Selamanya Cinta Part 7
I’ve lost my loved ones
Sudah satu tahun berjalan. Aku mulai menata kembali hatiku. Aku berusaha tetap tegar demi Bobby. Tidak ada yang lain. Kami semakin hangat. Kami semakin saling membutuhkan. Pekerjaan ku juga baik-baik saja. Prestasi Bobby di sekolah makin gemilang. Sampai dengan saat ini semua baik-baik saja. Hingga pada suatu sore di kantor,
“Mbak Sisca, dicari bu Silvi. Tapi katanya kalo mbak Sisca masih sibuk ya nanti saja menemuinya.” ujar Niken. Sekretaris bu Silvi, sang direktur.
“OK, Nik. Nanti saya kesana. Makasih ya.” jawabku. Telpon kututup dan aku mulai konsentrasi lagi membuat pengajuan budget awal tahun.
“Sis, masih sibuk ya ?” tiba-tiba kepala Asty menyembul di pintu ruanganku.
“Biasa.” tanpa melihat ke Asty.
“Boleh aku ganggu?” pintanya iba.
“Ntar aja ya say, tanggung nih. Ntar kalo udah kelar pasti aku panggil.” janjiku.
“OK. Gak papa.” Asty berlalu.
Lima menit, 15 menit, setengah jam. Akhirnya kelar di menit ke 45. Aku print dan kukumpulkan dalam satu map biru berlogo perusahaan. Berkas sudah siap untuk aku berikan ke bagian accounting. Mungkin nanti saja sekalian aku menghadap bu Silvi.
“As, aku dah kelar nih. Kamu mau ngomongin apa'an ?” ujarku di telpon.
“Aku kesana deh.” Asty menutup telpon.
Tak lama kemudian.
“Sis, dulu waktu kamu hamil Bobby, apa sih yang kamu rasain?”
“Kamu hamil ?” Seruku.
“Jangan keras-keras dong.”
“Gak papa dong, kamu kan udah bersuami jadi sah aja kalo kamu hamil.”
Asty bengong.
“Kok malah bengong. Udah telat?”
Asty mengangguk.
“Berapa hari?”
Asty menghitung dengan jarinya.
“10 hari'an deh.”
“ Udah test pack ?”
Asty menggeleng.
“Dasar udik. Kalo telat gak wajar gitu langsung test pack aja non.”
“Terus?”
“Ya terus, kalo hasilnya positip lo ke dokter aja, kalo negatip ya buat lagi. Susah amat.”
“Aku serius Sis.”
Asty ngedumel.
“Dulu waktu aku hamil Bobby aku juga gak nyadar udah telat berapa lama, mungkin saking sibuknya kerja ya. Malah Rey lho yang nyadar duluan dan aku langsung dibeli'in test pack ama dia. Positip deh.”
“Berarti kemungkinan besar aku positip juga ya.”
“Kok ragu gitu sih. Emang kalo positip kenapa ? Kamu gak mau ?”
“Ya bukan gitu Sis. Pri dan aku sepakat untuk tidak punya momongan dulu.”
“Sepakat ato itu cuma keinginan Pri doang?” tanyaku penuh curiga.
“Yaa..........” Asty ragu menjawabnya.
“Pri kan?”
Asty mengangguk. Tanpa sepengatahuanku ternyata Asty sudah sejak lama mengkonsumsi pil KB supaya ia tidak hamil dan itu atas perintah Pri. Hanya karena lupa minum pada suatu hari maka jadilah ia terlambat bulan.
“Kamu jangan mau kalah sama cowok As. Hamil adalah hak seorang wanita, jadi harus kamu perjuangkan dan jangan hanya karena suami belum pengen kamunya jadi tertekan gitu.”
“Aku gak tertekan.”
“Tapi kamu takut kan?”
Asty sekali lagi muram.
“As, sekarang mending kamu test dulu deh. Gimana kalo aku antar kamu ke lab sore ini?”
Asty mengangguk lemah, gak yakin.
“As?” tanya ku lagi.
Dia mengangguk lagi.
“Ya udah sekarang aku ke bu Silvi dulu ya.”
“Ngapain ?”
“Gak tau, tadi dia manggil aku. Semoga kenaikan gaji ya.” senyum centilku beraksi.
Aku bersama-sama dengan Asty beranjak dari mejaku. Asty kembali ke ruangannya dan aku berjalan dengan map ditangan hendak menuju ke accounting dulu sebelum ke ruangan big boss. Setelah urusan dengan Accounting kelar kuketuk dengan santun pintu ruang bu Silvi.
“Masuk bu Sisca.” seru bu Silvi dari dalam. Ia tau kedatanganku setelah sekretarisnya meneleponnya melalui aiphone. Telepon khusus antar boss dan sekretaris.
“Gimana kabar ibu?” lanjunya.
“Saya baik bu. Ibu juga kelihatan sehat.”
“Terima kasih. Silahkan duduk bu.”
Aku mengangguk.
“Saya panggil ibu kesini karena saya ingin minta tolong.”
“Minta tolong apa bu. Semoga saya bisa bantu.”
“Ini.” tangan yang mulai keriput itu mengeluarkan satu buah undangan berwarna merah marun.
“Saya tidak bisa datang ke acara ini karena bentrok dengan schedule terapi saya. Semoga ibu bisa menggantikan saya untuk hadir ke pernikahan ini.”
“Bisa saya lihat bu?”
“Silahkan” bu Silvi menyerahkan undangan itu padaku. Aku baca dengan tekun setiap detail kalimatnya. Dan seperti petir di sore yang cerah. Aku menemukan nama Samuel Pradiptaya di baris mempelai pria dan Chyntia Ambarsari sebagai mempelai wanitanya. Jika iman ini tidak kuat, aku sudah jatuhkan undangan ini ke lantai.
“Yang menikah itu adalah anak rekan bisnis saya dulu. Dan saya dengar anaknya juga pernah jadi klien perusahaan kita kan? Makanya saya pilih bu Sisca untuk mewakilkan saya ke acara tersebut.”
Aku mengangguk lemah.
“Bu Sisca bisa bantu saya kan?”
Bu Silvi meminta saya dengan tulus, lagian dia tidak tau apa yang terjadi diantara kami bertiga, untuk apa saya tolak. Bu Silvi senang sekali dengan keputusan saya, jadi dia tidak perlu menunda lagi waktu terapi nya itu.
Aku tidak langsung menuju ke ruanganku setelah keluar dari ruangan Bu Silvi. Aku mampir ke toilet untuk sejenak mengompres keningku yang tiba-tiba panas ini dengan air keran yang dingin. Kuhapus make up tipis yang menghiasi wajahku itu. Aku harus tegar. Aku harus berani hadapi ini. Semua yang terjadi ini sudah pernah ada dalam bayangan terdalam ku.
Sore itu aku antar Asty ke lab, sesuai janjiku. Kami diam dengan pikiran masing-masing. Kami sama-sama tidak mantap untuk melangkah. Setelah aku parkir mobilku, Asty tidak juga segera keluar dari mobil.
“As, kamu kenapa?” yang semula aku sudah hendak menutup pintu mobil menjadi batal. Asty bergeming.
“As, kamu kenapa?” ulangku. Tapi kali ini sembari aku masukkan kembali tubuhku ke dalam mobil.
“Aku takut Sis.”
“Takut apa? Masak kamu takut hamil.”
Asty sedang tidak mood.
“Kamu takut sama Pri? Lantas apa dasar kamu menikah dulu? Sebenarnya dia cinta gak sih sama kamu?”
Asty kemudian membuka pintu mobil tanpa sempat menjawab pertanyaanku. Aku ikuti langkahnya keluar dari area parkir dan berjalan masuk ke lab. Langkah pastinya itu pasti tidak sama dengan maksud hatinya yang terdalam.
“Aku akan lakukan ini demi kamu.” ujar Asty.
“Kok demi aku?” seruku.
Asty ngeloyor menuju meja receptionist.
Beberapa menit kemudian dia keluar dengan membawa selembar amplop di tangan kirinya. Aku berdiri menyambutnya.
“Aku positip.” ujarnya tanpa melihat kearahku. Asty keluar dari lab dengan menangis. Aku berusaha mengejarnya.
“As, kamu kenapa sih.” aku berusaha meraih lengannya.
“Mas Pri tidak akan suka dengan ini Sis.” ujarnya dalam isak tangis.
“Tapi kenapa?” aku biarkan ia menyelesaikan dulu tangisnya. Aku ajak dia untuk duduk di bangku taman masih di area laboratorium.
“Dia.....dia pernah bilang sama aku kalo dia tidak suka anak kecil.”
Aku sedikit terkejut dengan pengakuan nya itu.
“Tapi itu kan dulu.”
“Ya dulu waktu awal menikah.” Asty membenarkan.
“Mungkin sekarang sudah tidak.” aku membelai lembut punggung sahabatku itu.
“Cobalah kalian bicarakan dulu hal ini. Jangan paranoid gitu dong say. Ayolah kamu pasti bisa.” bujukku.
“Makasih Sis udah antar aku kesini.”
Aku mengangguk. Dan kami pun pulang. Aku mengantar Asty dulu. Dunia ini memang aneh. Seharusnya mereka bahagia dikaruniai anak oleh Tuhan bukan malah tertekan seperti ini. Kasihan Asty.
Aku sampai di rumah sudah malam. Bobby sudah tidur. Setelah mencium keningnya dan menyelimutinya aku masuk ke ruang kerja. Kunyalakan lampunya. Dan kukeluarkan undangan marun itu dan meletakkannya di atas meja. Kupandangi benda itu. Lama aku maknai semua perjalanan hidupku ini. Dan ternyata aku memang tidak berjodoh dengan Sam. Sebentar lagi dia sudah menjadi milik orang lain. Dan aku masih bertahan seperti ini. Emang mau gimana lagi. Toh aku bahagia dengan keadaanku sekarang. Aku meletakkan map besar di atas undangan itu supaya aku tidak merasa sedih lagi dengan melihatnya. Tapi kenapa hati ini masih gundah. Akankah aku datang ke pernikahannya ? Apa kira-kira reaksi Sam dan keluarganya melihat aku datang kesana ? Seandainya bu Silvi tidak meminta bantuanku aku tidak akan tau jika Sam dan Tia akan menikah. Setidaknya tidak dari undangan itu, tapi dari waktu yang berjalan. Aku lelah. Aku ingin tidur dan berharap semua ini hanyalah mimpi buruk.
