he’s coming back……again !!!
Beberapa tahun kemudian.
Hari-hari kami jalani dengan suka cita berdua. Bobby sudah mau masuk SD, sekarang dia sudah 7 tahun. Dan aku masih enjoy dengan pekerjaan ku di advertising ini. Dan Asty kini telah menjadi partner ku satu divisi. Asyik sekali bisa kerjasama dengannya. Asty itu orangnya cerdas. Sering juga ide-ide canggihnya muncul disaat-saat terakhir jika kita semua sedang suntuk dan kehabisan ide.
Untuk masalah Sam. Sejak kejadian Kids fun itu tidak pernah ku dengar beritanya lagi. Bahkan pada saat kami menyelesaikan kontrak kerja dengan perusahaannya hanya Satrio yang lebih banyak bertemu muka dengan kami. Pernah aku berniat untuk menanyakan kabarnya melalui Satrio tapi aku urungkan niat itu jika aku mengingat kejadian di Kids fun saat itu bahwa akulah yang menginginkan dia untuk menjalankan kehidupannya sendiri tanpa kami.
Bobby pernah satu kali menanyakan kabar Sam padaku. Dan aku katakan padanya kalau om Sam nya saat ini sedang bekerja di luar negeri. Bobby pun sempat protes kenapa Sam tidak berpamitan padanya. Aku cuma bisa mengingat di malam itu Sam pernah mencium kening Bobby, mungkin itulah salam perpisahannya padamu, nak. Hanya kamu tidak merasakannya.
Pagi ini aku berencana antar Bobby ke sekolah pertamanya. Lengkap dengan seragam merah putihnya ia terlihat gagah seperti ayahnya. Rey kamu pasti bangga dengan Bobby sekarang. Dia tidak pernah menyusahkanku, termasuk dalam mendapatkan sekolah yang favorit sekalipun. Berkat otaknya yang encer segala tes masuk sekolah dasar bisa ia lalui dengan mulus. Walau sedikit jauh dari rumah tapi aku merasa aman dan percaya jika nantinya Bobby akan pulang dan pergi menggunakan jemputan sekolah.
Lapangan sekolah sudah dipenuhi anak-anak berseragam yang sama dengan Bobby. Ternyata tidak cuma aku yang mengantarkan anaknya pertama kali sekolah. Sementara aku asyik melihat keramaian yang ada ternyata Bobby lebih tertarik untuk melihat ke satu sudut dimana ada seorang anak seusianya yang diantar oleh kedua orang tuanya. Ya orangtuanya utuh. Ada ayah dan ibunya. Kupalingkan segera Bobby dari pandangannya itu.
“Sayang.....” sebelum aku sempat menyelesaikan kalimat ku Bobby sudah memberikan jari telunjuknya di depan bibirku.
“Bobby gak papa kok bu. Ibu gak usah sedih ya.” kedua tangan mungil itu memelukku.
“Sekarang Ibu pulang aja, ntar pulangnya Bobby bisa sama temen-temen yang lain naik jemputan.”
“Bener gak papa kalo Ibu tinggal ?” Bobby mengangguk dengan senyum terkembang. Kukecup kedua pipi anak tercintaku. Dan tidak lupa berpesan untuk selalu berhati-hati. Aku sempat selipkan beberapa nomor telpon penting yang bisa ia hubungi jika terjadi apa-apa di jalan. Termasuk di dalamnya nomor telponku dan nomer rumah mama dan papa.
Sampai di kantor aku dikejutkan dengan sebuah undangan cantik berwarna pink di meja kerjaku. Undangan siapa ya ? tanyaku dalam hati. Sudah kubolak-balik tetep saja tidak aku temukan nama pasangan yang sedang berbahagia itu. Dengan rasa penasaran aku buka plastik dan amplopnya. Hampir tak percaya, aku temukan nama Asty dan Priambodo di dalam undangan itu.
“Allen....Allen...” panggilku pada asisten kesayanganku.
“Ya! eh mbak sudah datang.”
“Iya, agak pagi ya, soalnya aku habis anter Bobby sekolah.” aku biasanya baru masuk kantor jam 9 atau 10 an. Ini rekor terbaikku setelah jabatan manager ku pegang.
“O iya ya sekarang dek Bobby sudah sekolah.”
“Siapa yang taruh undangan ini disini ? Apa Asty sendiri ?”
“Bukan mbak, mulai hari ini mbak Asty cuti sampai dengan hari pernikahannya nanti. Tadi yang taruh di situ si Gimin, office boy baru.”
“OK, aku akan telpon Asty. Makasih ya Allen.”
“Ya mbak, sama-sama.”
Segera ku dial nomer Asty melalui HPku.
“Hallo...” suara Asty terdengar disana.
“Apa-apa'an ini As ? Kamu anggep aku apa ? Emangnya sekarang kamu gak anggep aku sahabatmu lagi ya. Kalo gitu aku gak akan datang ke pernikahanmu nanti.” semprotku, tiba-tiba.
“Maaf say, aku memang sudah merencanakan ini lama, tapi aku gak ada nyali untuk cerita ke kamu. Kamu masih ingat waktu aku menanyakan tentang Pri padamu ?”
“Iya, emang kenapa?”
“Kamu bilang kalau Pri adalah cowok yang tepat untukku.”
“Iya terus.”
“Setelah kamu bilang itu aku baru berani menjawab lamarannya.”
“Ya ampun itu kan baru beberapa bulan yang lalu.”
“Emang.”
