatiku sebagai janda dari suami yang telah meninggal dunia. Hal ini karena aku bekerja disini sudah cukup lama, jauh sebelum aku bertemu dengan Rey.

Semua orang sangat menjaga perasaanku. Bahkan Asty pun pernah ingin memperkenalkan teman dekatnya padaku dengan sangat hati-hati. Aku malah sungkan diperlakukan seperti itu, lagi pula ini sudah dua tahun berlangsung. Aku memang tidak akan bisa melupakan Rey, tapi hidupku harus tetap berjalan dengan semua hal baru yang harus siap kuhadapi. Termasuk pasangan baru, ayah baru untuk Bobby. Mama dan papa pernah memintaku untuk segera menikah lagi agar Bobby tidak tumbuh sebagai anak tanpa sosok ayah disampingnya. Aku hanya menjanjikan pada mereka, kalau jodoh tidak akan lari kemana.

Sejauh ini aku dikelilingi oleh rekan yang baik padaku, team yang solid, jadi mungkin itu kenapa aku selalu merasa nyaman dan aman berada diantara mereka dan belum berpikir untuk mencari pendamping hidup yang baru.

“Mbak, atasan Pambudi coorp minta ketemu.” ujar Allen di suatu siang. Pambudi coorp adalah client ku untuk iklan makanan anjing itu.

“Dimana dia ? Kok gak buat janji dulu sih ?”

“Kalo mbak keberatan dia gak maksa kok. Katanya kalau mbak Sisca udah ada janji yang lain ya ditunda aja dulu sama yang Pambudi ini.”

“Aneh.” Nah ini dia, mataku mulai menangkap barang di meja kerjaku yang lumayan amburadul. Sesaat setelah aku menemukan barang yang kucari aku bergegas keluar dari ruang kerjaku.

Allen, asistenku mengikuti ku berjalan menuju tangga. Aku memang sudah ada janji dengan Bobby untuk ziarah ke makam Rey sore ini. Bobby aku tinggal di lobby ditemani Asty sedang aku ada perlu mengambil blocknote yang tertinggal di atas.

Allen masih setia mengikuti ku. Itu karena aku belum bisa memutuskan untuk bertemu atau tidak dengan Pambudi coorp. Setelah kulihat wajah Bobby yang sedang asyik bermain kartu tarrot milik Asty, aku putuskan untuk menunda pertemuan dengan Pambudi esok.

“Baik mbak, kalo mbak gak bisa hari ini akan saya sampaikan ke pak Sam. Biar nanti dia saja yang buat appointment baru dengan mbak.”

“OK Allen, aku tinggal dulu ya.” akhirnya Allen meninggalkanku sendiri.

Sore itu kami jadi ziarah ke makam Rey.

Sembari menunggu kabar pertemuanku disetujui atau tidak oleh Sisca, aku memutuskan untuk membaca koran yang tersedia di lobby kantor advertising ini. Setelah beberapa saat mencoba untuk berkonsentrasi membaca, akhirnya telingaku terganggu juga oleh sebuah suara yang ada di kursi sebelah. Ternyata anak itu. Aku sudah tau sejak awal kalau Sisca sudah menikah dan punya anak bernama Bobby. Dan sosok mungil itu sekarang ada dihadapanku.

“Ramalin Bobby, tante ?” pinta Bobby, manja.

“Anak kecil gak boleh main ramal-ramalan. Kalo mau dibuat mainan gak papa asal jangan lecek ya.”

Mata Bobby bersinar.

“Kalo gitu tante aja yang Bobby ramal.”

“Dasar anak kecil.” wanita yang dipanggilnya tante itu mengusap lembut rambut Bobby.

“Gimana kalo om aja yang diramal ?” celetukku. Serta merta keduanya menoleh ke arah ku.

“Eh, om kan yang waktu itu nemenin Bobby di toko buku ya ?” ingat Bobby.

Pertemuan dengan Bobby di toko itu memang tidak ku sengaja. Dengan hanya berbekal ingatan ku pada selembar foto keluarga Sisca yang pernah aku terima dari seorang teman sekaligus mata-mata yang kusewa untuk mencari keberadaan Sisca, maka dengan cepat aku bisa mengenali Bobby sebagai anak kandung Sisca. Foto itu masih aku simpan sampai sekarang. Hanya saja sekarang Rey sudah tidak ada. Itu berita terakhir yang kudengar.