Aku bekerja seperti biasanya. Dengan tas yang biasanya, dengan sepatu dan stelan jas yang seperti biasanya. Aku ingin hari ini berjalan seperti biasanya, tidak akan ada lagi kejutan-kejutan yang menyesakkan dada. Tapi itu hanyalah harapan, buktinya pagi ini sudah aku temukan satu kejutan di mejaku. Asty mendadak mengirim surat dokter ini ke kantor, padahal kemarin dia baru saja aku antar pulang dan badannya sehat-sehat saja. Ada apa dengannya. Aku mencoba menghubungi HP nya tapi tidak aktif. Aku hubungi rumahnya tapi tidak ada. Dan aku lupa mencatat nomer telpon rumah barunya setelah mereka pindah dari rumah orang tuanya ke rumah nya di daerah Erlangga bersama Pri. Waktu aku bertanya pada orang di rumah lamanya dia tidak tahu-menahu dan tidak ada orang di rumah itu yang bisa aku tanyai tentang keberadaan Asty saat ini. Apakah ini ada hubungannya dengan hasil tes kehamilannya itu ? Aku mulai panik. Ya Tuhan apa yang akan terjadi hari ini ?
Aku bekerja dengan pikiran yang tidak bisa fokus. Setiap jam aku terus mencoba HP Asty tapi tetap nol hasilnya. Akhirnya aku SMS saja dia, jadi aku bisa tau kapan SMS ini akan terkirim baru nanti akan ku telpon.
SMS : As, kamu dimana. Kenapa tiba-tiba sakit. Gak papa kan kandunganmu. Ati-ati ya non.
Sampai dengan jam sudah menunjukkan pukul 17.00, jamnya pulang, SMS itu masih saja belum kabur dari outbox ku. Aku pulang dengan gundah. Untuk beberapa saat aku bisa melupakan masalah undangan pernikahan Sam.
Sesampainya di rumah.
“Ibu, tadi tante Asty kesini.” ujar Bobby setelah aku keluar dari kamar, mandi dan berganti pakaian.
“Kapan ?” aku mulai girang. Ada kabar gembira juga hari ini.
“Abis Bobby bobok siang, brarti sekitar jam 4'an.”
“Sama siapa? Om Pri ya?”
“Gak, sendiri aja kok.”
“Tante Asty keliatan sakit gak ?” aku mulai antusias bertanya pada Bobby. Bak seorang polisi menanyai saksi tindak kriminal.
“Bobby gak tau, pokoknya tadi cuma tanya Ibu sama kabar Bobby. Udah, gitu aja.”
“Aneh Asty ini, ya jelas lah aku pasti masih di kantor jam segitu.” aku berceloteh sendiri.
“Tante Asty tau kok Ibu masih di kantor, makanya tanyanya gini : Ibu masih di kantor kan?” celoteh Bobby.
“Lama gak ?” lanjutku
“Jam 5'an udah pulang. Tadi sempet buatin Bobby puding roti segala. Tuh sisanya masih di kulkas. Ibu disisain juga lho.” Bobby cengar-cengir.
“Makasih sayang. Maaf ya Ibu mau ke ruang kerja dulu.”
Aku tinggalkan Bobby sendiri. Dan mulai merenung di ruangan berukuran 3x3 itu. Kembali undangan itu ada di depan mataku. Argh, benda satu ini kenapa selalu mengganggu pikiranku. Tunggu, bukannya semalam aku letakkan di bawah map ini. Aku mulai bingung sambil kumasukkan undangan itu ke dalam laci. Kali ini pasti benar-benar tidak akan terlihat.
“Maap bu, Bobby tadi pagi cari buku PR Bobby yang mungkin ibu bawa kesini. Jadi Bobby juga lihat undangan itu.” tiba-tiba suara Bobby itu membuatku sedikit terkejut. Aku memang terbiasa mengecek buku PR Bobby lebih dulu sebelum ia bawa ke sekolah keesokan paginya. Aku hanya bisa diam mendengar pengakuan Bobby.
“Jadi, om Sam mau nikah ya bu ?” lanjutnya.
“Iya nak.” aku pertegas dengan sekali anggukan.
“Ibu diundang juga?”
“Bukan, atasan ibu di kantor yang meminta ibu datang ke acara ini karena dia tidak bisa hadir.” sambil kuusap lembut keningnya.
“Ibu mau datang kesana ?” aku kembali terkejut dengan pertanyaan anak semata wayangku itu.
“Ibu belum tau, emang kenapa?”
“Bobby siap nemenin ibu kesana.”
“Bobby......” aku memeluknya hangat.
Entahlah nak ibu siap atau tidak. Tapi kalau kau ada disisi ibu, insyaallah ibu juga akan kuat. Tak lama kemudian kudengar suara telpon berdering. Aku segera mengangkatnya dan meninggalkan Bobby sebentar di ruang kerja. Lima menit kemudian aku sudah menangis dan gagang telpon yang seharusnya masih aku dengarkan, karena si penelepon di seberang masih terus berbicara, sudah aku jatuhkan. Prak...
“Ibu kenapa?” Bobby panik.
“Tante Asty, nak.”
“Kenapa tante Asty bu.”
Tanpa menjawab pertanyaan Bobby, aku segera meraih jaketku dan jaket milik Bobby lalu kami bergegas menuju garasi dan mengendarai mobilku sedikit kencang.
“Kita mau kemana bu?”
“Kencangkan saja sabuk pengamanmu Bob.” aku kembali konsentrasi menyetir.
Dan sampai lah kami di Rumah Sakit Bunda. Biasanya aku datang ke RS ini untuk berbahagia karena kelahiran seorang bayi dari seorang teman. Tapi sekarang lain. Aku terseok-seok menyusuri koridor RS dengan Bobby yang masih setia mengikutiku dari belakang.
Ruang Ana, ini tempatnya. Di depan ruangan itu kulihat Ibu dan bapak Asty, tapi kenapa tidak kulihat Pri.
“Gimana keadaan Asty, tante ?” tanyaku setelah kami saling berjabat tangan.
“Keadaannya belum stabil Sis. Dan.....bayinya.......” ibu Asty tak kuasa menahan tangis. Ia menangis di pelukan suaminya. Kasihan mereka.
Aku minta ijin pada mereka untuk masuk dan menemui Asty. Bobby aku titipkan pada kerabat Asty. Sampai di dalam aku menemukan Asty yang tidak berdaya di atas ranjang. Ia tak sadarkan diri sejak kecelakaan itu terjadi. Menurut keterangan yang aku dengar dari kerabatnya ia tertabrak mobil yang melaju cepat di jalan raya depan rumahnya. Kenapa dia harus berlari, dan kenapa dia sampai tidak melihat kiri kanan pada saat melewati jalan raya itu, mau kemana dia. Terlalu banyak pertanyaan yang aku sendiri tidak bisa mencari jawabannya karena Asty saat ini sedang kritis. Beberapa selang pembantu berjuntai di atas tubuh nya. Ada apa denganmu As.
Hari sudah malam, dan aku bermaksud untuk berpamitan pada keluarga Asty, tapi ada satu pertanyaan yang masih mengganjal hati dan pikiranku.
“Mas Pri dimana ya om?” tanyaku sangat hati-hati pada bapak Asty.
“Entahlah nak. Sejak kejadian itu Pri tidak muncul. Yang membawa Asty kesini saja tetangganya.”
Malang sekali nasibmu As. Tega sekali Pri melakukan ini padamu. Seharusnya dia bersyukur kalau kamu bisa hamil, toh itu darah dagingnya juga. Dari awal aku tau kamu ragu. Tapi aku benar-benar tidak menyangka kalau Pri akan setega itu pada istri dan calon anaknya. Aku memang tidak terlalu baik mengenal sosok Pri. Yang aku tau dia sangat sayang pada Asty. Terlihat dari segenap perhatian yang ia berikan pada Asty sejauh yang aku tahu selama menjadi sahabatnya. Tapi setelah kejadian ini aku baru sadar kalo aku sudah salah menilai Pri.
Akhirnya aku dan Bobby pun pulang. Aku berjanji pada mereka untuk menjenguk Asty lagi besok. Malam yang melelahkan.
“Sam akan menikah Rey. Ternyata ia memang bukan jodohku.”
“Sabarlah Sis. Itu artinya Tuhan masih mempercayakan Bobby padamu seorang.”
“Iya. Aku tidak menyesali hal itu. Hanya saja kenapa ini terasa begitu menyakitkan.”
“Itu karena sebenarnya kamu sangat mencintainya tapi tidak kamu utarakan langsung kan ke Sam.”
“Aku tidak berani.”
“Apa salah jika seseorang memperjuangkan keinginannya.”
“Tidak, tapi untuk saat ini semua itu sudah terlambat.”
“Jadi kamu mau datang ke pernikahan mereka ?”
“Aku coba. Dulu waktu kita menikah aku pernah undang dia tapi dia tidak datang. Sekarang aku akan memenuhi undangan ini walaupun sebenarnya bukan aku yang ia undang.”
“Semangat Sis, semangat.”
“Ma kasih Rey.”
“Kamu akan kuat dengan Bobby disisimu. Aku akan selalu bersama kalian.”
Pagi ini aku habiskan waktu ku di rumah sakit tempat Asty dirawat. Asty masih belum ada perkembangan. Dia masih koma. Dan sekarang ia sudah dipindahkan ke RS umum, untuk keperluan medis lebih lanjut. Andai kamu tidak begini As, mungkin kita bertiga sekarang sedang bersiap-siap untuk datang ke pernikahan Sam dan Tia. Aku pasti akan mengajakmu. Itu pasti.