“Kok kamu gak cerita kalo dia nglamar kamu. Dan kok secepat ini As?”
“Kalo kamu aja mantap aku bersanding dengan Pri kenapa aku harus mundur?”
“Kamu ini ya.”
“Tapi kamu restuin kami berdua kan, Sis ?”
“Iya tapi aku tetep gak akan datang.”
“Kok gitu sih.”
“Habis kamu aneh sih, semuanya serba diam-diam.”
“Aku emang gak merencanakan acara besar untuk pernikahan ini.” sebentar kulirik alamat yang tercantum pada undangan. Ternyata Asty mengadakan ini di rumahnya di Bekasi.
“Rumahku jauh Sis, jadi cuma beberapa orang aja yang aku kasih undangan, dan aku berharap banget kamu bisa datang bersama Bobby.” Huh ! aku melenguh. Aku merasa bersalah pada Asty karena tidak bisa membantu banyak untuk acara sakralnya itu.
“Apa yang bisa aku bantu As?” tawarku.
“Gak perlu, aku cuma pengen kamu bisa dateng pas ijab ku nanti. Eh udah dulu ya, di belakang lagi ribet nih. Dah sayang...” Asty menutup telponnya.
Sebentar lagi aku akan ditinggal oleh sobat terdekatku. Entah aku harus merasa bahagia atau sedih.
Bobby banyak bercerita tentang pengalaman pertamanya di sekolah. Tak henti-hentinya dia bercerita tentang beberapa teman-teman dan guru-guru barunya. Sambil makan malam aku sempatkan untuk bercerita tentang undangan pernikahan Asty padanya.
“Bobby, tante Asty mau nikah, sayang.”
“O ya bu ?”
“Iya, dan tante Asty minta kita untuk kesana akhir minggu ini.”
“Kemana ?”
“Kerumah tante Asty dong yang di Bekasi.”
“Terus sekolah Bobby gimana ?”
“Kita naik pesawat yang Sabtu sore aja, jadi kamu kan udah kelar sekolahnya. Terus baliknya dari sana Minggu sore, jadi gak ganggu sekolah yang hari Senin. Gimana, setuju gak?”
“Gak papa. Daripada aku ditinggal sendirian di rumah kan mending liburan ama ibu di Bekasi.” kuusap lembut kening Bobby.
Dia sudah semakin besar. Jalan pikirannya juga semakin maju. Kadang aku aja heran jika protes-protes kecil keluar dari mulut mungilnya itu. Anak ku sudah makin pintar sekarang.
Di suatu tempat yang lain.
“Sam, mama sudah pengen lihat kamu menikah dan papa mu juga sudah gak sabar pengen menimang cucu, darah dagingmu, nak.” ujar mama.
“Sabar dong ma, kan aku juga laki-laki normal yang pasti pengen juga nikah dan punya anak. Tapi gak sekarang ya.” protesku. Sambil ku tepuk pundak mama dengan halus.
“Apa yang kamu tunggu nak?”
“Jodohnya belum turun nih.” jawab ku sekenanya. Maklum aku adalah anak tertua di keluarga jadi pada siapa lagi kedua orang tua ku harus menuntut agar segera di beri cucu. Karena adik-adik ku saat ini masih menyelesaikan sekolahnya jadi hanya aku tempat mereka memohon.
“Kalau papa kenalkan dengan anak relasi papa gimana ?” tawar papa.
“Mulai deh. Kenapa sih mama-papa kok jadi semangat begini. Sam tuh masih bisa cari jodoh sendiri. Ntar kalo udah dapet juga Sam kenalkan ke mama dan papa.”
“Tapi kapan ?” elak mama. Aku hanya diam.
“Kamu jangan egois nak. Pikirkan juga usia mama dan papa sekarang. Kalau papa keburu dipanggil Tuhan gimana.”
“Papa kok ngomongnya gitu sih.” mama yang protes.
“Habis anak kamu itu kalo gak dipukul dulu belum jalan.”
“Kalo sekarang Sam bilang Sam udah punya calon gimana?”
“Siapa ?” tanya mama antusias.
“Masih kenal sama Sisca?” Aku memang masih belum bisa melupakan cinta pertama ku itu.
“Yang dulu pernah dekat sama kamu tapi kamu putusin karena kamu mau ke Amerika itu ?”
“Tepat. Mama memang pinter.”
“Emang kamu ketemu lagi dengan dia ?” ujar papa sambil meneguk secangkir kopi hangat. Aku hanya mengangguk karena mulut ku penuh dengan roti isi, menu sarapan pagi. Padahal langit di luar sana sudah tidak lagi pagi, tapi siang yang lumayan panas. Itu karena aku bangun kesiangan jadi menu sarapan kubabat habis di saat makan siang.
“Dimana dia sekarang ? Sudah kerja juga ?” cecar mama.
“Perusahaan tempat dia bekerja pernah beberapa kali bantu kita untuk buat iklannya.”
“O di advertising ?” ujar papa. Aku kembali mengangguk dan meneguk segelas susu coklat dari gelas panjang.
“Kapan mau kamu ajak kesini ? Mama sudah gak sabar nih pengen ketemu.” Aku hampir tersedak.
“Sabar dong ma, kok buru-buru.”
“Kembali ke pokok permasalahan Sam. Semuanya harus serba instant. Lihat dong umur mu, kamu mau jadi perjaka terus ?”
“Iya deh manut. Ntar Sam kabarin ya.” sambil ngeloyor keluar menuju garasi serta tidak lupa ku kecup kedua pipi mama.