“Iya sayang. Apa kabar ?”

“Baik om.”

“Jadi sekolahnya ?”

“Bobby kenal sama om ini ?” potong wanita itu bingung.

“Iya, kita ketemu di mall Sejati.”

“Ibu juga kenal ?”

“O iya, kata ibu, Bobby gak boleh bicara sama orang asing.” ujar Bobby.

“Kalo gitu kita kenalan aja supaya gak jadi asing. Nama kamu Bobby kan? Saya Sam?” Bobby mengangguk-angguk senang. Sembari kuulurkan tanganku dan disambut oleh Bobby.

“Dan ini tante Asty, temen kerja Ibu.” Bobby memperkenalkanku pada sosok wanita yang tadi ia panggil dengan sebutan tante. Kami saling berjabatan tangan.

Tiba-tiba handphone di saku ku berbunyi.

“Maaf, om terima telpon ini dulu ya.” Bobby dan Asty mengangguk bersamaan.
Aku tidak melihat Sisca turun dari tangga gara-gara telpon dari Satrio, staff ku. Dan akhirnya hanya asisten Sisca lagi yang menemuiku.

Aku gagal menemuinya. Bobby telah berlalu dengan Sisca.

Akhirnya pertemuanku dengan Pambudi coorp di reschedule. Allen menyiapkan ruang meeting sore itu untuk keperluan yang satu itu. Mereka datang on time.

“Mbak, pemilik Pambudi coorp sudah menunggu di ruang meeting.” info Allen.

“Team yang lain ?”

“Sudah menemani lebih dulu mbak ?”

“Mau apa sih mereka, Len?”

“Gak tau mbak, setau saya tidak ada surat dari mereka yang menyatakan ingin membatalkan kontrak.”

Allen kembali setia mengikutiku dari belakang. Setiba nya di depan ruang meeting, Allen membukakan pintu yang terbuat dari kayu jati itu untukku. Hawa dingin AC ruangan menerpa wajahku. Beberapa pasang mata melihatku.

“Nah ini dia yang berhasil membujuk saya dengan karya nya untuk menerima kontrak ini pak?” jelas pak Satrio, perwakilan dari Pambudi coorp. Semua berdiri menyambutku. Satu per satu saya jabat tangannya, sampai pada seseorang yang aku kenal tapi telah lama hilang. Sam......betulkah ini Sam ? Ragu-ragu aku menjabat tangannya. Aku termangu.

“Beliau Pak Sam, bu. Pemilik Pambudi coorp Jawa-Bali.” terang Satrio lagi. Membuyarkan lamunanku.

“Senang bisa bertemu lagi.” ujar Sam. Aku cuma bisa mengangguk dan tersenyum untuk mengatasi rasa grogi.

“Jadi Ibu dan Pak Sam sudah saling kenal?” tanya Satrio.

“Teman lama.” terang Sam. Mata kami saling beradu cukup lama.

“Saya hanya ingin bertemu dengan orang yang bisa membuat Pak Satrio ini luluh. Susah sekali bagi beliau untuk bisa menarik ide orang lain. Berarti masih ada di dunia ini yang bisa menaklukkannya.” lanjut Sam.

“Ah, bapak ini.” Satrio tersipu. Kepala botaknya serta merta berkilau, se kilau senyumannya.

“Bapak terlalu menyanjung. Saya juga tidak akan bisa mempresentasikan ide brilliant itu jika tidak ada tim canggih saya ini. Saya pikir ada apa pak, soalnya setahu asistent saya tidak ada surat masuk yang menyatakan pembatalan kontrak anda.” terang ku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap tenang.

“Maaf kalo membuat Ibu bingung dan maaf juga kalau saya pernah datang kesini tanpa appointment lebih dulu. Maklum saya orangnya suka jalan, jadi ketika melintas di jalan Pemuda saya pikir kenapa tidak saja langsung kesini. Eh dibawah saya malah bertemu dengan anak kecil yang cerdas dan saya rasa dia memang secerdas ibunya.”