Sore harinya aku dan Bobby datang ke acara pernikahan Sam dan Tia. Sampai dengan turun dari mobil aku masih stabil. Bobby memegang erat tanganku. Kamipun terdampar di lautan manusia yang datang ke acara pernikahan mereka. Begitu mewah, begitu indah, semua dekorasinya melibatkan bunga lili putih. Entah itu keinginan mempelai wanita atau mempelai pria nya. Tapi setahu aku Sam tidak pernah terlihat mengagumi jenis bunga apapun. Saking banyaknya pengunjung aku sampai belum bisa melihat secara langsung sosok kedua mempelai. Apalagi Bobby yang kecil. Dia sampai kewalahan mencari celah untuk berjalan. Aku membantunya mencari jalan dan ruang untuk bernafas. Sekarang kami aman walaupun harus berada jauh dari podium. tapi justru dari sini aku bisa melihat sosok Sam dengan balutan jas mahal dan aksesorisnya yang berkilauan. Dia sungguh gagah. Dengan ramah ia menyalami semua tamu yang datang walaupun aku yakin tidak semua orang disini dikenalnya. Kenapa kaki ini jadi bergetar. Aku tak kuasa berdiri. Aku meminta Bobby untuk mengambilkan kursi untukku sembari menunggu luangnya tempat dan kami bisa bersalaman dengan mempelai. Tapi apakah aku kuasa untuk memberinya selamat. Sedang hati ini masih perih merasakan lukanya ditinggalkan seorang teman, kekasih, pacar lama.
“Ibu, udah agak sepi jalannya.” suara Bobby membuyarkan lamunanku.
“Iya sayang.” aku berusaha untuk tegar.
Aku dan Bobby melangkah menuju podium. Tia melihat kedatangan kami lebih dulu. Dia tersenyum padaku. Dan aku berusaha untuk membalas senyumnya. Dia terlihat anggun dengan kebaya putih panjang nya. Bobby semakin erat memegang tanganku.
“Kamu gak papa sayang.” Bobby menggeleng. Berarti yang ada apa-apa sebenarnya adalah aku. Kenapa sudah sedekat ini aku baru merasakan hal-hal aneh. Aku sempat membayangkan bahwa akulah yang mendampingi Sam di podium dan bukanlah Tia. Dan kenapa aku berpikir bahwa Sam tidak pernah memberikan senyuman kebahagiaan pada semua tamu yang datang. Apakah ia menyesal. Kenapa pikiran ini jahat sekali. Sam kaget melihat kehadiranku dan Bobby. Mungkin dia mengira kami tidak tau tentang acara ini.
“Selamat ya om.” ujar Bobby.
Sam seperti hendak menangis. Ia serba salah, antara ingin memeluk Bobby tapi kemudian buru-buru ia urungkan niatnya itu demi menjaga hati ibunya. Terlihat jelas disana karena selintas aku melihatnya bertatapan dengan tante Edis. Ia hanya bisa mengelus lembut rambut Bobby kemudian pandangannya beralih padaku.
“Selamat ya Sam.” suaraku parau.
“Sisca....” aku berusaha melepas genggaman tangannya, tapi tidak bisa. Ini terlalu kuat.
“Sam, aku harus jalan. Sam sadarlah.” Sam tersadar dari lamunannya dan mulai melepaskan genggaman tangannya yang membuat tanganku menjadi merah. Dan aku beralih pada Tia. Sebenarnya aku hanya ingin menjabat tangannya tapi Tia bersikeras hendak mencium kedua pipiku. Tapi ternyata ada maksud lain di balik itu semua. Tia membisikkan sesuatu padaku.
“Dia masih milikmu Sis.” dia mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum ramah padaku.
Apa maksud semua ini. Apakah mereka pikir pernikahan itu hanya ajang permainan. Aku bingung. Akupun mengucapkan selamat pada orangtua Sam dengan sekenanya. Kamipun bergegas turun dari podium dan meninggalkan gedung. Bobby hanya menurut, diam. Ia sepenuhnya tahu bahwa hati ibunya sedang sedih. Sebenarnya ia pun sedih tapi dia hanya tidak ingin menambah kesedihanku dengan memperlihatkannya di hadapanku.
Di tengah perjalanan pulang HP ku berbunyi. Nomor asing dan tidak ada nama. Ketika kuangkat, hanya isak tangis seorang wanita yang kudengar di seberang sana.
“Halo......halo.....siapa ini....halo.” wanita itu masih juga menangis.
“Sisca, ini tante nak.”
Seperti suara ibunya Asty. Aku mulai panik.
“Asty kenapa tante ?”
“Kesinilah segera sebelum semuanya terlambat.” Ibu Asty menutup telponnya.
“Bobby, kita ke rumah sakit dulu ya.” Bobby mengangguk patuh.
Ku laju kencang mobilku. Tak lama kemudian kami sudah ada di RS. Aku menggandeng erat Bobby. Kenapa semua menangis. Aku langsung masuk ke ruangan dimana Asty berada. Disamping ranjang Asty, tampak Ibu dan bapak Asty yang juga menangis. Setelah melihatku mereka langsung memberiku tempat untuk bisa berbicara dengan Asty. Ditinggalkannya kami berdua di dalam. Kulihat Asty mulai membuka matanya dan ia mencoba berbicara padaku.
“Kamu sudah sadar As?”
Walapun susah dan terbata-bata, Asty tetap ingin bicara.
“Aku senang ketemu kamu Sis.” ujarnya.
“Aku apalagi.”
“Cantik banget, abis darimana?”
Aku hanya bisa tersenyum.
“Sis, apapun yang terjadi padaku, tolong jangan dendam sama Pri.”
“Jadi dia yang buat kamu begini ?” aku mulai menangis. Akhirnya teka-teki itu terjawab sudah. Keragu-raguanku selama ini pupus seketika dengan pengakuan Asty.
“Jangan nangis, nanti bedaknya luntur.” canda Asty.
“Gak lucu.” sambil kuusap air mata yang keluar dengan tisu.
“Mungkin memang sudah takdirku. Aku sudah kehilangan janinku. Dan sebentar lagi aku juga akan kehilangan kamu Sis.”
“Kamu ngomong apa sih As?”
“Aku sudah gak kuat Sis. Sebenarnya pernikahanku dengan Pri tidak sebahagia kelihatannya. Lebih baik aku pergi.”
“Kamu tega ya As.” Asty tersenyum dan nafasnya mulai tersengal-sengal.
“As, kamu gak papa kan ?” kupegang tangannya, ya ampun dingin sekali.
“Asty kamu gak papa kan ? DOKTER !!!” teriakku. Ibu dan bapak Asty berhamburan masuk. Nafas Asty masih tersengal-sengal.
“Istighfar nak....ya Allah kenapa anak kita pak.” ujar ibu Asty. Kami semua panik.
“Ibu, bapak.....maafin Asty.” Asty menangis dan tiba-tiba ia pun tidak bernafas lagi.
Kami semua menangis. Kami semua bersedih. Aku telah kehilangan sahabat yang paling baik yang pernah kumiliki.
Aku terlalu jauh mengikuti keinginan kedua orang tuaku. Mereka hendak mengakhiri semua ini dengan suatu pernikahan. Seharusnya mereka tahu persis bahwa aku hanyalah lakon yang mengikuti kehendak sang dalang. Tidak bisa menolak dengan jaminan kesehatan mama. Pemaksaan, ya. Tapi bagiku jika Tia mengerti betul isi hatiku, lakon yang akan aku jalankan akan terasa lebih mudah.
“Aku akan jamin Sam, perjodohan ini hanyalah sandiwara semata.” ujar Tia di suatu sore.
“Kamu tidak sedih?” tanyaku
“Kenapa harus sedih. Aku melakukan ini ikhlas kok.”
“Tapi sampai kapan ini akan bertahan? Karena aku pun tidak tau akan sampai kapan aku mencintai Sisca dengan segenap hatiku. Maafkan aku Tia.”
“Kamu gak perlu minta maaf. Sisca memang beruntung bisa dicintai sepenuh hati oleh seorang pria. Suatu saat aku pasti juga akan menemukan pria seperti itu, yang dengan tulus menyayangiku.”
“Itu pasti, karena kamu orang yang baik.”
Tia tersenyum.
“Entah kenapa Sisca begitu sempurna dimataku.”
“Apa karena dia cinta pertamamu?”
“Entahlah. Rasanya aku rela mati jika harus berpisah dengannya. Apalagi dengan cara dipaksa seperti ini.”
“Jangan ngawur. Orang tuamu melakukan ini karena sayang padamu.”
“Ah, klise. Kalau menurutku itu bukanlah sayang tapi pemaksaan.”
Tia hanya diam karena aku mulai emosi.
“Tia, jika sesuatu terjadi padaku nanti kamu yakin tidak akan pernah menyesal menikahiku ?”
“Kamu ngomong apa sih ?”
Aku pun tidak tau apa yang akan terjadi padaku nanti. Yang pasti saat ini hatiku sakit, sedih, aku akan kehilangan wanita yang aku cintai untuk selama-lamanya.
Aku terus dan terus mengulur waktu pernikahanku dengan berbagai alasan klise, kesibukan di kantor. Tapi kenyataannya saat ini aku harus pasrah dengan segala takdir yang ada di hadapanku. Pagi ini aku akan menikahi Tia, wanita yang begitu pasrah dengan perjodohan ini. Kami mengikuti segala ritual pernikahan adat Jawa dengan tertib. Jika ada penganugerahan piala oscar saat ini pastilah aku dan Tia yang akan memenangkannya. Dengan kategori pemeran utama pria dan wanita terbaik. Tia menangis saat prosesi sungkem dengan orang tua, entah airmata sungguhan atau acting yang ia jalankan. Pokoknya kami sudah komitmen, tidak ada urusan hati dalam masalah ini.
Malamnya diadakan resepsi pernikahan kami yang kamipun tidak mengira akan semegah dan semewah ini dekorasi nya. Tamunya tumpah ruah. Tidak semuanya aku kenal. Aku harus tau diri, ini pesta mama dan papa, bukan aku ataupun Tia. Kami memang menikah tapi yang amat sangat bahagia di belakang ini adalah para orang tua kami. Dalam lubuk hati yang paling dalam aku ingin sekali berontak, semua ini bertentangan dengan hati nuraniku. Aku telah kalah.