Terpikir oleh ku pembicaraan itu di mobil ketika aku hendak berangkat kerja. Aku membuka labirin dalam hati ku yang telah lama mati. Kira-kira apa komentar mama jika ia tahu bahwa Sisca bukanlah seperti yang ia kira. Apa yang akan terjadi pada mama dan papaku tahu anaknya akan menikahi seorang janda beranak satu. Ciiiiitttttttttttttt.................. Gara-gara melamun, mobil ku hampir menabrak seorang anak kecil yang sedang menyeberang jalan. Anak itu terlihat tergesa-gesa.
Bobby.........benarkah itu Bobby. Aku segera keluar dari mobil.
“Bobby..........” teriak ku. Si anak menoleh ke arah suara ku. Dengan kening sedikit berkerut seperti sedang berpikir keras, akhirnya tak lama kemudian senyum manis terkembang dari bibir si anak.
“Om Sam ?” ternyata aku tidak salah terka.
“Ada apa kamu disini ? Maaf kalo tadi om gak sengaja mau tabrak Bobby.”
“Gak papa kok om, Bobby yang salah. Bobby buru-buru, soalnya jemputan sekolah Bobby mogok jadi Bobby harus jalan kaki ke rumah. Toh udah deket. Diperempatan situ nanti bisa naik ojek.”
“Ya udah kalo gitu om antar ya ?” Bobby terlihat senang.
“Yuk.” ku tarik tangan Bobby untuk segera masuk ke dalam mobil, karena cuaca mulai terik.
“Ma kasih ya om.” ujar Bobby setelah mobil berjalan. Ku usap lembut kening Bobby.
“Emang kamu mau kemana kok buru-buru ?”
“Ibu mau ajak Bobby ke nikahan tante Asty di Bekasi. Rencananya naik pesawat yang jam 2 an. Kalo Bobby telat bisa berabe kan.” O jadi Sisca mau ke Jakarta.
Setelah sampai di depan rumah Sisca.
“Om masuk dulu yuk, pasti Ibu akan senang kalo ketemu om lagi. Emangnya kapan sih om pulang dari luar negri, oleh-olehnya mana?” tangan mungil Bobby terjulur di hadapan ku. Awalnya aku sedikit bingung, tapi akhirnya sadar juga. Pasti Sisca cerita ke Bobby kalau aku pergi keluar negeri untuk waktu yang lama.
“Oleh-olehnya masih om simpan rapi di lemari, khusus untuk Bobby.” sambil ku raih tangan Bobby dan meletakkannya kembali ke pangkuan Bobby.
“Om ikut aja ke Bekasi. Ntar kita bisa main bareng disana, kan males lihat orang nikahan, pake bahasa jawa lagi, Bobby gak ngerti artinya.” untuk bagian yang itu Bobby mengecilkan suaranya karena takut ibunya dengar bahwa sebenarnya dia tidak terlalu minat untuk ikut ke Bekasi. Aku terdiam untuk sesaat.
“Bobby...”
“Ya...”
“Gimana kalo kita main sandiwara ?” kubisikkan sesuatu ke telinga Bobby. Kadang terlihat Bobby tertawa kecil mendengar apa yang kubisikkan padanya. Setelah itu kami tutup dengan berjabat tangan.
Aku tidak mengantar Bobby hingga ke dalam, aku tidak ingin Sisca melihatku. Aku dan Bobby telah menyiapkan suatu rencana besar untuknya. Apa ini yang dinamakan jodoh ya. Aku hampir menabrak Bobby ketika aku melamun di mobil karena sedang memikirkan Sisca. Semuanya begitu berhubungan. Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum tipis di bibir. Ku bawa mobil meluncur pulang. Aku tidak jadi ke kantor dan sebentar lagi aku akan telpon sekretaris ku untuk membatalkan semua meeting hari ini karena aku sedang diluar kota.
Bandara sore ini lumayan ramai. Banyak orang lalu lalang. Mulai dari pengantar, penjemput sampai orang yang hendak terbang pun tidak keliatan perbedaannya. Sambil menunggu waktu boarding aku mulai membaca novel favoritku, sebentar ku lirik Bobby di sebelahku, dia juga sedang asyik dengan gamewatch di tangannya. Asty berjanji akan menjemputku di bandara sesampainya aku di Jakarta. Biar aja si manten yang menjemput soalnya dia udah membuatku kaget di awal minggu dengan undangan pink nya. Toh acaranya masih besok jadi masa pingitannya aku jebol dulu.
“Permisi....permisi....eh...maaf....” suara itu.....??
Kulihat sosok seorang cowok yang ribet dengan bawaannya karena harus melewati gerombolan orang yang memenuhi jalan umum. Suara itu tidak asing bagiku, tapi.....kok dada ini bergemuruh. Seperti kala..........
“Oh maaf, maaf ya dik.” laki-laki itu menabrak tas ransel Bobby.
“Gak papa kok om.” laki-laki itu kemudian melepas kacamata hitamnya.
“Sam......” suara ini seperti kupaksakan keluar dari mulutku. Tercekat. Lirih.
“Bobby, Sisca ! Kalian rupanya.” kulirik Bobby, ekpresinya datar, apakah mungkin ia lupa siapa Sam.
”Hei, Bobby, kamu sudah gede ya. Kok manyun. Lupa ya sama om.” Bobby seperti berpikir keras.