Apakah yang dia maksud adalah Bobby ? Waktu itu kan Bobby aku tinggal dengan Asty di lobby. Jadi Sam sudah bertemu dengan Bobby. Apakah Sam tau kalau anak yang dia maksud itu adalah anakku.

“OK, kita sudah menyita banyak waktu yang berharga untuk bu Sisca dan team. Saya hanya berharap kerjasama ini akan berlangsung dengan baik bahkan terus walaupun kontrak kita sudah berakhir. Sekali lagi kami minta maaf jika sudah menyusahkan kalian.” pamit Sam.

“Tidak pak, sama sekali tidak. Kami berharap juga kerjasama ini bisa langgeng dan kontrak-kontrak berikutnya akan datang lagi pada kami.” ha...ha...ha....riuh tawa menyambut ucapanku.

“Sampaikan salam saya pada Bobby ya.” bisik Sam ketika kami saling berjabat tangan untuk berpamitan.

Jadi, benar dugaanku.

Sam.

Tidak ada sama sekali kecanggungan tampak di wajahnya. Semoga aku juga tidak menyiratkan rasa grogi yang amat sangat saat pertemuan tadi.

“Allen”

“Ya mbak ?”

“Apa tadi aku terlihat aneh ?”

“Maksud mbak ?”

“Aku kelihatan gugup gak ?”

“Kalo saya lihat sih, mbak seperti apa adanya mbak. Tidak ada yang kurang juga tidak ada yang lebih. Mbak tetep manis.” Allen memang suka berlebihan kalau memuji.

“Tumben kamu gak makan malam di rumah, Sis? Ntar Bobby nyari lho.” malam ini aku ingin curhat setelah bertemu dengan Sam tadi di kantor. Dan makan malam diluar rumah adalah jalan tengah yang baik, soalnya kalo di rumah tidak akan bisa lepas dari genggaman Bobby.

“Aku udah ijin kok.”

“Kayaknya ada yang aneh. Ada apa sih, Sis?”

“Aku habis ketemu teman lama.” pelayan datang membawakan pesanan kami. Malam ini aku tidak sedang antusias makan, jadi aku cuma pesan orange jus dan kentang goreng.

“Siapa ?” Asty bersiap hendak menyantap makanannya. Sebenarnya tergiur juga mencoba sup buntut, menu andalan di restoran ini. Tapi sekali lagi kuurungkan niatku itu.

“Sebenarnya lebih tepat dibilang mantan pacar.”

“Sisca punya mantan pacar ?” Asty memang sahabat ku sejak masuk di perusahaan ini. Jadi dia hanya mengenal Rey sebagai pacar pertama dan terakhirku.

“Ya iyalah, emang kamu doang yang bisa gonta ganti pacar ?” protesku.

“Sorry....sorry....trus, dimana kalian ketemuan lagi?”

“Di kantor.”

“Kapan ? Kok aku gak lihat ada tamu yang muda dan perlente. Yang aku lihat cuma si botak yang dulu pernah datang juga kesini.” pasti yang Asty maksud adalah Satrio.

“Jangan-jangan dulu selera mu yang begituan ya sis. Jadi beruntung dong ada Rey yang mau sama kamu.”

“Sialan kamu. Kamu sih taunya belakangan. Eh iya, aku baru inget. Di meeting tadi dia juga bilang kalo hari Jumat kemarin dia pernah datang ke kantor dan ketemu sama Bobby di lobby, bukannya waktu itu Bobby kamu yang jagain ?”

“Ehm..sebentar...perasaan tidak ada orang mencurigakan di lobby waktu itu.” kalimat Asty makin tidak jelas, karena dia tenggelam bersama lauk pauk di mulutnya.

“Eh tapi tunggu deh. Kita emang sempat kenalan sama orang, kalo bener itu orang yang lo maksud Sis, wow guanteng banget orangnya, dandanannya trendy, bukan kayak orang kantoran, tapi wajahnya tetep profesional muda gitu.”

“Siapa namanya ?”