Alhasil aku tidak bisa tersenyum malam ini. Tapi tidak dengan Tia. Kulihat senyum tulus senantiasa menghias di wajahnya yang ayu. Malam ini dia tampak anggun dengan kabaya modern jawa yang katanya buatan desainer kondang. Se kondang apapun desainer dari baju yang aku kenakan malam ini pasti akan sedih jika melihat si pemakai tidak sepenuh hati mengenakannya.
Tapi aku benar-benar tidak menyangka jika Sisca dan Bobby akan datang juga ke acara pernikahanku ini. Apa yang harus aku lakukan, apa yang harus aku katakan. Aku mati kutu di depan Sisca.
“Selamat ya om.” ujar Bobby, membuyarkan lamunanku.
Yang aku tau saat ini aku hanya ingin menangis di hadapan mereka, meratap, biar semua orang tau bahwa aku tidak sepenuh hati menikahi wanita di samping ku ini tapi hanya wanita di hadapanku ini lah tempatku ingin kuserahkan seluruh hatiku.
Aku serba salah, antara ingin memeluk Bobby tapi kemudian buru-buru aku urungkan niatku itu demi menjaga hati mama. Sekilas kulirik wanita setengah baya yang tengah berbahagia malam ini diatas segala kesedihanku. Aku hanya bisa mengelus lembut rambut Bobby kemudian mengalihkan pandangan ku pada Sisca.
“Selamat ya Sam.” ujarnya.
“Sisca....” aku melamun cukup lama sampai-sampai dia berusaha melepas genggaman tanganku, tapi tidak bisa.
“Sam, aku harus jalan. Sam sadarlah.” aku baru tersadar dari lamunanku dan mulai melepaskan genggaman ku. Aku seperti orang linglung. Aku terus dan terus menatapnya walaupun saat ini ia sudah jauh berlalu.
Sekali lagi aku ingin sekali berontak. Aku marah. Malam ini akan jadi malam yang penuh amarah.
Tidak ada malam pengantin. Walaupun kami berdua menginap di hotel dan kamar yang sama. Yang ada, pagi ini aku harus segera menuju ke pemakaman Asty, teman Sisca yang meninggal semalam karena komplikasi. Tengah malam aku di telpon oleh Santo, kakak Asty, yang temanku juga. Dan sesaat itu pula aku langsung teringat pada Sisca. Dia pasti sedang berduka malam ini. Sama sedihnya denganku, hanya saja aku bersedih karena dia, bukan yang lain.
Tia bersikeras ingin ikut ke pemakaman. Rupanya dia terbangun saat aku hendak bersiap-siap pergi. Dia bergegas bersiap-siap setelah aku mengijinkannya untuk ikut.
Sampai disana, langsung tampak olehku Sisca dalam balutan busana hitamnya. Karena memang sosoknya yang aku cari pertama kali sejak menginjak tanah pemakaman yang lembab karena hujan ini. Ia tampak sangat berduka. Wajahnya pucat tanpa make-up, tubuhnya tampak lemah. Untuk berdiri tegak pun ia harus dibantu oleh mamanya. Ya mama Sisca, wajahnya tidak asing bagiku. Ada juga papa Sisca yang berdiri tidak jauh di dekat Sisca, ia memegang erat tangan Bobby. Ingin rasanya aku mendekat dan berbaur dengan kesedihan mereka. Tapi aku tidak punya keberanian itu.
Setelah acara pemakaman aku bertemu dengan Santo dan bersalaman akrab dengannya. Tapi tak lama kemudian aku berpamitan pada nya karena aku bermaksud mengejar Sisca yang sudah hendak meninggalkan area pemakaman.
“Sis....Sisca ?” panggilku berulang-ulang. Tia dengan setia mengikuti ku dari belakang.
Rupanya Sisca mendengar panggilanku.
“Sam ? Itu Sam kan ?” tanya mama Sisca. Sisca hanya mengangguk.
“Aku mau pulang Sam.” tangan Sisca sudah meraih pintu mobil dan hendak membukanya.
“Tunggu Sis. Aku mohon tunggu.”
“Sudahlah Sam. Aku letih sekali.”
“Ijinkan aku menjadi semangatmu. Aku tau kamu sedang terluka. Aku tau betul bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang dekat dengan kita. Percayalah Sis.”
Sisca hanya menggeleng. Mama dan papanya sudah menunggunya di dalam mobil. Begitu juga dengan Bobby.
“Kamu gak tau Sam rasanya kehilangan orang yang sangat kita cintai.”
“Aku tau.” seruku sembari kutarik tangan Sisca.
“Aku pernah kehilangan kamu Sis. Dan setelah aku bertemu denganmu aku malah harus kehilangan kamu lagi dan kali ini untuk selama-lamanya. Jadi aku tau rasanya kehilangan orang yang sangat aku cintai.” Tia masih berdiri tidak jauh dariku.
“Jadi apa mau kamu sekarang.”
“Aku cuma mau bilang, kalo aku tidak bisa memilikimu maka tidak akan ada orang lain yang bisa memilikiku. Termasuk orang tuaku. Aku hanya akan kembali pada yang berhak memilikiku.”
“Apa maksudmu.”
“Pulanglah.”
“Sam.”
“Pulanglah.” aku menangis dan memunggunginya.
Ya Tuhan, aku tidak bisa menguasai diriku. Mobil Sisca melaju lambat dari hadapanku.
“Sisca..........” sejurus aku menatap mobil Sisca yang mulai berlalu, aku berlari dan terus berlari mengejarnya, tapi sepertinya mobil yang melaju kencang itu mengalahkan volume suaraku.
“Sisca tunggu aku.”
“Aku cinta kamu.” brak.....!!!!!
Ya ampun suara apa itu ?
Aku seketika itu juga menoleh ke belakang.
“SAM.....!!” seruku.
“Pa, tolong berhenti.” pintaku pada papa yang mengemudikan mobil. Setelah mobil berhenti, aku segera keluar, berlari, mendekati sosok tubuh yang lemah terkapar di tengah jalan masih di area pemakaman Asty. Sesaat kulihat Tia yang menangis dan hendak mengangkat tubuh Sam tapi segera ku tepis tangannya dan kubalikkan badan Sam yang tertelungkup.
“Sam....” serta merta kupeluk ia. Aku menangis. Wajahnya penuh dengan darah. Walaupun susah untuknya berbicara tapi ia paksakan juga.
“Sisca.”
“Apa yang kamu lakukan ? Kamu mau buat aku tambah sedih ? Kamu jahat Sam! Kamu jahat!”
Tangan yang juga bersimbah darah itu diberikannya padaku.
“Aku sayang sama kamu.”
“Aku tahu itu, aku tahu. Aku juga sayang sama kamu.”
“Aku lega mendengar itu dari kamu. Tapi maaf Sis, aku gak bisa sama kamu lagi.”
“Aku gak papa gak hidup sama kamu, aku kan pernah bilang gitu sama kamu. Cinta kan gak selalu memiliki. Tapi asal kamu jangan ninggalin aku. Kamu harus tetap hidup, Sam.”
“Maaf, untuk yang satu itu aku juga gak bisa nepatinnya.” nafasnya tersengal-sengal.
“Sam, bertahanlah untukku.”
“Sis, kalau ada kesempatan lain dan kita bisa hidup bersama, itu mungkin bukan di dunia ini.”
“Sam.... !! Tolong panggilkan ambulance !” seruku pada orang-orang yang berdiri di sekitarku juga pada Tia yang masih menangis.
“Jangan pergi Sam. Aku sudah……aku sudah letih ditinggal sama orang-orang yang aku sayangi. Jadi tolong jangan pergi.”
“Janjilah padaku, janjilah padaku Sis. Tetap jadilah Sisca yang aku kenal dulu. Jangan berubah. Aku sayang kamu.” nafasnya kembali tersengal. Dan Sam pergi sudah.
Di depan jasad yang terbujur kaku itu aku menangis. Ya Tuhan kenapa kau ambil semua yang aku cintai dan mencintaiku dengan tulus. Jika Kau ingin membuatku menderita kenapa tidak Kau ambil saja aku sekalian. Dulu Rey, kemudian Asty dan sekarang Kau juga panggil Sam. Apa yang salah dari mereka. Tanpa mereka aku sendiri. Sepi.
Tiba-tiba terlintas Bobby di benakku.
“Mana Bobby......” tanyaku dalam isak tangisku.
“Iya Ibu.” Bobby keluar dari balik kerumunan orang.
Sekarang aku sudah memeluk dua orang yang aku cintai. Ya Tuhan, jika Kau belum memanggil aku serta karena Bobby. Ijinkan aku tabah, kuat dan ikhlas menerima ini semua. Hanya dia yang saat ini aku punya. Jika Kau ingin ambil dia juga, ambillah aku saja. Aku tidak bisa hidup sendiri di dunia ini.
“Ibu. Sekarang Ayah Rey, tante Asty dan om Sam sudah bersama. Ibu jangan sedih ya, Bobby akan selalu menemani Ibu.” dengan berlinang air mata Bobby mengucapkan kalimat yang cukup menenangkan hatiku.
Ayah, masih ingat doa Bobby yang dulu ? Di depan pusara ayah, Bobby pernah bilang kalo Bobby suka ama temen ibu yang namanya om Sam. Tapi sepertinya om Sam lebih milih pergi sama ayah ke surga daripada nemenin Bobby dan Ibu disini. Kenapa sih Yah, semua kok dipanggil sama Tuhan, pertama ayah, terus tante Asty, terakhir om Sam. Kenapa sih Tuhan selalu buat Ibu sedih. Tapi kata Ibu memang semua orang akan kembali pada Tuhan, tapi kenapa semua yang Bobby sayang yang dipanggil ?
Bobby takut kalo Tuhan juga harus ambil Ibu. Bobby gak berani sendirian. Ayah, tolong sampaikan ke Tuhan, jangan ambil Ibu juga ya. Bobby janji deh, akan sayang terus sama Ibu dan selalu buat Ibu senang. Tolong ya Yah.