“I.......” aku urungkan niatku untuk menjelaskan siapa Sam ke Bobby. Akhirnya Sam sendiri yang menjelaskan lagi siapa dirinya ke Bobby.
“Ini om Sam, sayang. Dulu kita pernah main ke Kids fun sama-sama. Emang sih udah lama banget. Kamu masih belum ingat ya.” Bobby mengenggam erat tanganku, seperti orang ketakutan.
“Maaf Sam, mungkin dia lupa. Wajar kan dulu dia masih 4 tahun.” terangku. Sam kelihatan sedih. Bobby lupa padanya. Dan Bobby masih berusaha mengingat semuanya.
“Maaf Sis. Kalo gitu aku permisi dulu ya.” entah kenapa kepalaku ini main angguk aja. Padahal sejujurnya aku senang sekali bisa bertemu dengan Sam lagi.
Sesaat setelah beberapa langkah kaki Sam menjauh.
“Om Sam !” teriak Bobby. Ia berlari menuju tempat Sam kini berdiri. Kemudian memeluknya. Saking tingginya sampai Sam harus berjongkok untuk meraih rengkuhan Bobby. Ternyata dia sudah mulai ingat. Aku tersenyum tipis.
“Jadi kamu udah ingat sama om. Tadi om sedih banget lho.” Bobby mengangguk pasti.
Untuk beberapa saat terlihat mereka asyik mengobrol. Tapi sayangnya aku tidak bisa mendengarnya, karena suara keributan bandara di sekitarku mengalahkan segalanya. Kemudian mereka bergandengan menuju ke arahku.
“Bu, om Sam ternyata juga mau ke Jakarta lho. Apa kita satu pesawat ?” tanya Bobby pada Sam.
“Jam 2.15 kan?” aku mengangguk. Senyum Bobby mengembang.
Tak lama kemudian pengumuman boarding pun berkumandang di bandara ini. Ku raih seluruh barang bawaanku yang terdiri dari satu tas plastik besar, oleh-oleh untuk Asty, satu koper besar sudah aku titipkan di bagasi pesawat. Bobby membawa satu tas ransel yang berisi segala macam snack dan mainan, supaya tidak bosan selama perjalanan. Kulihat Sam juga membawa dua tas plastik besar, entah isinya apa. Kami memasuki badan pesawat bersama.
Aku mulai memeriksa tempat duduk. Setelah mendapatkannya aku mulai menaruh barang di bagasi atas.
“Maaf tante, boleh gak kalo om saya tukar tempat duduk sama tante. Saya sudah lama tidak ketemu sama dia, saya kangen sekali. Boleh ya tante.” tanya Bobby pada seorang gadis muda yang hendak duduk disebelah kami. Aku memandang wajah Bobby dan wajah gadis muda itu bergantian. Gadis itu mengangguk setelah melihat wajah memelas Bobby. Bobby berlari mendekati Sam dan menggandeng Sam untuk duduk bersama kami. Aku dan Sam saling berpandangan dengan wajah serba aneh.
“Kita ikuti saja maunya Bobby ya?” bisik Sam padaku. Aku tersenyum tipis.
Bobby memaksaku untuk masuk lebih dulu, jadi sekarang aku bersebelahan dengan jendela. Tempat favorit Bobby. Kemudian Bobby menyusulku baru Sam. Demi Sam, Bobby rela memberikan tempat duduk favoritnya padaku. Di sepanjang perjalanan mereka terus dan terus mengobrol. Bobby berbicara padaku hanya untuk berpamitan ke toilet.
“Bobby sudah gede bu, jadi gak perlu dianter segala. Malu.” itu kata Bobby ketika aku menawarkan untuk mengantarnya ke toilet seperti biasanya ketika berada di pesawat. Mungkin aku harus sadar bahwa Bobby memang sudah besar sekarang.
“Ada acara juga di Jakarta ?” tanyaku pada Sam, sesaat setelah Bobby meninggalkan kami.
“Kebetulan udah lama gak tengok eyang disana.”
“Sendirian ? Gak sama keluarga yang lain ?” tanyaku penuh selidik.
“Iya sendirian, seperti yang kamu lihat sekarang. Mumpung kerjaan lagi gak banyak, kan gak ada salahnya mengingat saudara yang jauh.” aku cuma manggut-manggut. Aku memang tidak tahu kalau Sam masih punya nenek di Jakarta.
“Gimana kabar om Win sama tante Edis ?”
“Baik, mereka baik.” percakapan ini lumayan canggung. Mungkin karena kami sudah lama tidak bertemu.
“Kamu kelihatan sehat Sis. Bobby juga.”
“Iya. Aku gak tau nih mesti ngobrol apa soalnya tadi aku dengar Bobby udah cerita semuanya.”
“Hi....hi...hi....iya, dia sebenarnya kayak ibunya. Ceriwis.” serta merta aku pasang wajah protes. Tak lama kemudian Bobby muncul lagi. Kali ini dia mendesak Sam untuk pindah di tengah agar dia leluasa mondar-mandir ke toilet.
“Emangnya kamu kenapa Bob ? Sakit perut ?” tanya ku dengan badan sedikit condong ke depan karena Sam menutupi pandanganku ke Bobby.
“Gak papa kok bu. Cuma tadi aku milihnya makanan yang manis-manis jadi hawanya pengen ke belakang terus.” Sam menatap ku. Aku membuang muka.