“Si.....sa.....Sam. Iya Sam. Malah Bobby duluan yang kenal ama dia. Katanya dulu udah pernah ketemuan di toko buku gitu.” aku jadi teringat cerita Bobby, pengalaman pertama kalinya berbicara dengan orang asing dan sempat membuatku panik itu.

“Jadi pantes kalo dia tau Bobby itu anakku.”

“Trus, dia udah nikah blon? Ato udah punya pacar ? Jangan-jangan udah punya anak juga ?” hih! Aku comot sup buntut Asty. Dia langsung manyun lihat daging terakhir di mangkoknya masuk ke mulut ku.


Sam.

Setelah bertahun-tahun lamanya kami bertemu kembali. Dalam suasana dan keadaan yang jauh berbeda. Kami memang belum sempat saling bertukar pengalaman, tapi aku yakin betul kalo sekarang dia sudah sukses dengan kariernya. Terbukti sudah berapa puluh anak perusahaan yang ia punya dan kelola, termasuk Pambudi coorp yang punya kontrak kerjasama dengan Green Miles. Kabar itu aku dengar dari Allen saat mereportase awal mula Pambudi coorp berdiri, sebagai arsip perusahaan.

Sam yang dulu, yang aku kenal adalah seorang mahasiswa dengan rambut gondrong dan pakaian ala kadarnya. Kami dulu sempat berpacaran, tapi tidak lama. Karena kami ingin mengejar karier dulu masing-masing. Tidak lama tapi cukup berkesan. Dari Sam aku mengenal arti hidup yang sesungguhnya, karena semua kekayaan yang ia miliki sekarang adalah dimulainya dari nol, dari sejak dia belum punya apa-apa. Sebagai anak pertama di keluarganya dia mempunyai tanggungjawab yang besar untuk bisa membawa keluarganya ke kehidupan yang lebih baik. Makanya dia meminta kami putus, karena obsesi nya untuk berkarier hanya akan membuatku disisihkan olehnya.

Beberapa tahun berlalu. Sam tidak pernah terdengar kabarnya sampai satu email pernah nyasar masuk ke inbox di email ku.

From : zero@yahoo.com
to : addictive@yahoo.com

hai, sisca. Gimana kabarmu sekarang ? Sudahkah kau dapatkan arti hidup yang sesungguhnya ? Tapi di sisi lain aku tetap beharap yang terbaik untuk mu. Kamu pernah menjadi “rose” dalam hidupku. And will always do.

Dia ganti alamat email. Tapi aku tau itu dia. Sam. Hanya dia yang pernah panggil aku “rose”. Jadi selama itu dia masih mengingatku.

Betul kata Asty. Dia memang tampan, idola para gadis di kampusnya. Dalam email-email berikutnya dia bercerita kalau dia sempat bekerja sebagai loper koran di Amrik. Gajinya lumayan untuk dia bisa ambil kuliah lagi disana. Dan aku cerita padanya kalau aku sudah bekerja di perusahaan advertising di Semarang. Sejak email terkhirnya yang bercerita kalau dia akan mengambil kuliah S2 di Amrik itu dia tidak lagi menghubungiku. Hubungan kami benar-benar putus. Tapi terkadang aku masih memberinya info apapun yang terjadi denganku, termasuk info pernikahanku dengan Rey.

Kenapa sekarang dia datang lagi. Apakah karena hanya kebetulan dia akan mengiklankan produknya disini atau ada maksud lain. Beberapa pertanyaan menyesakkan pikiranku.

Jumat, 09 Januari 2009

O My God - Selamanya Cinta Part 1

Minggu kelabu, gak bisa upload foto nih !!!

Setelah berpikir panjang so aku share aja novel yang gak pernah terbit ini......hi....hi.....sebenarnya udah pernah aku coba kirim ke redaksi tapi DITOLAK.......katanya ceritanya gak fresh.

Ya udah dari pada bengong mending masukkin aja ke blog toh lagian kan aman gak ada gambar-gambar yang kena sensor.