Sudah satu tahun berjalan. Aku mulai menata kembali hatiku. Aku berusaha tetap tegar demi Bobby. Tidak ada yang lain. Kami semakin hangat. Kami semakin saling membutuhkan. Pekerjaan ku juga baik-baik saja. Prestasi Bobby di sekolah makin gemilang. Sampai dengan saat ini semua baik-baik saja. Hingga pada suatu sore di kantor,
“Mbak Sisca, dicari bu Silvi. Tapi katanya kalo mbak Sisca masih sibuk ya nanti saja menemuinya.” ujar Niken. Sekretaris bu Silvi, sang direktur.
“OK, Nik. Nanti saya kesana. Makasih ya.” jawabku. Telpon kututup dan aku mulai konsentrasi lagi membuat pengajuan budget awal tahun.
“Sis, masih sibuk ya ?” tiba-tiba kepala Asty menyembul di pintu ruanganku.
“Biasa.” tanpa melihat ke Asty.
“Boleh aku ganggu?” pintanya iba.
“Ntar aja ya say, tanggung nih. Ntar kalo udah kelar pasti aku panggil.” janjiku.
“OK. Gak papa.” Asty berlalu.
Lima menit, 15 menit, setengah jam. Akhirnya kelar di menit ke 45. Aku print dan kukumpulkan dalam satu map biru berlogo perusahaan. Berkas sudah siap untuk aku berikan ke bagian accounting. Mungkin nanti saja sekalian aku menghadap bu Silvi.
“As, aku dah kelar nih. Kamu mau ngomongin apa'an ?” ujarku di telpon.
“Aku kesana deh.” Asty menutup telpon.
Tak lama kemudian.
“Sis, dulu waktu kamu hamil Bobby, apa sih yang kamu rasain?”
“Kamu hamil ?” Seruku.
“Jangan keras-keras dong.”
“Gak papa dong, kamu kan udah bersuami jadi sah aja kalo kamu hamil.”
Asty bengong.
“Kok malah bengong. Udah telat?”
Asty mengangguk.
“Berapa hari?”
Asty menghitung dengan jarinya.
“10 hari'an deh.”
“ Udah test pack ?”
Asty menggeleng.
“Dasar udik. Kalo telat gak wajar gitu langsung test pack aja non.”
“Terus?”
“Ya terus, kalo hasilnya positip lo ke dokter aja, kalo negatip ya buat lagi. Susah amat.”
“Aku serius Sis.”
Asty ngedumel.
“Dulu waktu aku hamil Bobby aku juga gak nyadar udah telat berapa lama, mungkin saking sibuknya kerja ya. Malah Rey lho yang nyadar duluan dan aku langsung dibeli'in test pack ama dia. Positip deh.”
“Berarti kemungkinan besar aku positip juga ya.”
“Kok ragu gitu sih. Emang kalo positip kenapa ? Kamu gak mau ?”
“Ya bukan gitu Sis. Pri dan aku sepakat untuk tidak punya momongan dulu.”
“Sepakat ato itu cuma keinginan Pri doang?” tanyaku penuh curiga.
“Yaa..........” Asty ragu menjawabnya.
“Pri kan?”
Asty mengangguk. Tanpa sepengatahuanku ternyata Asty sudah sejak lama mengkonsumsi pil KB supaya ia tidak hamil dan itu atas perintah Pri. Hanya karena lupa minum pada suatu hari maka jadilah ia terlambat bulan.
“Kamu jangan mau kalah sama cowok As. Hamil adalah hak seorang wanita, jadi harus kamu perjuangkan dan jangan hanya karena suami belum pengen kamunya jadi tertekan gitu.”
“Aku gak tertekan.”
“Tapi kamu takut kan?”
Asty sekali lagi muram.
“As, sekarang mending kamu test dulu deh. Gimana kalo aku antar kamu ke lab sore ini?”
Asty mengangguk lemah, gak yakin.
“As?” tanya ku lagi.
Dia mengangguk lagi.
“Ya udah sekarang aku ke bu Silvi dulu ya.”
“Ngapain ?”
“Gak tau, tadi dia manggil aku. Semoga kenaikan gaji ya.” senyum centilku beraksi.
Aku bersama-sama dengan Asty beranjak dari mejaku. Asty kembali ke ruangannya dan aku berjalan dengan map ditangan hendak menuju ke accounting dulu sebelum ke ruangan big boss. Setelah urusan dengan Accounting kelar kuketuk dengan santun pintu ruang bu Silvi.
“Masuk bu Sisca.” seru bu Silvi dari dalam. Ia tau kedatanganku setelah sekretarisnya meneleponnya melalui aiphone. Telepon khusus antar boss dan sekretaris.
“Gimana kabar ibu?” lanjunya.
“Saya baik bu. Ibu juga kelihatan sehat.”
“Terima kasih. Silahkan duduk bu.”
Aku mengangguk.
“Saya panggil ibu kesini karena saya ingin minta tolong.”
“Minta tolong apa bu. Semoga saya bisa bantu.”
“Ini.” tangan yang mulai keriput itu mengeluarkan satu buah undangan berwarna merah marun.
“Saya tidak bisa datang ke acara ini karena bentrok dengan schedule terapi saya. Semoga ibu bisa menggantikan saya untuk hadir ke pernikahan ini.”
“Bisa saya lihat bu?”
“Silahkan” bu Silvi menyerahkan undangan itu padaku. Aku baca dengan tekun setiap detail kalimatnya. Dan seperti petir di sore yang cerah. Aku menemukan nama Samuel Pradiptaya di baris mempelai pria dan Chyntia Ambarsari sebagai mempelai wanitanya. Jika iman ini tidak kuat, aku sudah jatuhkan undangan ini ke lantai.
“Yang menikah itu adalah anak rekan bisnis saya dulu. Dan saya dengar anaknya juga pernah jadi klien perusahaan kita kan? Makanya saya pilih bu Sisca untuk mewakilkan saya ke acara tersebut.”
Aku mengangguk lemah.
“Bu Sisca bisa bantu saya kan?”
Bu Silvi meminta saya dengan tulus, lagian dia tidak tau apa yang terjadi diantara kami bertiga, untuk apa saya tolak. Bu Silvi senang sekali dengan keputusan saya, jadi dia tidak perlu menunda lagi waktu terapi nya itu.
Aku tidak langsung menuju ke ruanganku setelah keluar dari ruangan Bu Silvi. Aku mampir ke toilet untuk sejenak mengompres keningku yang tiba-tiba panas ini dengan air keran yang dingin. Kuhapus make up tipis yang menghiasi wajahku itu. Aku harus tegar. Aku harus berani hadapi ini. Semua yang terjadi ini sudah pernah ada dalam bayangan terdalam ku.
Sore itu aku antar Asty ke lab, sesuai janjiku. Kami diam dengan pikiran masing-masing. Kami sama-sama tidak mantap untuk melangkah. Setelah aku parkir mobilku, Asty tidak juga segera keluar dari mobil.
“As, kamu kenapa?” yang semula aku sudah hendak menutup pintu mobil menjadi batal. Asty bergeming.
“As, kamu kenapa?” ulangku. Tapi kali ini sembari aku masukkan kembali tubuhku ke dalam mobil.
“Aku takut Sis.”
“Takut apa? Masak kamu takut hamil.”
Asty sedang tidak mood.
“Kamu takut sama Pri? Lantas apa dasar kamu menikah dulu? Sebenarnya dia cinta gak sih sama kamu?”
Asty kemudian membuka pintu mobil tanpa sempat menjawab pertanyaanku. Aku ikuti langkahnya keluar dari area parkir dan berjalan masuk ke lab. Langkah pastinya itu pasti tidak sama dengan maksud hatinya yang terdalam.
“Aku akan lakukan ini demi kamu.” ujar Asty.
“Kok demi aku?” seruku.
Asty ngeloyor menuju meja receptionist.
Beberapa menit kemudian dia keluar dengan membawa selembar amplop di tangan kirinya. Aku berdiri menyambutnya.
“Aku positip.” ujarnya tanpa melihat kearahku. Asty keluar dari lab dengan menangis. Aku berusaha mengejarnya.
“As, kamu kenapa sih.” aku berusaha meraih lengannya.
“Mas Pri tidak akan suka dengan ini Sis.” ujarnya dalam isak tangis.
“Tapi kenapa?” aku biarkan ia menyelesaikan dulu tangisnya. Aku ajak dia untuk duduk di bangku taman masih di area laboratorium.
“Dia.....dia pernah bilang sama aku kalo dia tidak suka anak kecil.”
Aku sedikit terkejut dengan pengakuan nya itu.
“Tapi itu kan dulu.”
“Ya dulu waktu awal menikah.” Asty membenarkan.
“Mungkin sekarang sudah tidak.” aku membelai lembut punggung sahabatku itu.
“Cobalah kalian bicarakan dulu hal ini. Jangan paranoid gitu dong say. Ayolah kamu pasti bisa.” bujukku.
“Makasih Sis udah antar aku kesini.”
Aku mengangguk. Dan kami pun pulang. Aku mengantar Asty dulu. Dunia ini memang aneh. Seharusnya mereka bahagia dikaruniai anak oleh Tuhan bukan malah tertekan seperti ini. Kasihan Asty.
Aku sampai di rumah sudah malam. Bobby sudah tidur. Setelah mencium keningnya dan menyelimutinya aku masuk ke ruang kerja. Kunyalakan lampunya. Dan kukeluarkan undangan marun itu dan meletakkannya di atas meja. Kupandangi benda itu. Lama aku maknai semua perjalanan hidupku ini. Dan ternyata aku memang tidak berjodoh dengan Sam. Sebentar lagi dia sudah menjadi milik orang lain. Dan aku masih bertahan seperti ini. Emang mau gimana lagi. Toh aku bahagia dengan keadaanku sekarang. Aku meletakkan map besar di atas undangan itu supaya aku tidak merasa sedih lagi dengan melihatnya. Tapi kenapa hati ini masih gundah. Akankah aku datang ke pernikahannya ? Apa kira-kira reaksi Sam dan keluarganya melihat aku datang kesana ? Seandainya bu Silvi tidak meminta bantuanku aku tidak akan tau jika Sam dan Tia akan menikah. Setidaknya tidak dari undangan itu, tapi dari waktu yang berjalan. Aku lelah. Aku ingin tidur dan berharap semua ini hanyalah mimpi buruk.