Aku mulai kembali menekuni novelku tapi entah kenapa mata dan kepala tidak mau jalan beriringan. Mataku sejurus ke novel tapi pikiranku melayang kemana-mana. Apakah ini karena aku duduk bersebelahan dengan Sam. Aku melenguh. Aku hanya berharap semoga perjalanan ini segera berakhir. Aku coba untuk pejamkan mata tapi susah juga. Aku hanya bisa mengalihkan pandanganku keluar jendela. Awan putih bergumpal-gumpal diluar sana. Hari ini cuaca sangat cerah.
Asty melambaikan tangannya. Serta merta kupeluk ia.
“Akhirnya datang juga. Aku takut hadapi ini sendirian Sis.”
“Kenapa mesti takut kan ada Pri. Mana dia ?”
“Tuh.” Asty menunjuk calon suaminya yang ternyata telah menyapa Sam dan Bobby lebih dulu.
“Kenapa gak bilang-bilang kalo ada cowok dewasa yang bareng sama kamu kesini heh ?” Senyum nakal Asty menyeringai sambil memberi penekanan pada kata pria dewasa yang ia tujukan untuk Sam.
“Asal kamu ya. Kalo bukan karena permintaan Bobby mana mungkin aku ajak dia kesini. Lagian emang dia mau ke Jakarta kok, tapi bukan untuk ke kawinan mu.”
“Mau kemana dia ?”
“Katanya sih ada neneknya di sini.”
“Disini ?” aku manggut-manggut. Asty juga jadi ikutan manggut-manggut.
“Hai Sis ?” Pri menyalamiku. Aku memang sudah beberapa kali bertemu dengan calon suami Asty ini jadi sudah tidak ada rasa canggung. Aku menerima Pri sebagai satu paket dengan Asty. Toh akhirnya mereka akan menjadi suami istri juga.
“Ada pak Sam juga nih disini ?” seru Asty centil. Kulihat senyum Bobby juga menyeringai. Ada konspirasi apa ini ?
“Iya. Tadi gak sengaja kita ketemu di bandara dan satu tujuan ke Jakarta. Jadi satu pesawat deh.” Sam meminta persetujuanku. Aku manggut-manggut mengikuti nya. Asty mengacak-acak rambut Bobby. Biasanya Bobby akan protes dibegitukan oleh Asty, tapi kali ini dia terlihat pasrah tetap dengan senyum terkembang.
“Maaf nih kalo saya bawa mobil kecil. Habis saya kira cuma dua orang yang dari Semarang eh ternyata tiga orang.” sela Pri.
“Gak papa kok, lagian arah kita dengan Sam kan beda. Pasti udah ada orang yang akan jemput kamu kan?” tanyaku pada Sam. Memang sedikit mengusir tapi cuma itu yang bisa aku lakukan di depan temanku dan Bobby.
“Eh, iya. Aku udah ada yang jemput kok. Jangan kuatir.” Senyum Sam terlihat dipaksakan. Seperti ada kebingungan di dalamnya. Jangan-jangan dia bohong sama kami kalo punya nenek disini.
“OK, kalo gitu kita pisahan disini aja. Kasihan yang mau jadi manten besok, bisa masuk angin.” mataku membelalak pada Asty supaya dia mengikuti usulku ini.
“Iya maaf nih pak Sam. Orang rumah udah pada nunggu.” Asty memasang senyum malu-malu kucingnya.
“Silahkan. Tapi jangan panggil saya pak Sam dong, cukup Sam saja ya.” Asty dan Pri mengangguk setuju. Sam berjongkok di depan Bobby.
“Bobby, kita pisah dulu disini ya. Jaga baik-baik Ibu kamu.” Sam mengusap lembut kening Bobby. Bobby seperti tidak ikhlas meninggalkan Sam. Kutinggalkan mereka ngobrol sebentar sembari kumasukkan koper kedalam mobil sedan merah milik kerabat Pri yang tinggal di Jakarta. Setelah semua beres.
“Ayo Bobby. Kasihan tante Asty dan om Pri dong.” seruku pada Bobby.
“Iya bu.” Bobby berlari meninggalkan Sam yang masih berdiri memandang kami. Bobby melambaikan tangannya pada Sam begitu pula dengan Sam. Aku hanya memandangnya sekilas dan mata kami bertemu.
Mobil meluncur meninggalkan hiruk pikuk bandara.
Keluarga Asty sudah hampir kumpul semuanya. Kata Asty hanya kakaknya yang bekerja di Australia yang belum bisa hadir karena pesawat dari sana penuh jadi baru besok pagi dia terbang dari negeri kangguru itu.
Bapak dan Ibu Asty sangat ramah, mereka meminta aku dan Bobby untuk menginap saja di rumahnya. Aku tahu ini hanya basa-basi, soalnya mana mungkin kami harus bersaing kamar dan tempat tidur dengan sekian banyak orang keluarga Asty. Aku dan Bobby minta ijin untuk menginap di hotel yang dekat dengan perumahan Asty. Mereka mengijinkan, tapi hanya Pri yang bisa mengantarkan kami kesana, karena Asty harus segera istirahat untuk menjaga badan agar tampil fresh di hari pernikahannya nanti. Saking tidak enaknya aku bersikeras untuk memanggil taksi saja, tapi bapak Asty tidak memperbolehkan kami yang tidak tahu seluk beluk kota Bekasi untuk berkendara sendiri walaupun ditemani oleh sopir taksi sekalipun.
“Maap sekali ya mas Pri, kalo kami merepotkan.” ujarku setelah kami masuk ke mobil untuk berangkat menuju hotel.