Gini nih ceritanya :


SINOPSIS NOVEL "SELAMANYA CINTA"



(Di kala hati resah
Seribu ragu datang … memaksaku
Rindu semakin menyerang
Kalau lah aku dapat membaca pikiranmu
Dengan sayap pengharapanku ingin terbang jauh)

Sisca hanyalah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan untuk mencintai dan dicintai oleh kaum adam. Kala Rey, suami yang dicintai dengan sepenuh hatinya meninggal Ia pun seperti kehilangan pegangan hidup. Membesarkan anak semata wayangnya dengan cinta yang ia miliki seorang diri.

(Biar awan pun gelisah,
Daun daun jatuh berguguran
Namun cintamu kasih terbit laksana bintang
Yang bersinar cerah menerangi jiwaku)

Hadirlah seorang Sam, bagian dari masa lalunya. Membawa cinta yang lebih dari cukup untuk Sisca dan anaknya. Membuat Sisca percaya bahwa mencintai dirinya adalah tujuan hidup seorang Sam.

(Andaikan ku dapat mengungkapkan perasaanku
Hingga membuat kau percaya
Akan ku berikan seutuhnya rasa cintaku
Selamanya selamanya)

Ingin Sisca bisa membalas cinta Sam. Dalam kesendiriannya ia berharap, dalam hening ia berdoa agar itu menjadi kenyataan. Ia ingin bisa memberikan seutuhnya rasa cintanya untuk Sam. Selamanya. Namun ternyata itu tidak semudah dan semulus harapannya.
Akankah mereka berjodoh ? Akankah ia memiliki ‘selamanya cinta’ ?



PART 1

I LOST HIM


Hujan di pagi hari ini turun sangat deras, sederas air mata yang tak bisa kubendung ketika kulihat jasad suamiku, Rey, tergeletak di petinya. Mama memelukku erat. Hanya satu yang menjadi pikiranku saat ini, bagaimana aku harus menceritakan semua ini pada Bobby, anakku.

Wajah Rey tampak tenang. Ia seperti tidur. Tapi kali ini tidur yang takkan kunjung bangun. Kecelakaan telah merenggut nyawanya. Dia terlalu memaksakan diri pagi lalu untuk berangkat pulang ke rumah dalam keadaan mengantuk setelah semalaman suntuk menyelesaikan laporan kerjanya. Hujan memang tidak pernah berhenti sejak siang itu hingga pagi ini. Licinnya jalan ditambah dengan rasa kantuk yang berlebih maka terjadilah kecelakaan itu. Warga menemukan tubuh suami ku yang masih bernyawa di tanah yang bersebelahan dengan jurang yang cukup dalam. Ia tidak sadarkan diri, sedangkan darah yang keluar terlalu banyak, maka nyawanya pun tak dapat tertolong lagi setelah beberapa menit ia dibawa ambulance untuk dibawa menuju rumah sakit terdekat.

Sudah satu tahun ini kami memang sudah sepakat agar ia mengontrak sebuah rumah mungil di pedalaman, supaya ia bisa dekat dengan tempat ia bekerja sebagai konsultan proyek di daerah tersebut. Seminggu sekali ia sempatkan untuk pulang dan berkumpul bersama kami di rumah, tapi ternyata akhir minggu ini merupakan akhir pertemuanku dengannya.

Semalam ia masih menelepon rumah menanyakan keadaan Bobby. Tak henti-hentinya ia berpesan padaku untuk selalu menjaganya. Entah itu firasat atau bukan, yang pasti memang sudah dua hari ini Bobby demam jadi ia kuatir dengan keadaan putranya.

Sesampainya kami di rumah duka, rumah yang sudah hampir tiga tahun ini kami tempati bersama, tak kuasa kulihat wajah lugu Bobby menatap ku lekat. Setengah berlari aku menghampirinya dan serta merta aku menangis di pelukannya. Ayah dan bunda Rey tampak baru datang. Serta merta mereka memelukku, hangat. Mereka sudah lama tinggal Singapura. Sejak lepas kuliah disana, Rey memutuskan untuk tinggal di Jakarta seorang diri. Rey adalah anak tunggal di keluarganya. Pasti sangat berat orang tuanya mengijinkan Rey untuk tinggal mandiri disini, seberat mereka harus ditinggalkan putra kesayangannya sekarang. Mereka berhambur dan menangis di samping jasad Rey.