Aku bekerja seperti biasanya. Dengan tas yang biasanya, dengan sepatu dan stelan jas yang seperti biasanya. Aku ingin hari ini berjalan seperti biasanya, tidak akan ada lagi kejutan-kejutan yang menyesakkan dada. Tapi itu hanyalah harapan, buktinya pagi ini sudah aku temukan satu kejutan di mejaku. Asty mendadak mengirim surat dokter ini ke kantor, padahal kemarin dia baru saja aku antar pulang dan badannya sehat-sehat saja. Ada apa dengannya. Aku mencoba menghubungi HP nya tapi tidak aktif. Aku hubungi rumahnya tapi tidak ada. Dan aku lupa mencatat nomer telpon rumah barunya setelah mereka pindah dari rumah orang tuanya ke rumah nya di daerah Erlangga bersama Pri. Waktu aku bertanya pada orang di rumah lamanya dia tidak tahu-menahu dan tidak ada orang di rumah itu yang bisa aku tanyai tentang keberadaan Asty saat ini. Apakah ini ada hubungannya dengan hasil tes kehamilannya itu ? Aku mulai panik. Ya Tuhan apa yang akan terjadi hari ini ?
Aku bekerja dengan pikiran yang tidak bisa fokus. Setiap jam aku terus mencoba HP Asty tapi tetap nol hasilnya. Akhirnya aku SMS saja dia, jadi aku bisa tau kapan SMS ini akan terkirim baru nanti akan ku telpon.
SMS : As, kamu dimana. Kenapa tiba-tiba sakit. Gak papa kan kandunganmu. Ati-ati ya non.
Sampai dengan jam sudah menunjukkan pukul 17.00, jamnya pulang, SMS itu masih saja belum kabur dari outbox ku. Aku pulang dengan gundah. Untuk beberapa saat aku bisa melupakan masalah undangan pernikahan Sam.
Sesampainya di rumah.
“Ibu, tadi tante Asty kesini.” ujar Bobby setelah aku keluar dari kamar, mandi dan berganti pakaian.
“Kapan ?” aku mulai girang. Ada kabar gembira juga hari ini.
“Abis Bobby bobok siang, brarti sekitar jam 4'an.”
“Sama siapa? Om Pri ya?”
“Gak, sendiri aja kok.”
“Tante Asty keliatan sakit gak ?” aku mulai antusias bertanya pada Bobby. Bak seorang polisi menanyai saksi tindak kriminal.
“Bobby gak tau, pokoknya tadi cuma tanya Ibu sama kabar Bobby. Udah, gitu aja.”
“Aneh Asty ini, ya jelas lah aku pasti masih di kantor jam segitu.” aku berceloteh sendiri.
“Tante Asty tau kok Ibu masih di kantor, makanya tanyanya gini : Ibu masih di kantor kan?” celoteh Bobby.
“Lama gak ?” lanjutku
“Jam 5'an udah pulang. Tadi sempet buatin Bobby puding roti segala. Tuh sisanya masih di kulkas. Ibu disisain juga lho.” Bobby cengar-cengir.
“Makasih sayang. Maaf ya Ibu mau ke ruang kerja dulu.”
Aku tinggalkan Bobby sendiri. Dan mulai merenung di ruangan berukuran 3x3 itu. Kembali undangan itu ada di depan mataku. Argh, benda satu ini kenapa selalu mengganggu pikiranku. Tunggu, bukannya semalam aku letakkan di bawah map ini. Aku mulai bingung sambil kumasukkan undangan itu ke dalam laci. Kali ini pasti benar-benar tidak akan terlihat.
“Maap bu, Bobby tadi pagi cari buku PR Bobby yang mungkin ibu bawa kesini. Jadi Bobby juga lihat undangan itu.” tiba-tiba suara Bobby itu membuatku sedikit terkejut. Aku memang terbiasa mengecek buku PR Bobby lebih dulu sebelum ia bawa ke sekolah keesokan paginya. Aku hanya bisa diam mendengar pengakuan Bobby.
“Jadi, om Sam mau nikah ya bu ?” lanjutnya.
“Iya nak.” aku pertegas dengan sekali anggukan.
“Ibu diundang juga?”
“Bukan, atasan ibu di kantor yang meminta ibu datang ke acara ini karena dia tidak bisa hadir.” sambil kuusap lembut keningnya.
“Ibu mau datang kesana ?” aku kembali terkejut dengan pertanyaan anak semata wayangku itu.
“Ibu belum tau, emang kenapa?”
“Bobby siap nemenin ibu kesana.”
“Bobby......” aku memeluknya hangat.
Entahlah nak ibu siap atau tidak. Tapi kalau kau ada disisi ibu, insyaallah ibu juga akan kuat. Tak lama kemudian kudengar suara telpon berdering. Aku segera mengangkatnya dan meninggalkan Bobby sebentar di ruang kerja. Lima menit kemudian aku sudah menangis dan gagang telpon yang seharusnya masih aku dengarkan, karena si penelepon di seberang masih terus berbicara, sudah aku jatuhkan. Prak...
“Ibu kenapa?” Bobby panik.
“Tante Asty, nak.”
“Kenapa tante Asty bu.”
Tanpa menjawab pertanyaan Bobby, aku segera meraih jaketku dan jaket milik Bobby lalu kami bergegas menuju garasi dan mengendarai mobilku sedikit kencang.
“Kita mau kemana bu?”
“Kencangkan saja sabuk pengamanmu Bob.” aku kembali konsentrasi menyetir.
Dan sampai lah kami di Rumah Sakit Bunda. Biasanya aku datang ke RS ini untuk berbahagia karena kelahiran seorang bayi dari seorang teman. Tapi sekarang lain. Aku terseok-seok menyusuri koridor RS dengan Bobby yang masih setia mengikutiku dari belakang.
Ruang Ana, ini tempatnya. Di depan ruangan itu kulihat Ibu dan bapak Asty, tapi kenapa tidak kulihat Pri.
“Gimana keadaan Asty, tante ?” tanyaku setelah kami saling berjabat tangan.
“Keadaannya belum stabil Sis. Dan.....bayinya.......” ibu Asty tak kuasa menahan tangis. Ia menangis di pelukan suaminya. Kasihan mereka.
Aku minta ijin pada mereka untuk masuk dan menemui Asty. Bobby aku titipkan pada kerabat Asty. Sampai di dalam aku menemukan Asty yang tidak berdaya di atas ranjang. Ia tak sadarkan diri sejak kecelakaan itu terjadi. Menurut keterangan yang aku dengar dari kerabatnya ia tertabrak mobil yang melaju cepat di jalan raya depan rumahnya. Kenapa dia harus berlari, dan kenapa dia sampai tidak melihat kiri kanan pada saat melewati jalan raya itu, mau kemana dia. Terlalu banyak pertanyaan yang aku sendiri tidak bisa mencari jawabannya karena Asty saat ini sedang kritis. Beberapa selang pembantu berjuntai di atas tubuh nya. Ada apa denganmu As.
Hari sudah malam, dan aku bermaksud untuk berpamitan pada keluarga Asty, tapi ada satu pertanyaan yang masih mengganjal hati dan pikiranku.
“Mas Pri dimana ya om?” tanyaku sangat hati-hati pada bapak Asty.
“Entahlah nak. Sejak kejadian itu Pri tidak muncul. Yang membawa Asty kesini saja tetangganya.”
Malang sekali nasibmu As. Tega sekali Pri melakukan ini padamu. Seharusnya dia bersyukur kalau kamu bisa hamil, toh itu darah dagingnya juga. Dari awal aku tau kamu ragu. Tapi aku benar-benar tidak menyangka kalau Pri akan setega itu pada istri dan calon anaknya. Aku memang tidak terlalu baik mengenal sosok Pri. Yang aku tau dia sangat sayang pada Asty. Terlihat dari segenap perhatian yang ia berikan pada Asty sejauh yang aku tahu selama menjadi sahabatnya. Tapi setelah kejadian ini aku baru sadar kalo aku sudah salah menilai Pri.
Akhirnya aku dan Bobby pun pulang. Aku berjanji pada mereka untuk menjenguk Asty lagi besok. Malam yang melelahkan.
“Sam akan menikah Rey. Ternyata ia memang bukan jodohku.”
“Sabarlah Sis. Itu artinya Tuhan masih mempercayakan Bobby padamu seorang.”
“Iya. Aku tidak menyesali hal itu. Hanya saja kenapa ini terasa begitu menyakitkan.”
“Itu karena sebenarnya kamu sangat mencintainya tapi tidak kamu utarakan langsung kan ke Sam.”
“Aku tidak berani.”
“Apa salah jika seseorang memperjuangkan keinginannya.”
“Tidak, tapi untuk saat ini semua itu sudah terlambat.”
“Jadi kamu mau datang ke pernikahan mereka ?”
“Aku coba. Dulu waktu kita menikah aku pernah undang dia tapi dia tidak datang. Sekarang aku akan memenuhi undangan ini walaupun sebenarnya bukan aku yang ia undang.”
“Semangat Sis, semangat.”
“Ma kasih Rey.”
“Kamu akan kuat dengan Bobby disisimu. Aku akan selalu bersama kalian.”
Pagi ini aku habiskan waktu ku di rumah sakit tempat Asty dirawat. Asty masih belum ada perkembangan. Dia masih koma. Dan sekarang ia sudah dipindahkan ke RS umum, untuk keperluan medis lebih lanjut. Andai kamu tidak begini As, mungkin kita bertiga sekarang sedang bersiap-siap untuk datang ke pernikahan Sam dan Tia. Aku pasti akan mengajakmu. Itu pasti.