“Gak papa kok. Ya kan Bob ?” seru Pri.
“Iya om, makasih ya.” kulihat Bobby yang sedari tiba di rumah Asty terlihat diam. Pri mengangguk.
Pri segera berpamitan setelah memesankan kamar untuk ku dan Bobby. Aku menolak bantuannya untuk mengangkat koper kami menuju kamar karena pasti ia letih dengan serentetan acara yang sudah ia lakoni hari ini. Setelah kulihat mobil Pri menjauh kami pun segera menuju kamar dan tidur. Besok adalah hari besar Asty, aku harus tampil baik disana. Bobby enggan bertegur sapa denganku. Setelah menggosok gigi ia langsung pergi tidur. Mengecup pipiku saja tidak. Ada apa dengan anakku ini.
Hari minggu yang cerah. Aku dan Bobby bangun pagi-pagi. Setelah sarapan pagi, kami bergegas menuju rumah Asty. Asty memang teman yang baik. Tidak lupa ia siapkan mobil lengkap dengan sopirnya untuk mengantar dan menjemput kami selama berada di Bekasi.
Kami tidak terlambat. Bapak penghulu sudah bersiap di tempatnya tapi mempelai wanitanya belum tampak bersanding dengan mempelai pria. Kerabat Asty yang mengenaliku langsung mempersilahkan aku duduk di belakang kursi mempelai. Aku sempat celingukan, siapa tahu kerabat Asty itu salah menyuruhku duduk di tempat yang paling dekat dengan mempelai berdua. Tapi semuanya tampak tenang dan khidmat. Tampak di depan wajah Pri yang begitu tegang. Sesekali ia usap keningnya yang penuh keringat dingin menggunakan sapu tangan berwarna biru, senada dengan jas yang ia kenakan. Aku jadi teringat kala Rey hendak mempersunting ku. Semua begitu indah dan mengharukan.
Rumah Asty disulap menjadi indah dengan bunga-bunga cantik di setiap sudutnya. Semuanya bunga segar, karena semalam aku belum melihatnya tampak dirumah ini. Tenda berwarna biru, senada dengan dekorasi pelaminan tampak megah menjulang. Semua tamu undangan telah hadir. Kerabat dekat Asty tampak senada dengan seragam warna emas dan peach nya. Tak lama kemudian muncullah mempelai wanita yang sudah dinanti-nanti begitu banyak orang, terutama oleh si mempelai pria tentunya.
Asty tampak anggun. Hiasan bunga terlihat cantik menghiasi rambutnya yang hitam legam. Tubuhnya yang indah tertutupi oleh brokat putih dan kain jarik yang senada. Ia sempat menoleh dan tersenyum padaku. Asty yang manis.
Aku dan Bobby dengan khusyuk mengikuti jalannya prosesi pernikahan hingga selesai. Bobby sempat tertawa kala Asty tidak sengaja menimpuk kepala Pri dengan suruh pada saat acara lempar-melempar suruh. Wajar saja, karena sebenarnya keluarga Asty adalah keturunan Jawa, jadi prosesi yang dijalankan adalah menurut adat Jawa.
“Sayang ya bu, masak telur diinjek-injek.” itu komentar Bobby ketika melihat Pri menginjak telur di acara panggih. Ini memang pengalaman pertamanya melihat acara pernikahan adat jawa.
“Udah besar masih suap-suap'an. Om Pri manja banget sih.”
Sedikit demi sedikit aku berikan penjelasan pada Bobby tentang prosesi ini dari awal sampai akhir. Dia bisa menerima masukanku walaupun kadang muncul sedikit protes dari mulutnya yang mungil. Salah satunya ketika aku ikutan menangis haru saat Asty dan Pri bergantian meminta doa restu pada kedua orang tua masing-masing di acara sungkeman.
“Harusnya kan semua bahagia kok tante Asty ama om Pri nangis. Ibu kok juga ikut-ikutan.”
“Ibu jadi ingat ayah.” serta merta Bobby memelukku. Dalam pelukannya aku merasa tenang dan hangat. Dalam bayangan yang tak mungkin nyata, sepertinya Rey yang sedang memelukku.
Acara adat sudah selesai. Sekarang waktunya aku mengucapkan selamat pada mempelai berdua. Kami juga berfoto bersama. Ibu Asty tampak haru. Sesekali ia usap air mata yang keluar di pipinya dengan tisu. Maklum, Asty adalah anak bungsu. Akhirnya sobat baikku menikah juga. Tak lupa aku panjatkan doa untuknya, semoga kalian akan terus bersama selamanya dan Pri adalah jodoh yang terbaik dari Allah untukmu.
Beberapa saat berselang. Aku kehilangan Bobby. Pada saat aku menemani Asty untuk berganti busana aku meminta Bobby untuk menungguku di luar kamar sambil menikmati es krimnya. Di kursi tempat aku meninggalkan Bobby masih kulihat cup es krim yang masih setengah ia habiskan.
“Kemana anak ini.” omelku sambil kupegang cup es krim itu. Aku mencoba bertanya ke beberapa kerabat Asty dan Pri, tapi hasilnya nihil. Sudah setengah jam aku mencari dan aku mulai panik.
“Kenapa sih lu Sis ?” tanya Asty yang melihat gelagat anehku sekeluarnya dari kamar.
“Bobby ilang.” mataku masih jelalatan mencari sosok anak kecil yang memakai batik warna ungu.
“Serius lu.” Asty ikutan panik.