“Kok Ibu nangis ? Ayah mana ? Katanya Ibu mau pulang sama Ayah ?” tanya nya bertubi-tubi dengan logat cedal nya.

Iyah, pembantuku menggendong Bobby dan mengambilnya dari pelukanku, sesuai instruksi dari mama. Dan mama kemudian menarik pundakku, memelukku dan membisikkan sesuatu padaku.

“Bagaimanapun sedihnya, kamu harus tetap cerita pada Bobby, Sis.”

“Tapi Sisca gak bisa, ma.” elakku.

“Cobalah. Bawa dia mendekat ke Rey. Dan jelaskan padanya kalo ayahnya akan tertidur sangat lama.” mama dengan lembut membelai rambutku. Aku mengangguk dan mama mulai melepaskan pelukannya.

Kuhampiri Bobby yang sedang bermain di kamarnya. Umurnya masih sangat muda, 2,5 tahun, aku harus mempersiapkan kalimat yang bisa dia mengerti. Kugendong ia keluar kamar. Isak tangis para kerabat dan keluarga Rey memenuhi ruang tamu berukuran 4x4 ini. Kuletakkan ia dekat dengan jenazah ayahnya. Kami termangu cukup lama, memandang wajah Rey yang tenang.

“Hei, ibu pulang sama ayah ya ? Kenapa ayah tetep merem aja ? Yah ini Bobby, yah.” itu kalimat pertama yang terlontar dari mulutnya setelah disadarinya bahwa aku memang tidak pulang sendirian. Sangat polos. Biasanya Rey akan menyambutnya dengan pelukan. Sekarang suasana begitu dingin.

“Sayang, ayah sudah pergi untuk selamanya.” Huh........pasti dia tidak akan mengerti maksud kalimatku ini. Dia kan masih terlalu kecil.

“Emangnya ayah mau pergi kemana ? Ayah kan baru pulang ?” tanyanya dengan kalimat-kalimat yang terkadang masih cedal kedengarannya.

“Ayah..........ayah sudah meninggal, nak.”

“Meninggal apa sih, bu?”

“Sisca, kamu pasti bisa menjelaskan ke Bobby, nak.” mama memberiku semangat. Entah kemana larinya kalimat-kalimat mudah yang biasa aku berikan untuk Bobby ketika dia minta penjelasan tentang ini dan itu. Maklum anak seumuran Bobby lebih banyak menuntut kejelasan tentang sesuatu yang tidak dia mengerti.

“Iya ma.” ujar ku pada mama. Mama bergeming, ia tetap menemaniku.

“Bobby, ayah mau pergi jauh ketemu Tuhan. Makanya ayah gak akan sama-sama kita lagi sekarang. Tuhan cinta sama ayah, makanya Tuhan memanggil ayah kesana.”

“Bobby juga cinta sama ayah. Tapi kenapa ayah lebih milih Tuhan ?”

“Karena Tuhan yang menciptakan ayah makanya ayah kembali lagi ke Tuhan.”

“Trus, ntar Bobby main sama siapa kalo gak ada ayah ?”

“Bobby masih punya ibu, eyang, mbak Iyah, sama temen-temen yang lain juga bisa kan ?”

“Jadi Bobby gak akan ketemu ayah lagi?”

“Iya sayang, tapi Bobby akan simpan semua kenangan bersama ayah disini.” sambil aku menunjuk dada Bobby.

“Bobby sayang ayah.” matanya yang sedari tadi tidak lepas dari wajah Rey berbalik padaku dan memelukku erat sekali.

“Kita semua sayang sama ayah. Sekarang Bobby cium ayah, ya ?” Pertunjukkan yang mengharukan, semua tamu yang hadir menangis untuk drama satu babak dalam keluargaku ini.

Anakku, ayahmu akan selalu menjagamu seperti dulu hanya sekarang dia tidak akan bersama-sama kita lagi.

Ya Tuhan, ijinkan lah hambamu ini kuat menjaga anak hamba seorang diri. Dengan tangan ini hamba akan membimbingnya menjadi anak yang baik seperti yang Engkau harapkan.