Sore harinya aku dan Bobby datang ke acara pernikahan Sam dan Tia. Sampai dengan turun dari mobil aku masih stabil. Bobby memegang erat tanganku. Kamipun terdampar di lautan manusia yang datang ke acara pernikahan mereka. Begitu mewah, begitu indah, semua dekorasinya melibatkan bunga lili putih. Entah itu keinginan mempelai wanita atau mempelai pria nya. Tapi setahu aku Sam tidak pernah terlihat mengagumi jenis bunga apapun. Saking banyaknya pengunjung aku sampai belum bisa melihat secara langsung sosok kedua mempelai. Apalagi Bobby yang kecil. Dia sampai kewalahan mencari celah untuk berjalan. Aku membantunya mencari jalan dan ruang untuk bernafas. Sekarang kami aman walaupun harus berada jauh dari podium. tapi justru dari sini aku bisa melihat sosok Sam dengan balutan jas mahal dan aksesorisnya yang berkilauan. Dia sungguh gagah. Dengan ramah ia menyalami semua tamu yang datang walaupun aku yakin tidak semua orang disini dikenalnya. Kenapa kaki ini jadi bergetar. Aku tak kuasa berdiri. Aku meminta Bobby untuk mengambilkan kursi untukku sembari menunggu luangnya tempat dan kami bisa bersalaman dengan mempelai. Tapi apakah aku kuasa untuk memberinya selamat. Sedang hati ini masih perih merasakan lukanya ditinggalkan seorang teman, kekasih, pacar lama.
“Ibu, udah agak sepi jalannya.” suara Bobby membuyarkan lamunanku.
“Iya sayang.” aku berusaha untuk tegar.
Aku dan Bobby melangkah menuju podium. Tia melihat kedatangan kami lebih dulu. Dia tersenyum padaku. Dan aku berusaha untuk membalas senyumnya. Dia terlihat anggun dengan kebaya putih panjang nya. Bobby semakin erat memegang tanganku.
“Kamu gak papa sayang.” Bobby menggeleng. Berarti yang ada apa-apa sebenarnya adalah aku. Kenapa sudah sedekat ini aku baru merasakan hal-hal aneh. Aku sempat membayangkan bahwa akulah yang mendampingi Sam di podium dan bukanlah Tia. Dan kenapa aku berpikir bahwa Sam tidak pernah memberikan senyuman kebahagiaan pada semua tamu yang datang. Apakah ia menyesal. Kenapa pikiran ini jahat sekali. Sam kaget melihat kehadiranku dan Bobby. Mungkin dia mengira kami tidak tau tentang acara ini.
“Selamat ya om.” ujar Bobby.
Sam seperti hendak menangis. Ia serba salah, antara ingin memeluk Bobby tapi kemudian buru-buru ia urungkan niatnya itu demi menjaga hati ibunya. Terlihat jelas disana karena selintas aku melihatnya bertatapan dengan tante Edis. Ia hanya bisa mengelus lembut rambut Bobby kemudian pandangannya beralih padaku.
“Selamat ya Sam.” suaraku parau.
“Sisca....” aku berusaha melepas genggaman tangannya, tapi tidak bisa. Ini terlalu kuat.
“Sam, aku harus jalan. Sam sadarlah.” Sam tersadar dari lamunannya dan mulai melepaskan genggaman tangannya yang membuat tanganku menjadi merah. Dan aku beralih pada Tia. Sebenarnya aku hanya ingin menjabat tangannya tapi Tia bersikeras hendak mencium kedua pipiku. Tapi ternyata ada maksud lain di balik itu semua. Tia membisikkan sesuatu padaku.
“Dia masih milikmu Sis.” dia mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum ramah padaku.
Apa maksud semua ini. Apakah mereka pikir pernikahan itu hanya ajang permainan. Aku bingung. Akupun mengucapkan selamat pada orangtua Sam dengan sekenanya. Kamipun bergegas turun dari podium dan meninggalkan gedung. Bobby hanya menurut, diam. Ia sepenuhnya tahu bahwa hati ibunya sedang sedih. Sebenarnya ia pun sedih tapi dia hanya tidak ingin menambah kesedihanku dengan memperlihatkannya di hadapanku.
Di tengah perjalanan pulang HP ku berbunyi. Nomor asing dan tidak ada nama. Ketika kuangkat, hanya isak tangis seorang wanita yang kudengar di seberang sana.
“Halo......halo.....siapa ini....halo.” wanita itu masih juga menangis.
“Sisca, ini tante nak.”
Seperti suara ibunya Asty. Aku mulai panik.
“Asty kenapa tante ?”
“Kesinilah segera sebelum semuanya terlambat.” Ibu Asty menutup telponnya.
“Bobby, kita ke rumah sakit dulu ya.” Bobby mengangguk patuh.
Ku laju kencang mobilku. Tak lama kemudian kami sudah ada di RS. Aku menggandeng erat Bobby. Kenapa semua menangis. Aku langsung masuk ke ruangan dimana Asty berada. Disamping ranjang Asty, tampak Ibu dan bapak Asty yang juga menangis. Setelah melihatku mereka langsung memberiku tempat untuk bisa berbicara dengan Asty. Ditinggalkannya kami berdua di dalam. Kulihat Asty mulai membuka matanya dan ia mencoba berbicara padaku.
“Kamu sudah sadar As?”
Walapun susah dan terbata-bata, Asty tetap ingin bicara.
“Aku senang ketemu kamu Sis.” ujarnya.
“Aku apalagi.”
“Cantik banget, abis darimana?”
Aku hanya bisa tersenyum.
“Sis, apapun yang terjadi padaku, tolong jangan dendam sama Pri.”
“Jadi dia yang buat kamu begini ?” aku mulai menangis. Akhirnya teka-teki itu terjawab sudah. Keragu-raguanku selama ini pupus seketika dengan pengakuan Asty.
“Jangan nangis, nanti bedaknya luntur.” canda Asty.
“Gak lucu.” sambil kuusap air mata yang keluar dengan tisu.
“Mungkin memang sudah takdirku. Aku sudah kehilangan janinku. Dan sebentar lagi aku juga akan kehilangan kamu Sis.”
“Kamu ngomong apa sih As?”
“Aku sudah gak kuat Sis. Sebenarnya pernikahanku dengan Pri tidak sebahagia kelihatannya. Lebih baik aku pergi.”
“Kamu tega ya As.” Asty tersenyum dan nafasnya mulai tersengal-sengal.
“As, kamu gak papa kan ?” kupegang tangannya, ya ampun dingin sekali.
“Asty kamu gak papa kan ? DOKTER !!!” teriakku. Ibu dan bapak Asty berhamburan masuk. Nafas Asty masih tersengal-sengal.
“Istighfar nak....ya Allah kenapa anak kita pak.” ujar ibu Asty. Kami semua panik.
“Ibu, bapak.....maafin Asty.” Asty menangis dan tiba-tiba ia pun tidak bernafas lagi.
Kami semua menangis. Kami semua bersedih. Aku telah kehilangan sahabat yang paling baik yang pernah kumiliki.
Aku terlalu jauh mengikuti keinginan kedua orang tuaku. Mereka hendak mengakhiri semua ini dengan suatu pernikahan. Seharusnya mereka tahu persis bahwa aku hanyalah lakon yang mengikuti kehendak sang dalang. Tidak bisa menolak dengan jaminan kesehatan mama. Pemaksaan, ya. Tapi bagiku jika Tia mengerti betul isi hatiku, lakon yang akan aku jalankan akan terasa lebih mudah.
“Aku akan jamin Sam, perjodohan ini hanyalah sandiwara semata.” ujar Tia di suatu sore.
“Kamu tidak sedih?” tanyaku
“Kenapa harus sedih. Aku melakukan ini ikhlas kok.”
“Tapi sampai kapan ini akan bertahan? Karena aku pun tidak tau akan sampai kapan aku mencintai Sisca dengan segenap hatiku. Maafkan aku Tia.”
“Kamu gak perlu minta maaf. Sisca memang beruntung bisa dicintai sepenuh hati oleh seorang pria. Suatu saat aku pasti juga akan menemukan pria seperti itu, yang dengan tulus menyayangiku.”
“Itu pasti, karena kamu orang yang baik.”
Tia tersenyum.
“Entah kenapa Sisca begitu sempurna dimataku.”
“Apa karena dia cinta pertamamu?”
“Entahlah. Rasanya aku rela mati jika harus berpisah dengannya. Apalagi dengan cara dipaksa seperti ini.”
“Jangan ngawur. Orang tuamu melakukan ini karena sayang padamu.”
“Ah, klise. Kalau menurutku itu bukanlah sayang tapi pemaksaan.”
Tia hanya diam karena aku mulai emosi.
“Tia, jika sesuatu terjadi padaku nanti kamu yakin tidak akan pernah menyesal menikahiku ?”
“Kamu ngomong apa sih ?”
Aku pun tidak tau apa yang akan terjadi padaku nanti. Yang pasti saat ini hatiku sakit, sedih, aku akan kehilangan wanita yang aku cintai untuk selama-lamanya.
Aku terus dan terus mengulur waktu pernikahanku dengan berbagai alasan klise, kesibukan di kantor. Tapi kenyataannya saat ini aku harus pasrah dengan segala takdir yang ada di hadapanku. Pagi ini aku akan menikahi Tia, wanita yang begitu pasrah dengan perjodohan ini. Kami mengikuti segala ritual pernikahan adat Jawa dengan tertib. Jika ada penganugerahan piala oscar saat ini pastilah aku dan Tia yang akan memenangkannya. Dengan kategori pemeran utama pria dan wanita terbaik. Tia menangis saat prosesi sungkem dengan orang tua, entah airmata sungguhan atau acting yang ia jalankan. Pokoknya kami sudah komitmen, tidak ada urusan hati dalam masalah ini.
Malamnya diadakan resepsi pernikahan kami yang kamipun tidak mengira akan semegah dan semewah ini dekorasi nya. Tamunya tumpah ruah. Tidak semuanya aku kenal. Aku harus tau diri, ini pesta mama dan papa, bukan aku ataupun Tia. Kami memang menikah tapi yang amat sangat bahagia di belakang ini adalah para orang tua kami. Dalam lubuk hati yang paling dalam aku ingin sekali berontak, semua ini bertentangan dengan hati nuraniku. Aku telah kalah.