“Gak tau, pokoknya pas aku keluar dari kamarmu tadi, Bobby udah gak ada.” rasanya ingin menangis.
“Udah cari sampe keluar ?”
“Udah As. Aku juga udah tanya ke sopir yang tadi jemput aku, tapi dia gak tau apa-apa.”
“Cek semua kamar !”
“Aku juga udah tanya ke sodara-sodaramu, tapi mereka semua gak ada yang liat Bobby.” air mata mulai menetes.
“Sabar Sis, mungkin dia cuma main di sekitar sini.” Asty mengelus punggungku.
“Kemana sih kamu nak.” ratapku. Sesaat ketika aku hendak mencari Bobby lagi dan berpamitan pada Asty, di depan pintu utama kulihat sosok yang sangat tidak asing bagiku. Sam. Ya dia Sam. Ngapain dia disini. Dan lihat, siapa yang ada di sampingnya itu. Bobby.
“Bobby !” seru ku. Beberapa tamu undangan jadi ikutan melihat ke arah ku kemudian bergantian melihat ke arah Bobby. Aku sedikit berlari mendekatinya.
“Jangan tinggalin ibu lagi nak. Ibu mohon.” aku memeluknya erat. Bobby tampak bingung melihatku menangis dalam pelukannya. Mungkin dia tidak sadar kalau perbuatannya itu telah membuatku sedih dan panik.
“Maafin Bobby, bu. Bobby pergi karena Bobby lihat om Sam diluar sana. Jadi Bobby samperin deh. Maaf ya bu. Bobby gak akan ulangin lagi kok. Ibu jangan nangis.” perlahan kulepaskan pelukanku. Beberapa mata terpasang menyaksikan drama menyedihkan ini.
“Maaf Sis. Aku yang salah. Coba aku gak lihat Bobby mungkin tangan ini gak akan reflek memanggilnya.” ujar Sam.
“Emang kamu yang salah.” suaraku agak meninggi. Aku marah.
“Kenapa sih kamu harus ada disini juga. Bikin stress tau gak !” aku menarik paksa tangan Bobby untuk menjauh dari Sam. Tapi Bobby agak berontak.
“Bobby ayo pergi !” ia kembali berontak. Sejak kapan anak ku ini susah sekali di atur. Keberadaan Sam memang tidak aku inginkan disini saat ini.
“Kenapa Bobby mesti pergi ?” protesnya.
“Kita pulang sekarang !”
“Kenapa ?”
“Karena pestanya udah kelar.” kembali kutarik tangan Bobby, kali ini dia pasrah. Aku segera berpamitan pada Asty dan keluarganya.
“Maafin aku As. Aku harus pergi.”
“Ati-ati, sayang. Tapi kamu utang cerita ama aku ya.” Asty mengangguk mengijinkanku walaupun dengan seribu tanya di benaknya saat ini. Aku yakin itu.
Aku meninggalkan pesta yang sebenarnya belum usai. Sam masih terpaku. Kami semua memang tidak siap dengan keadaan ini.
Aku memajukan jam penerbangan dari jam yang seharusnya. Bobby tampak sedih disampingku. Dia diam seribu bahasa, bahkan ketika kutawarkan untuk membeli beberapa snack untuk teman selama perjalanan. Akhirnya aku lah yang memilihkan snack untuknya.
Perjalanan lancar. Hari masih agak sore ketika kami sampai di Semarang. Aku mengajak Bobby untuk membeli makan malam dulu di mall. Tapi dia menolak dengan alasan malas melihat ibunya membawa koper besar masuk ke mall. Padahal aku bisa titipkan ini ke penitipan barang, tapi ya sudah, mungkin dia sedang tidak berselera makan.
Sesampainya di rumah aku bergegas berganti pakaian dan memasak makan malam untuk kami berdua. Kulihat Bobby langsung menuju kamarnya dan menutup pintunya rapat-rapat. Kubiarkan dia sendiri dulu dan aku akan memanggilnya lagi ketika makan malam siap.
“Oke, apa yang masih aku punya disini.” Tanyaku dalam hati. Kubuka kulkas dua pintu hadiah pernikahan dari mama dan papa Rey. Masih tampak kokoh. Di kala libur Rey rajin sekali membersihkannya dan setelah dibersihkan kami akan pergi berbelanja untuk mengisi kulkas itu kembali supaya tampak penuh.
“Uh, cuma nugget dan sayuran.” keluhku.
“Semoga Bobby gak protes.” aku mulai sibuk memasak. Tidak ada setengah jam semuanya sudah kelar. Ada nugget, sayur sop dan bakmi goreng. Lumayan meriah disandingkan dengan kerupuk warna-warni kesukaan Bobby. Kulirik kamar Bobby masih tertutup rapat. Aku akan mandi sebentar kemudian akan kuajak Bobby untuk makan malam bersama.
Usai mandi, kugelung rambut basahku dengan handuk. Bergegas aku menuju kamar Bobby dan mengetuknya perlahan. Tapi tidak juga ada jawaban dari dalam. Kubuka pintu yang tidak terkunci itu. Kulihat Bobby sedang mengerjakan PR nya, kudekati ia.
“Nanti lagi yuk ngerjain PR nya. Emang Bobby gak laper ?” Bobby bergeming.
“Sayang, nanti sop nya keburu dingin lho.” lanjutku
“Ibu ini kenapa sih. Emang salah ya kalo Bobby main sama om Sam. Om Sam gak salah bu, yang salah Bobby. Karena Bobby merasa bosen di rumah tante Asty makanya Bobby ajak om Sam keliling-keliling sebentar. Lagian om Sam juga gak nyangka kok kalo Bobby ada di situ juga. Dia tuh diundang sama kakaknya tante Asty yang dari Australia.” terang Bobby, panjang lebar.
Jadi Sam di undang juga. ? Aku sudah salah sangka padanya.
“Maaf nak, Ibu gak tau.”
“Makanya Ibu tuh harusnya tanya dulu ke Bobby. Gak langsung main tembak aja.”
“Iya, Ibu kan udah minta maaf.”
“Minta maafnya jangan ke Bobby dong, tapi ke om Sam.” itu permintaan yang berat.
“OK, nanti ibu akan telpon om Sam. Tapi sekarang Bobby makan dulu ya.” aku berbohong pada anakku. Aku tidak sanggup untuk berbicara bahkan bertemu dengan Sam lagi.
Akhirnya kami makan berdua. Semua lauk dilahap habis oleh Bobby. Bobby tidak pernah protes dalam hal makanan. Dia tau benar bahwa keluarganya kini harus hidup sederhana untuk bisa bertahan hidup. Apa yang disediakan akan dimakannya. Lagipula tidak ada di dunia ini seorang ibu yang akan menjerumuskan anaknya.
Perjalanan hari ini kami tutup dengan perut kekenyangan. Bobby sudah mulai bisa tersenyum lagi. Kami adalah satu. Ibu dan anak yang saling mencintai.
“Iya, Bobby udah cerita semuanya ke aku. Ternyata Sam diundang toh ama kakakmu.” Asty sudah masuk dari cuti nikahnya dan sekarang ia benar-benar menagih janjinya. Datang-datang dia langsung mengajakku ke kantin untuk meluapkan semua cerita. Termasuk cerita bulan madunya.
“Iya Sis. Tadinya aku mau telpon kamu, tapi Pri nglarang. Ya udah deh aku tahan-tahanin sampe hari ini. Eh tapi ternyata kamu udah tau.”
“Bobby minta aku minta maaf sama dia, tapi aku gak lakuin.”
“Kenapa ?” tanya Asty sambil meneguk secangkir capuccino yang sudah agak dingin.
“Aku gak bisa As.”
“Kamu takut ya kalo ada sesuatu yang muncul lagi dalam hatimu.” ujar Asty, hati-hati, takut menyinggungku.
“Entahlah. Sejak kejadian itu aku selalu dibayang-bayangi sosoknya. Kayak orang lagi kasmaran aja, mau tidur ingat dia, mau makan ingat dia, mau kerja juga inget dia. Tapi bukan suka yang aku rasa tapi takut. Hiiiiii.” aku bergidik.
“Iya, kamu masih takut membuka hatimu untuk orang lain. Atau mungkin kamu masih dibebani rasa bersalah karena udah nuduh dia di pestaku dulu.”
“Mungkin juga.”
“Selesaikanlah Sis, kalo emang kamu ingin semua ini berakhir. Tuntaskanlah.”
“Dulu aku udah pernah minta ke dia untuk menuntaskan ini semua. Tapi ternyata gak bisa kan. Dia selalu muncul walaupun tidak disengaja.”
“Yang waktu di Yogya itu ya. Kalo gitu jangan diakhiri aja, lanjutkan.” canda Asty.
“Ngaco kamu.” aku menyuap sejumput cake coklat yang dibawakan Asty untukku. Katanya oleh-oleh dari bulan madunya di Bandung.
“Kalo kulihat Bobby udah cocok banget sama dia.” lanjut Asty.
“Aku kan belum.”
“Belum, berarti masih bisa mungkin kan?” senyum nakal Asty mulai tampak.
“Udah ah, sekarang cerita aja pengalaman bulan madu kamu. Jangan-jangan selain oleh-oleh cake coklat kamu juga udah bakal kasih aku keponakan.”
“Gak secepat itu say. Pri belum mau punya anak dalam waktu dekat. Kamu tau kan, ini hal baru buat kami, jadi kami puas-puasin dulu deh jadi suami istrinya.”
“Maksudnya kamu puasin dulu birahi kamu.” sendok melayang di jidatku.
“Kenapa sih gak dari dulu-dulu kamu bilang kalo nikah itu enak.” Celotehnya.
“Yang enak tuh kawinnya say.” Asty mengangguk berulang-ulang. Aku geli melihat tingkahnya.
“Malam pertama berapa ronde ?” percakapan kami udah mulai ngaco.
Seharian ini kami luapkan rasa kangen di kantin ini. Sambil ditemani cake coklat dan capuccino, Asty curhat'in semuanya ke aku, bahkan dia juga minta beberapa ilmu seks padaku. Aku suruh dia untuk rajin-rajin buka internet, siapa tau ada jurus baru disana. Aku jadi iri padanya. Bukan semata-mata karena seks. Di lubuk hati terdalam aku hanya lah seorang wanita lemah yang membutuhkan kehangatan seorang lelaki, dikala sedih dan dikala senang. Aku jadi teringat Bobby di rumah. Aku saja mengakui kalau masih membutuhkan lelaki di sampingku sebagai teman dalam mengarungi bahtera kehidupan, apalagi Bobby, dia anak yang sedang dalam masa pertumbuhannya, aku yakin dia pasti juga membutuhkan sosok seorang ayah disisinya. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa mengkhianati Rey. Jadi tidak mungkin aku akan membuka hatiku untuk orang selain Rey.