Sekarang Bobby dan aku bergantung satu sama lain. Setiap ada acara kaluar rumah selalu kubawa serta Bobby. Entah itu urusan kantor atau sekedar hang out dengan teman-teman untuk mencoba restaurant baru atau jalan-jalan di mall yang baru soft opening. Setiap hari Jumat kami sempatkan untuk ziarah ke makam Rey. Tidak lupa Bobby selalu membawa seikat bunga lily untuk dia persembahkan pada ayahnya. Rey suka sekali dengan bunga itu. Di taman rumah kami banyak tumbuh bunga itu, tapi jika belum berkembang, Bobby selalu memintaku untuk membelikannya untuk dibawa ke pusara ayahnya.

Kami sekarang hidup dalam kesederhanaan. Rumah peninggalan Rey aku kontrakkan karena terlalu besar untuk aku dan Bobby. Ayah dan Bunda Rey, mertuaku, melarangku untuk menjualnya. Walaupun baru beberapa kali saja mereka datang mengunjungi rumah kami ini tapi mereka bersikeras akan mempertahankan satu-satunya harta peninggalan anaknya. Rey dulu mendesainnya memang agak sedikit besar, katanya jika anak kami banyak maka akan cukup jika ruangan-ruangan yang lain akan digunakan sebagai tempat bermain dan kamar tidur mereka. Sekarang kami harus meninggalkannya & memilih sebuah rumah kecil yang mungil namun tetap asri. Bobby senang tinggal disana. Tapi sesekali dia masih merengek untuk kembali ke rumah kami itu walaupun hanya sekedar lewat di depan pintu gerbang dan melihat halaman depan rumah sudah membuatnya puas.

Beberapa bulan pernikahan ku dengan Rey berjalan kami langsung dianugerahi Bobby oleh Tuhan. Hampir tiga tahun usia Bobby kala Rey masih ada, membuat suasana rumah tangga kami bahagia dengan pertumbuhan dan keceriannya. Tapi sayang, Rey tidak bisa melihat kalau anaknya sekarang sudah mulai sedikit-sedikit bisa membaca huruf Arab, berhitung dan menulis. Memang perkembangannya agak sedikit lebih cepat dari anak seusianya yang lain. Suatu anugerah dari Tuhan untuknya memiliki kecerdasan itu.

Genap dua tahun sudah Rey meninggalkan kami. Karier ku semakin mantap berjalan. Dan sebentar lagi Bobby akan masuk TK. Senang sekali ia mempersiapkan segala keperluan pertamanya sekolah. Dari mulai tas, tempat minum, tempat makan, kotak alat tulis sampai buku gambar dia pilih sendiri di mall waktu sekalian ku ajak dia belanja bulanan. Usia Bobby sudah hampir 5 tahun jadi aku sudah percaya padanya untuk meninggalkannya di toko alat tulis itu sendirian, sedang aku berbelanja di supermarket yang bersebelahan dengan toko itu. Setengah jam kemudian aku menjemputnya kembali dengan beberapa barang pilihannya. Setelah kubayar di kasir, kami pun bergegas pulang karena baru saja mama telpon akan main ke rumah. Di mobil tak henti-hentinya Bobby bercerita bagaimana asyiknya tadi dia memilih peralatan sekolahnya, sampai dia juga bercerita sesuatu.

“Tadi ada om yang deketin Bobby, bu.” Sambil mulutnya terus mengunyah makanan ringan yang aku belikan di supermarket.

“Trus ?” tanya ku penasaran.

“Bobby ditanya'in mau beli apa. Trus om itu yang bantu Bobby pilih-pilih barang.”

“Siapa namanya ?”

“Bobby lupa nanya.”

“Sayang, lain kali kalo diajak ngobrol sama orang asing jangan langsung percaya ya, nak, apalagi kalo dikasih minuman atau makanan, bilang aja Bobby udah kenyang dan langsung pergi ke pak satpam kalo ibu gak ada di dekat Bobby. Yang nurut sama ibu ya nak.” perintah ku, cemas.

“Iya ibu.” janji Bobby.


to be continued...........