Alhasil aku tidak bisa tersenyum malam ini. Tapi tidak dengan Tia. Kulihat senyum tulus senantiasa menghias di wajahnya yang ayu. Malam ini dia tampak anggun dengan kabaya modern jawa yang katanya buatan desainer kondang. Se kondang apapun desainer dari baju yang aku kenakan malam ini pasti akan sedih jika melihat si pemakai tidak sepenuh hati mengenakannya.
Tapi aku benar-benar tidak menyangka jika Sisca dan Bobby akan datang juga ke acara pernikahanku ini. Apa yang harus aku lakukan, apa yang harus aku katakan. Aku mati kutu di depan Sisca.
“Selamat ya om.” ujar Bobby, membuyarkan lamunanku.
Yang aku tau saat ini aku hanya ingin menangis di hadapan mereka, meratap, biar semua orang tau bahwa aku tidak sepenuh hati menikahi wanita di samping ku ini tapi hanya wanita di hadapanku ini lah tempatku ingin kuserahkan seluruh hatiku.
Aku serba salah, antara ingin memeluk Bobby tapi kemudian buru-buru aku urungkan niatku itu demi menjaga hati mama. Sekilas kulirik wanita setengah baya yang tengah berbahagia malam ini diatas segala kesedihanku. Aku hanya bisa mengelus lembut rambut Bobby kemudian mengalihkan pandangan ku pada Sisca.
“Selamat ya Sam.” ujarnya.
“Sisca....” aku melamun cukup lama sampai-sampai dia berusaha melepas genggaman tanganku, tapi tidak bisa.
“Sam, aku harus jalan. Sam sadarlah.” aku baru tersadar dari lamunanku dan mulai melepaskan genggaman ku. Aku seperti orang linglung. Aku terus dan terus menatapnya walaupun saat ini ia sudah jauh berlalu.
Sekali lagi aku ingin sekali berontak. Aku marah. Malam ini akan jadi malam yang penuh amarah.
Tidak ada malam pengantin. Walaupun kami berdua menginap di hotel dan kamar yang sama. Yang ada, pagi ini aku harus segera menuju ke pemakaman Asty, teman Sisca yang meninggal semalam karena komplikasi. Tengah malam aku di telpon oleh Santo, kakak Asty, yang temanku juga. Dan sesaat itu pula aku langsung teringat pada Sisca. Dia pasti sedang berduka malam ini. Sama sedihnya denganku, hanya saja aku bersedih karena dia, bukan yang lain.
Tia bersikeras ingin ikut ke pemakaman. Rupanya dia terbangun saat aku hendak bersiap-siap pergi. Dia bergegas bersiap-siap setelah aku mengijinkannya untuk ikut.
Sampai disana, langsung tampak olehku Sisca dalam balutan busana hitamnya. Karena memang sosoknya yang aku cari pertama kali sejak menginjak tanah pemakaman yang lembab karena hujan ini. Ia tampak sangat berduka. Wajahnya pucat tanpa make-up, tubuhnya tampak lemah. Untuk berdiri tegak pun ia harus dibantu oleh mamanya. Ya mama Sisca, wajahnya tidak asing bagiku. Ada juga papa Sisca yang berdiri tidak jauh di dekat Sisca, ia memegang erat tangan Bobby. Ingin rasanya aku mendekat dan berbaur dengan kesedihan mereka. Tapi aku tidak punya keberanian itu.
Setelah acara pemakaman aku bertemu dengan Santo dan bersalaman akrab dengannya. Tapi tak lama kemudian aku berpamitan pada nya karena aku bermaksud mengejar Sisca yang sudah hendak meninggalkan area pemakaman.
“Sis....Sisca ?” panggilku berulang-ulang. Tia dengan setia mengikuti ku dari belakang.
Rupanya Sisca mendengar panggilanku.
“Sam ? Itu Sam kan ?” tanya mama Sisca. Sisca hanya mengangguk.
“Aku mau pulang Sam.” tangan Sisca sudah meraih pintu mobil dan hendak membukanya.
“Tunggu Sis. Aku mohon tunggu.”
“Sudahlah Sam. Aku letih sekali.”
“Ijinkan aku menjadi semangatmu. Aku tau kamu sedang terluka. Aku tau betul bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang dekat dengan kita. Percayalah Sis.”
Sisca hanya menggeleng. Mama dan papanya sudah menunggunya di dalam mobil. Begitu juga dengan Bobby.
“Kamu gak tau Sam rasanya kehilangan orang yang sangat kita cintai.”
“Aku tau.” seruku sembari kutarik tangan Sisca.
“Aku pernah kehilangan kamu Sis. Dan setelah aku bertemu denganmu aku malah harus kehilangan kamu lagi dan kali ini untuk selama-lamanya. Jadi aku tau rasanya kehilangan orang yang sangat aku cintai.” Tia masih berdiri tidak jauh dariku.
“Jadi apa mau kamu sekarang.”
“Aku cuma mau bilang, kalo aku tidak bisa memilikimu maka tidak akan ada orang lain yang bisa memilikiku. Termasuk orang tuaku. Aku hanya akan kembali pada yang berhak memilikiku.”
“Apa maksudmu.”
“Pulanglah.”
“Sam.”
“Pulanglah.” aku menangis dan memunggunginya.
Ya Tuhan, aku tidak bisa menguasai diriku. Mobil Sisca melaju lambat dari hadapanku.
“Sisca..........” sejurus aku menatap mobil Sisca yang mulai berlalu, aku berlari dan terus berlari mengejarnya, tapi sepertinya mobil yang melaju kencang itu mengalahkan volume suaraku.
“Sisca tunggu aku.”
“Aku cinta kamu.” brak.....!!!!!
Ya ampun suara apa itu ?
Aku seketika itu juga menoleh ke belakang.
“SAM.....!!” seruku.
“Pa, tolong berhenti.” pintaku pada papa yang mengemudikan mobil. Setelah mobil berhenti, aku segera keluar, berlari, mendekati sosok tubuh yang lemah terkapar di tengah jalan masih di area pemakaman Asty. Sesaat kulihat Tia yang menangis dan hendak mengangkat tubuh Sam tapi segera ku tepis tangannya dan kubalikkan badan Sam yang tertelungkup.
“Sam....” serta merta kupeluk ia. Aku menangis. Wajahnya penuh dengan darah. Walaupun susah untuknya berbicara tapi ia paksakan juga.
“Sisca.”
“Apa yang kamu lakukan ? Kamu mau buat aku tambah sedih ? Kamu jahat Sam! Kamu jahat!”
Tangan yang juga bersimbah darah itu diberikannya padaku.
“Aku sayang sama kamu.”
“Aku tahu itu, aku tahu. Aku juga sayang sama kamu.”
“Aku lega mendengar itu dari kamu. Tapi maaf Sis, aku gak bisa sama kamu lagi.”
“Aku gak papa gak hidup sama kamu, aku kan pernah bilang gitu sama kamu. Cinta kan gak selalu memiliki. Tapi asal kamu jangan ninggalin aku. Kamu harus tetap hidup, Sam.”
“Maaf, untuk yang satu itu aku juga gak bisa nepatinnya.” nafasnya tersengal-sengal.
“Sam, bertahanlah untukku.”
“Sis, kalau ada kesempatan lain dan kita bisa hidup bersama, itu mungkin bukan di dunia ini.”
“Sam.... !! Tolong panggilkan ambulance !” seruku pada orang-orang yang berdiri di sekitarku juga pada Tia yang masih menangis.
“Jangan pergi Sam. Aku sudah……aku sudah letih ditinggal sama orang-orang yang aku sayangi. Jadi tolong jangan pergi.”
“Janjilah padaku, janjilah padaku Sis. Tetap jadilah Sisca yang aku kenal dulu. Jangan berubah. Aku sayang kamu.” nafasnya kembali tersengal. Dan Sam pergi sudah.
Di depan jasad yang terbujur kaku itu aku menangis. Ya Tuhan kenapa kau ambil semua yang aku cintai dan mencintaiku dengan tulus. Jika Kau ingin membuatku menderita kenapa tidak Kau ambil saja aku sekalian. Dulu Rey, kemudian Asty dan sekarang Kau juga panggil Sam. Apa yang salah dari mereka. Tanpa mereka aku sendiri. Sepi.
Tiba-tiba terlintas Bobby di benakku.
“Mana Bobby......” tanyaku dalam isak tangisku.
“Iya Ibu.” Bobby keluar dari balik kerumunan orang.
Sekarang aku sudah memeluk dua orang yang aku cintai. Ya Tuhan, jika Kau belum memanggil aku serta karena Bobby. Ijinkan aku tabah, kuat dan ikhlas menerima ini semua. Hanya dia yang saat ini aku punya. Jika Kau ingin ambil dia juga, ambillah aku saja. Aku tidak bisa hidup sendiri di dunia ini.
“Ibu. Sekarang Ayah Rey, tante Asty dan om Sam sudah bersama. Ibu jangan sedih ya, Bobby akan selalu menemani Ibu.” dengan berlinang air mata Bobby mengucapkan kalimat yang cukup menenangkan hatiku.
Ayah, masih ingat doa Bobby yang dulu ? Di depan pusara ayah, Bobby pernah bilang kalo Bobby suka ama temen ibu yang namanya om Sam. Tapi sepertinya om Sam lebih milih pergi sama ayah ke surga daripada nemenin Bobby dan Ibu disini. Kenapa sih Yah, semua kok dipanggil sama Tuhan, pertama ayah, terus tante Asty, terakhir om Sam. Kenapa sih Tuhan selalu buat Ibu sedih. Tapi kata Ibu memang semua orang akan kembali pada Tuhan, tapi kenapa semua yang Bobby sayang yang dipanggil ?
Bobby takut kalo Tuhan juga harus ambil Ibu. Bobby gak berani sendirian. Ayah, tolong sampaikan ke Tuhan, jangan ambil Ibu juga ya. Bobby janji deh, akan sayang terus sama Ibu dan selalu buat Ibu senang. Tolong ya Yah.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda